Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur berbentuk tugu segi enam tidak beraturan yang mengecil ke bagiaan atas, terbuat dari batu andesit dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar bagian atas 19 cm, dan 32 cm di bagian bawah.

Berapa Jumlah Pulau di Indonesia

Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai ribuan pulau, menguntai dari Sabang sampai Merauke. Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 30 Mei 2015

Pengarcaan Siwa

Mempelajari arca Hindu-Budha ternyata tidaklah gampang.  Bagi saya arca merupakan sesuatu yang sangat rumit. Sungguh hebat orang yang membuatnya, dengan kesungguhan, ketelitian, kepiawaiannya, bisa menghasilkan karya yang sangat indah. Keunikan yang ada pada arca membuat saya penasaran untuk mengetahui seluk beluk arca bukan hanya sekedar unsur seninya. Timbul berbagai pertanyaan yang menggugah saya mencari informasi sedalam-dalamnya. Dalam rangka pencerahan dan jawaban pertanyaan tersebut akhirnya saya putuskan untuk jelajah ilmu lagi melalui literatur yang bisa dipercaya. Setelah searching kesana-kemari, akhirnya didapatlah beberapa informasi penting yang berkaitan erat dengan pembuatan arca Hindu Budha. 

Sedikit saya kasih gambaran bahwa dalam upaya mempelajari arca Hindu Budha tentu kita harus memahami dulu latar belakang dan mitos asal mula pengarcaannya. Supaya tidak kepanjangan, dalam artikel yang saya bahas kali ini hanya akan berbicara tentang arca dewa Siwa sebagai Dewa Pelebur dan merupakan salah satu dewa tertinggi di agama Hindu. Berikut merupakan informasi tentang mitologi Siwa dan mitos yang menjadi asal muasal sehingga diarcakan dengan atribut-atributnya.

Siwa sebagai Mahadewa
Sumber: Kitab Mahabharata
Penjelasan: Siwa disebut sebagai Mahadewa yaitu dewa  tertinggi di antara para dewa. Kitab ini menjelaskan asal mula Siwa mendapat sebutan demikian. Suatu ketika para dewa menyuruh Siwa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tertinggal di Triputra. Siwa diberi setengah kekuatan dari masing-masing dewa dan setelah dimusnahkan Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi

Siwa sebagai Trinetra artinya Bermata Tiga
Sumber: Kitab Mahabarata Sloka
Sebutan ini didapatkan Siwa ketika keningnya muncul mata ketiga untuk mengembalikan keadaan dunia seperti keadaan semula yang terganggu Karena kedua mata Siwa tertutup oleh kedua tangan Parwati yang ketika itu tengah asyik bercengkrama dengan Siwa. Untuk mngembalikan keadaan dunia Siwa menciptakan mata ketiga pada keningnya.

Sumber: Kitab Linggapurana
Diceritakan bahwa Sati, anak Daksa istri pertama Siwa bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya, Daksa tidak menghiraukan Siwa suaminya. Karena peristiwa tersebut, Siwa pergi bertapa di atas gunung Himalaya. Parwati anak Himawan yang jatuh cinta kepada Siwa sebenarnya adalah Sati yang lahir kembali. Sementara itu makhluk jahat asura Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan yang dapat membinasakan makhluk jahat tersebut hanyalah anak Siwa. Dalam kebingungannya para dewa memutuskan untuk membangunkan Siwa. Mereka sepakat akan meminta pertolongan dewa Kama. Dengan upayanya berangkatlah para dewa disertai dengan Parwati ke tempat Siwa bertapa. Karena keampuhan panah dewa Kama, Siwa terbangun. Siwa yang terusik oleh perbuatan Kama, membuka mata ketiganya yang menyemburkan api. Api tersebut membakar Kama hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kama, Siwa “jatuh cinta” pada Parwati. Rati, istri dewa Kama yang mendengar kematian suaminya datang menghadap Siwa dan mohon untuk menghidupkan kembali Kama. Untuk menghibur Rati, Siwa berjanji bahwa Kama kelak akan lahir kembali sebagai Pradhyumna. Kisahnya diakhiri dengan Pernikahan Siwa dan Parwati, serta kelahiran Kumara atau Subrahmanya yang dapat membunuh Taraka.


Kulit harimau, Ular, Kijang, Parasu, Bulan Sabit dan Tengkorak pada Mahkota
Sumber: Kitab Suprabhedagama,
Pada suatu waktu, Siwa pergi ke hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan melihatnya jatuh cinta sehingga para pendeta marah. Dengan kekuatan magisnya mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Siwa, namun dapat dibinasakan, dan kulitnya oleh Siwa dijadikan pakaiannya. Menyaksikan Siwa dapat mengalahkan harimau ciptaannya mereka makin marah dan menciptakan seekor ular. Ular berhasil ditangkap Siwa dan dibuat perhiasan (terdapat juga di kitab Matsya Purana). Setelah kedua usaha tersebut gagal mereka menciptakan kijang dan parasu, namun kali ini pun Siwa dapat melumpuhkan serangan para pendeta tersebut. Sejak kejadian tersebut kijang dan parasu menjadi dua di antara sekian banyak laksana Siwa.

Siwa Mendapat Julukan Gajasura-samharamurti
Sumber: Kurma Purana
Tersebutlah beberapa orang pendeta sedang bertapa diganggu makhluk jahat yang menjelma sebagai gajah. Siwa yang diminta pertolongannya dapat membunuh gajah jelmaan terebut. Kulit gajah yang berhasil dikalahkannya itu kemudian dijadikan sebagai pakaian Siwa.

Hiasan Bulan Sabit pada jatamakutanya
Sumber: Kitab Kamikagama
Datohan, salah seorang putra Brahma menikahkan keduapuluh tujuh (konstelasi bintang) anak perempuannya pada Santiran, dewa Bulan. Dia minta pada menantunya agar memperlakukan semua istrinya sama dan mencintai mereka tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa waktu Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya tanpa mebedakan mereka. Dua di antara keduapuluh tujuh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik. Lama kelamaan tanpa disadari Santiran lebih memperhatikan keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan mereka mengadu kepada ayah mereka. Datohan mencoba menasehati menantunya agar mengubah sikap namun tidak berhasil. Setelah berulangkali Santiran diingatkan dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuk menantunya: keenambelas bagian tubuhnya akan hilang, mati. Karena kutukan itu Santiran mulai kehilangan bagian-bagian tubuhnya satu-persatu. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenambelaas bagian, Santiran menjadi panik dan pergi meminta bantuan serta perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat menolong. Dalam keadaan putus asa Santiran menghadap brahma yang menasihatinya agar pergi menghadap Siwa. Santiran langsung menuju gunung Kailasa dan mengadakan pemujaan Siwa. Siwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran dan diletakan di dalam rambutnya sambil berkata “jangan khawatir anda akanmendapatkan kembali bagian-bagian tubuh anda namun itu akan kembali hilang satu persatu. Perubahan itu akan berlangsung terus menerus. Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Siwa dihiasi bagian tubuh Santiran yang berbetuk bulan sabit, di samping tengkorak.

Kendaraan berupa Sapi Jantan 
Sumber: Kitab Mahabharata
Versi I: Bhisma menjelaskan pada Yudistira mengenai asal mula sapi jantan menjadi wahana Siwa: Daksa atas perintah ayahnya, Brahma menciptakan sapi. Siwa yang sedang bertapa di dunia terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang sedang menyusu pada ibunya. Untuk menjaga agar Siwa tidak marah, Daksa menghadiahkan seekor sapi jantan pada SIwa, kemudian dijadikan kendaraannya.
Veri II: mirip cerita di atas, hanya peran daksa dipegang oleh Brahma. Di sini Siwa menjawab pertanyaan Uma mengapa kendaraan Siwa itu adalah banteng bukan binatang lain. Pada waktu penciptaan pertama, semua sapi berwarna putih dan sangat kuat. Mereka berjalan-jalan penuh dengan kesombongan. Tersebutlah Siwa sedang bertapa di pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di atas satu kaki dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan bergerombol di sekeliling Siwa sehingga dia kehilangan keseimbangan. Atas kejadian itu Siwa sangat marah dengan mata ketiganya Siwa membakar sapi-sapi yang sombong itu sehingga warna bulu mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi berwarna hitam. Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan amarah Siwa. Sejak itu Banteng menjadi kendaraan Siwa. Sapi-sapi yang melihat dan megakui kehebatan Siwa sangat kagum mengangkatnya sebagai pemimpin dan memberi julukan Gopati pada Siwa

Ardhanarisvaramurti (Perwujudan Siwa dan Parwati dalam satu tubuh)
Sumber: Sivaparakragama
Menguraikan mitologi dan pengarcaan Siwa dalam perwujudan sebagai ardhanarisvaramurti. Siwa dan saktinya, Parwati disatukan dlam wujud setengah laki-laki dan setengah perempuan sebagai makna dari Ardhanariswaramurti (wujud dewa setengah perempuan). Di gunung Kailasa Siwa duduk bersama Uma, di atas singgasananya. Brahma, Wisnu dan para dewa dan para rsi berdatangan untuk menyatakan hormat serta mohon anugrah. Di antara rsi yang datang terdapat Bhrgi. Ketika gilirannya tiba dia mendekati singgasana dan menyembah Siwa dengn tidak mepedulikan Uma yang duduk di sampingnya. Karena tersinggung Uma bertanya kepada suaminya siapa rsi itu. Jawab Siwa “itu tadi seorang pengikut setia yang mmenganggap aku adalah segala-galanya dan dalam segala hal tergantung kepadaku, namanya Brhngi”. Uma bertekad untuk menundukkan agar dia mau memperhatikan kehadirannya, dan dengan kesaktiannya Uma mengambil semua kekuatan rsi Brhngi berupa darah, daging, dan semangatnya. Di dalam tubuhnya hanya tertinggal tulang dan urat serta keyakinannya akan kekuatan Siwa. Siwa yang menaruh belas kasihan melihat penderitaan Brhngi, memberinya satu kaki tambahan. Brhngi dapat berdiri berkat ketiga kainya, dan dia pun menyanyikan lagu puji-pujian bagi penyelamatannya. Kejadian itu menyadarkan Uma akan kekeliruannya terhadap rsi Bhrngi dan timbul hasratnya untuk menyatukan dirinya dengan Siwa agar mendapat penghormatan yang sama. Untuk menebus kesalahan dan dalam upaya mencapai cita-citanya Uma bermaksud melakukan tapa di gunung Meru. Setelah mendapatkan izin Siwa pergilah Uma melaksanakn niatnya. Setelah dirasa cukup Siwa pergi menemui Uma yang sedang bertapa dengan khusuk, menanyakan kehendaknya. "Tuanku, jawab si pertapa (Uma), saya ingin bersatu secara fisik dengan anda sehingga kita hanya terdiri dari satu tubuh saja." Segera Siwa meletakkan Uma di sebelah kiri tubuhnya. Mereka telah bersatu, separuh Siwa dan Separuh Uma. Bentuk itu disebut Ardhanisvaramurti
Sumber: Matsya Purana
Menceritakan bahwa Parwati melakukan tapa karena marah terhadap Siwa yang telah menolak dan memperolok warna kulitnya yang gelap. Begitu kerasnya Parwati bertapa sehingga dari tubuhnya keluar Durga Saptamatrka dan Yogini dengan wajah yang sangat mengerikan. Brahma yang menyaksikan kesungguhan tapa Dewi berkenan memberi anugrah kepada Parwati berupa warna kulit yang keemasan, serta menjanjikan bahwa Parwati pada saatnya nanti akan menjadi bagian dari tubuh Siwa,
Sumber: Kitab Markandeya Purana
Dalam kitab ini memberi keterangan yang berbeda, Ardhanariswaramurti adalah perwujudan Siwa bersama Wisnu yang digambarkan sebagai perempuan. Dalam kitab ini dikatakan bahwa Rudra dan Wisnu merupakan pencipta alam semesta dalam perwujudannya sebagai Ardhanarisaramurti. Dalam hal ini sisi yang bersifat perempuan disamakan dengan Wisnu karena dianggap sebagai pasangan pasangan Siwa dalam mencipta, memelihara dan merusak yaitu perwujudan Siwa dan Wisnu dalam satu tubuh. Bagian kanan siwa dan bagian kiri wisnu. Wisnu dapat dikenali dari laksananya berupa cakra dan sankha

Jumat, 29 Mei 2015

Arca dan Tradisi Prasejarah

Pembuatan seni patung atau arca telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman prasejarah. Arca dewa-dewi dalam agama Hindu Budha merupakan arca-arca hasil adaptasi yang telah disesuaikan dengan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Arca pada zaman prasejarah biasanya menggambarkan figure orang yang telah meninggal dunia yang digambarkan statis, kaku, dan hasil ukir yang masih sederhana. Sementara arca-arca yang beragama Hindu terlihat lebih dinamis  lengkap dengan atribut yang sangat berkaitan erat dengan mitologinya. Pengaruh kebudayaan Hindu Budha telah memberi warna baru berupa polesan terhadap budaya yang telah ada sebelumnya. Puncak perkembangan seni arca di Indonesia terjadi ketika zaman Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia khususnya di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tradisi pembuatan arca pada masa prasejarah dapat ditelusuri dari bukti-bukti sejarah sejak zaman neolitikum atau zaman batu baru. Pada masa ini masyarakat sudah hidup menetap, bisa menghasilkan makanan sendiri (food producing), dan telah mengenal pembagian pekerjaan. Manusia pada zaman ini sudah hidup berkelompok layaknya masyarakat dan menggambarkan ciri kehidupan yang lebih kompleks dibandingkan zaman sebelumnya. Kegiatan dapat terorganisasi dengan baik karena pada waktu itu telah dikenal adanya kepala suku. Tokoh ini memiliki peran yang sangat penting untuk mengatur jalannya kehidupan kemasyarakatan. Ia sangat disegani, memiliki wibawa, dan memiliki tugas untuk mensejahterakan rakyatnya, bahkan ia dianggap memiliki kekuatan lebih (supranatural) sehingga ketika masih hidup pun masyarakat begitu menghormatinya.

Ada kebiasaan dari beberapa suku bahwa pada waktu tertentu masyarakat prasejarah mengadakan suatu penghormatan kepada kepala suku dengan mendirikan tonggak/tugu batu. Hal ini dilakukan sebaga bentuk terima kasih kepada kepala suku atas jasanya. Tugu batu inilah yang sekarang kita kenal dengan sebutan “menhir”.

Penghormatan dan pemujaan terhadap roh took atau leluhur ini merupakan salah satu bentuk kepercayaan tertua di masyarakat awal Indonesia. Penghormatan kepada kepala suku bukan hanya dilakukan ketika ia masih hidup, tetapi juga setelah meninggal dunia. Mereka pecaya akan adanya kehidupan setelah mati. Ketika kepala suku yang sangat dihormati tersebut meninggal dunia, meskipun jasadnya sudah tidak ada, rohnya dipercaya bisa memberikan perlindungan dan memberikan kesejahteraan bagi anggota keluarga dan masyarakat yang ditinggakannya. Bahkan ia memiliki kedudukan yang sama layaknya ia masih hidup. Menhir yang dibuat ketika ia masih hidup menjadi lambang dirinya dan dipuja oleh rakyatnya. Pada zaman megalitikum, menhir bisa berupa tugu batu yang digambarkan dengan figur manusia/makhluk lain (arca nenek moyang). Benda ini kemudian dijadikan sarana penghubung antara orang yang masih hidup dengan roh nenek moyang. 

Perkembangan Seni Patung Nusantara

Tradisi pembuatan patung diperkirakan sudah ada sejak zaman prasejarah, yakni pada masa neolitikum ketika manusia telah mengenal kehidupan bermasyarakat, menetap, dan menghasilkan makanan sendiri (food producing). Manusia saat itu mempercayai bahwa ada kekuatan lain yang tidak tertangkap pancaindra dan terdapat kehidupan lain selain alam dunia yang mereka tempati yaitu alam roh. Keyakinan tersebut menempati aspek yang sangat penting sehingga dilakukan penghormatan khusus bagi roh-roh leluhur dengan berbagai ritual serta simbol-simbol tertentu. 

Mereka meyakini bahwa roh-roh leluhur bisa memberikan perlindungan kepada anggota keluarga yang ditinggalkan. Sebagai bentuk pemujaan terhadap roh nenek moyang maka dibuatlah patung yang terbuat dari benda-benda tertentu seperti kayu bahkan batu-batu besar. Benda-benda tersebut terutama dapat kita saksikan pada sisa peninggalan dari zaman megalitikum, salah satu diantaranya adalah menhir. Sejalan dengan perkembangan kebudayaan manusia, pemujaan terhadap roh nenek moyang berkembang dari bentuk menhir yang tanpa ukiran menjadi bentuk batu yang dipahat sedemikian rupa menyerupai manusia dalam wujud patung tokoh-tokoh nenek moyang walaupun pembuatannya masih sangat sederhana.

Peninggalan patung zaman megalitikum tersebar di beberapa wilayah di Indonesia seperti di dataran tinggi Pasemah (Sumatera Selatan), Nias, Sukabumi, Ciamis, Kuningan, Bogor, Pandeglang, , Jabung (Lampung), Nusa Tenggara, Jawa Timur, Bali, Sulawesi, Papua, dan lain-lain. Pada zaman logam, muncul tradisi pembuatan figurin berukuran kecil dan bandul dihias dengan figure manusia dari bahan perunggu. Umumnya patung tersebut digunakan sebagai bekal kubur. 

Selain bentuk manusia, binatang juga dijadikan objek pembuatan patung. Masyarakat pada masa prasejarah mempercayai hewan-hewan tertentu yang dikeramatkan. Kepercayaan seperti ini disebut dengan totemisme. Binatang yang dipahatkan antara lain terdiri dari gajah, babi, kerbau, burung engang, kadal, ular, dan lain-lain. Patung-patung binatang yang ditemukan di banyak daerah di Indonesia tentunya dibuat bukan hanya menggambarkan ekspresi pembuatnya, tetapi juga sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai religi yang dianut oleh masyarakat saat itu. Totemisme melalui penggambaran figure binatang dalam patung terus berlangsung hingga kini di beberapa suku di Indonesia

Pembuatan patung dalam bentuk binatang dilatarbelakangi oleh beberapa hal, antara lain:
  1. Binatang tersebut memegang peranan penting dalam kehidupan manusia dan dapat dibudidayakan seperti kerbau yang dapat diambil tenaganya.
  2. Binatang tersebut dipercaya sebagai perwujudan atau lambang arwah  leluhur seperti buaya atau kadal pada masayarakat prasejarah
  3. Diakai sebagai upaya mengantisipasi keganasan hewan-hewan tertent seperti ular, gajah, harimau, babi hutan, yang patungnya digunakan sebaga sarana pemujaan untuk menolak bal, khususnya serangan dari binatang buas.
  4. Sebagai wahana dari dewa-dewa dalam agama Hindu dan juga binatang yangberkaitan dengan mitologi Hindu. 

Pada masa Hindu Budha di Indonesia, pembuatan patung ditujukan untuk upacara keagamaan dengan media berupa batu andesit atau logam. Patung/arca dewa dibuat sebagai pelengkap upacara pemujaan juga sebagai media untuk mendekatkan diri dengan dewa yang dipuja. Arca tersebut biasanya dilengkapi dengan atribut-atribut tertentu sebagai simbol dari dewa Hindu maupun Budha. Selain arca berupa dewa-dewi, pada masa ini juga dihasilkan arca-arca berupa figure manusia tanpa atribut dewa, figure raksasa seperti dwarapala, serta arca figure binatang seprti narawahana (singa, Ghana, dan gajah), bahkan ada juga penggambaran figure bertubuh manusia dan berkepala hewan.

Pada masa HIindu Budha kepercayaan terhadap roh nenek moyang tetap terus berkembang dan dimanifestasikan dengan membuat arca-arca perwujudan (pratista). Hal ini dapat dilihat dari beberapa arca perwujudan seperti arca Harihara dari Simping (Jawa Timur) yang merupakan perwujudan dari raja Kertarajasa Jayawardana, raja pertama Kerajaan Majapahit; arca Parwati dari candi Rimbi (Jawa Timur) yang merupakan perwujudan dari ratu Tribuwanatunggadewi; serta arca Durga Mahisasuramardini di pura Kadharman (Bajar Kutri, Gianyar, Bali) yang diperkirakan arca perwujudan dari Sri Gunapriya Dharmapatmi, istri raja Udayana.

Pembatan arca pada masa Hindu Budha dikerjakan oleh seniman yang pada awalnya angat mematuhi aturan pengarcaan  yang bersumber dari kesusasteraan India yaitu Sipasastra dan Talamana. Arca yang dibuat harus memenuhi aturan kaidah sad angga (sad berarti enam dan angga berarti syarat). Kaidah sad angga tersebut terdiri dari 
  1. Rupabedha (pembedaan bentuk)
  2. Sadrsya (kesamaan dalam peglihatan)
  3. Paraman (sesuai dengan ukuran yang tepat)
  4. Warnikabhangga (penguraian dan pembuatan warna)
  5. Bhawa (suasana dan pancaran rasa atau sesuatu yang merangsang/menumbuhkan perasaan)
  6. Lawanya (keindagahan atau daya pesona)

Ketika Islam memasuki Nusantara, tradisi pembuatan patung mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan dalam ajaran Islam terdapat larangan penggambaran makhhluk hidup sehingga hasil karya makhluk hidup biasanya disamarkan. Namun demikian di beberapa wilayah yang tidak terpengaruh agama Islam tetap melanjutukan pembuatan patung-patung nenek moyang seperti yang dapat kita saksikan di Nias, Batak, Kalimantan Barat, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Tradisi pembuatan patung di suku-suku bangsa yanag tersebar di Nusantara umumnya dikaitkan dengan system kepercayaan mereka. Mereka percaya bahwa jiwa orang yang sudah meninggal dunia masih dianggap berpengaruh pada orang yang masih hidup. Agar hubungan antara yang masih hidup dengan yang sudah meninggal dunia tetap terjalin akhirnya tokoh-tokoh tertentu seperti pendiri desa, tokoh adat, tokoh agama, dibuat perwujudannya berupa patung leluhur atau nenek moyang. Figur binatang juga sering digambarkan pada patug di beberapa suku bangsa seperti ular, kucing, aanjing, burung enggang, ayam, katak, kadal, dan buaya. 

Kamis, 28 Mei 2015

Sekilas Tradisi Menginang

Bangsa yang besar seperti bangsa Indonesia ini tentu mempunyai banyak kebudayaan daerah. Hal ini disebabkan karena banyaknya suku bangsa yang ada di Indonesia itu sendiri. Antara daerah yang satu dengan daerah yang lain pasti mempunyai adat istiadat yang berbeda-beda. Contohnya saja kebiasaan menginang. Kebiasaan menginang ini pastilah berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Menyirih atau yang biasa di sebut dengan menginang merupakan suatu istilah untuk menyebut suatu kebiasaan mengunyah bahan-bahan paduan antara daun sirih, pinang dan kapur yang pada masa selanjutnya juga dicampur dengan gambir dan juga tembakau. Pinang merupakan jenis tanaman palma yang dalam bahasa Hindi buah ini disebut supari.

Mengetahui secara pasti kebiasaan menginang terutama dari tinjauan dalam aspek waktu maupun dalam aspek ruang ini sangat sulit untuk diketahui. Akan tetapi, ada anggapan umum yang menyatakan bahwa kebiasaan menginang sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara luas sejak zaman dahulu. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa kebiasaan menginang ini dikenal hampir mencakup seluruh kawasan Asia (Depdikbud 1992:3)

Ketidak pastian mengenai kapan kebiasaan menginang dikenal oleh masyarakat Indonesia ini nampak jelas dari kurang adanya informasi. Tidak ada satu informasi pun yang menjelaskan tentang kapan dan di mana kebiasaan menginang ini berawal. Bahkan tidak adanya tulisan maupun gambar yang menjelaskan secara tegas kapan dan di mana kebiasaan menginang ini berawal.

Menurut informasi dalam buku album Pekinangan Tradisional (Depdikbud 1992:3), musafir I-tsing mengatakan bahwa pada abad ke tujuh Masehi orang-orang Sumatera sudah mengenal dan memanfaatkan buah pinang. Sedangkan Profesor Kern mengatakan bahwa pada abad ke empat, aktifitas menginang sudah disebuat dalam sandiwara

Di pulau Jawa (Depdikbud 1992:3), pinang dan sirih sudah ada pada beberapa prasasti pada abad ke sembilan sampai abad ke sepuluh masehi. Pada abad ke sepuluh sampai abad ke empat belas masehi, berita dinasti Sung mencantumkan sirih dan pinang sebagai salah satu mata dagangan yang diekspor dari pulau jawa. Karena keterbatasan sumber-sumber informasi sehingga tidak dapat pula diketahui dengan pasti tentang kurun waktu kebiasaan menginang ini menyebar ke seluruh nusantara. Di daerah Sulawesi sendiri, informasi hanya muncul di daerah Sulawesi Tenggara yaitu adanya peralatan menginang yang berasal dari masa pemerintahan Tua Rade yaitu Raja ke empat (sekitar abad ke-14 Masehi). Di Maluku pada abad ke-16, George Everhard yang merupakan seorang penulis sejarah Maluku telah mencatat enam jenis pinang dan sirih yang digunakan oleh masyarakat pada masa itu.

Tempat peralatan menginang atau yang biasa disebut sebagai penginangan tentunya muncul setelah menginang sudah menjadi sebuah kebiasaan dan setelah munculnya kebutuhan akan wadah kinang di masyarakat. Oleh sebab itu, bila kebiasaan menginang di Indonesia diperkirakan muncul sebelum abad ke empat Masehi, maka paling tidak kebiasaan masyarakat membuat wadah menginang muncul pada abad setelah itu.

Kata penginangan sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Jawa yang berarti tempat khas untuk peralatan dan perlengkapan menginang yg meliputi tempat kinang berikut kelengkapannya, seperti tempat sirih, tempat tembakau, alat pemakan kinang, alat pemotong pinang, dan tempat ludah. Tetapi karena sulit untuk menyebutkan wadah atau tempat yang khusus digunakan untuk meletakkan daun sirih atau buah sirih dan pinang, maka penggunaan istilah penginangan harus diartikan untuk mengacu pada seluruh perangkat yang berkaitan dengan aktifitas memakan sirih dan pinang ini.

Menginang sebagai sebuah kebiasaan dalam masyarakat Indonesia semakin lama semakin menghilang. Masyarakat yang kini beralih dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, mulai tidak mengenal lagi kebiasaan menginang ini. Apalagi generasi muda sekarang, banyak yang tidak mengenal tradisi menginang yang dahulu dilakukan oleh nenek moyang kita.

Generasi ini juga tidak lagi paham akan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kebiasaan menginang. Nilai-nilai budaya yang sebenarnya seringkali merupakan ungkapan nyata dari kearifan yang dimiliki oleh generasi terdahulu dalam menjalankan kehidupan. Oleh sebab itu, kebiasaan menginang yang sebenarnya dikenal oleh hampir seluruh suku bangsa di Indonesia dengan segala keanekaragaman cara dan nilai yang dikandungnya, perlu diperkenalkan lagi pada generasi muda masa kini. Hal tersebut sama sekali bukan untuk menghidupkan kembali tradisi menginang, melainkan semata-mata hanya untuk melestarikan segi kearifan nenek moyang yang terefleksi dalam nilai-nilai budaya menginang. Selain itu dimaksudkan pula untuk menunjukkan nilai-nilai artistik yang terpancar dari peralatan-peralatan dan perlengkapan menginang supaya dapat mengetahui identitas budaya bangsa sendiri.

Budaya menginang merupakan kebiasaan masyarakat peramu yang diturunkan dari generasi ke genrasi dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada zaman dahulu. Sebelum menginang, terlebih dahulu dipersiapkan bahan-bahan ramuan yang terdiri dari buah pinang, daun sirih, gambir, kapur sirih, atau ditambah dengan tembakau.

Kebiasaan menginang di setiap daerah berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan karena dilatarbelakangi adanya sistem religi, dan kepercayaan yang merupakan tradisi sejak masa prasejarah. Seperti halnya di Papua, terdapat hal cukup unik ketika akan memanen buah pinang. Ada beberapa pantangan yang harus dihindari dalam memanen buah pinang. Pantangan tersebut yaitu buah pinang yang dipetik dari atas pohon tidak boleh dijatuhkan, buah pinang tidak boleh dipetik menggunakan kayu atau bambu, buah pinang yang dipanen menggunakan bambu ataupun jatuh ke tanah segera diambil kemudian dibawa memutar mengelilingi pohon pinang tersebut sebanyak tiga kali supaya kalau dimakan tidak menyebabkan mabuk atau pusing, mayang pinang yang telah dipetik buahnya tidak boleh dibakar karena diyakini pohon tersebut tidak akan berbuah lebat lagi, dan juga mayang pinang yang tumbuh lurus berlapis dengan batang dan padat menyerupai ikan sapu lidi maka buahnya tidak boleh dipetik dan di makan kerena bisa menyebabkan mabuk atau pusing yang sangat lama.

Pada masyarakat Papua, menggunkan kulit kerang dalam pembuatan kapur yang digunakan dalam menginang. Jenis kerang yang digunakan dalam pembuatan kapur ini yaitu jenis kerang arca atau anadara. Kapur ini dibuat dengan cara daun sagu, daun kelapa, dan daun nipah kering diletakkan di bagian atas, kemudian dibakar. Kemudian kulit kerang disusun di atas pelepah sagu, dibiarkan terbakar selama dua sampai tiga jam. Setelah itu, abu kulit kerang dipisahkan, kemudian dicampur dengan air garam secukupnya pada tempat yang telah disiapkan.

Kebiasaan menginang masyarakat Papua dimaksudkan hanya untuk penyedap mulut, mengikat hubungan untuk membangkitkan reaksi dan interaksi dalam pergaulan, dan juga dihidangkan secara khusus kepada para tamu. Selain itu, digunakan pula untuk melamar seorang gadis, membangkitkan energi dalam melakukan pekerjaan fisik dan non fisik yang berkaitan dengan adat dan juga digunakan untuk media penyalur magis. Dari segi kesehatan digunakan untuk obat pembasmi kuman-kuman di dalam gigi dan menghilangkan bau mulut.

Selain di Papua, kebisaan menginang ini juga dikenal oleh masyarakat Maluku. Di daerah Maluku sendiri, kebiasaan menginang dilakukan dengan cara sirih dimakan atau dikunyah bersama-sama dengan pinang, kapur, dan kadang-kadang ditambah deengan tembakau. Seperti halnya dengan daerah Papua, di Maluku sendiri kapur atau yang biasa disebut dengan kapur sirih diperoleh dari hasil pembakaran kulit kerang.

Pada zaman dahulu, kebiasaan menginang di Maluku berfungsi untuk dikonsumsi sehari-hari, sebagai obat-obatan, menunjukkan status sosial, dan juga digunakan dalam upacara-upacara adat. Menginang sebagai konsumsi sehari-hari disini dapat dinikmati dari kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Menginang tidak hanya dilakukan sekali ataupun dua kali, melainkan dilakukan berkali-kali dalam sehari sehingga, kebiasaan menginang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Maluku. Bahkan kemanapun mereka pergi, mereka selalu membawa sirih dan pinang yang digunakan untuk menginang.

Sementara di Sulawesi, kegiatan menginang bukan hanya sebagai pengobatan, relasi sosial, penyedap mulut dan dikonsumsi sehari-hari saja, tetapi juga digunakan di dalam upacara adat yang sangat sakral. Hal ini dapat kita lihat pada kebudayaan Gorontalo dan Bolaang Mongondow yang menggunakan kegiatan menginang sebagai alat perlengkapan upacara perkawinan dan upacara-upacara adat lainnya. Sirih bagi masyarakat Sulawesi Tengah, selain digunakan untuk tradisi meginang, dapat juga dijadikan sebagai obat kumur, obat untuk batuk kering, dan obat untuk menghilangkan bau badan.
       
Di Sulawesi Selatan, makan sirih atau menginang juga digunakan dalam upacara adat, upacara keagamaan,dan upacara pernikahan. Kegunanan makan sirih atau menginang pada upacara-upacara tersebut merupakan suatu keharusan dan dipandang sebagai salah satu unsur pokok yang wajib ada. Misalnya saja pada upacara pernikahan, pada hal ini pihak laki-laki harus membawa sirih pinang sebagai suatu cara untuk melamar seorang gadis. Penyerahan sirih pinang dalam acara tersebut yaitu sebagai tanda penyerahan secara ikhlas, apabila pihak wanita menerima sirih pinang tersebut pertanda bahwa pinangan dari pihak laki-laki telah diterima. Dari sini tampak penggunaan sirih pinang sebagai fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan.
      
Selain sebagai fungsi sosial, sirih pinang meliki fungsi religius terutama pada upacara pengislaman (sunatan), dan dapat digunakan sebagai ramuan obat contohnya saja untuk mengobati orang yang kesurupan. Penggunaan sirih pinang disini dimaksudkan untuk mengusir pengaruh magis atau roh-roh jahat yang bersemayam dalam diri orang yang kesurupan.
      
Sirih, kapur, pinang gambir dan tembakau juga memiliki makna simbolis yang merupakan lambang bagi perilaku kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan. Daun sirih melambangkan perempuan yang cantik. Dalam bahasa Bugis disebut dengan maddaung poddi. Kapur yang warnanya putih melambangkan kesucian wanita sedangkan gambir yang dapat mengeluarkan warna merah yang secara simbolik merupakan lambang dari kehidupan manusia. Demikian pula dengan pinang dan juga tembakau, pinang apabila dimakan menyebabkan pening dan hal ini melambangkan bahwa wanita setelah menikah akan merasa pening terutama pada waktu ngidam. Tembakau apabila penggunaannya berlebihan pada saat menginang, maka akan menyebabkan merasa pusing dan juga ini pertanda bahwa laki-laki telah jantuh cinta pada seorang gadis akan merasa resah dan pusing.
                 
Seperti yang sudah disebutkan diatas, bahwasannya kebiasaan menginang dilakukan hampir di seluruh suku bangsa di Indonesia yang berfungsi sebagai alat upacara adat, sarana penghormatan tamu, lambang pergaulan, sebagai fungsi sosial dan juga sebagai sarana untuk kesehatan. Benda-benda seni penginangan berfungsi untuk alat-alat keperluan menginang juga dipergunakan untuk menunjukkan status sosial bagi orang yang memakainya.
      
Menginang sebagai sebuah kebiasaan dalam masyarakat Indonesia semakin lama semakin menghilang. Apalagi generasi muda sekarang, banyak yang tidak mengenal tradisi menginang yang dahulu dilakukan oleh nenek moyang kita. Oleh sebab itu, generasi muda zaman sekarang perlu diperkenalkan kebiasaan menginang ini. Hal tersebut sama sekali bukan untuk menghidupkan kembali tradisi menginang, melainkan hanya untuk melestarikan segi kearifan nenek moyang yang terefleksi dalam nilai-nilai budaya menginang. Selain itu dimaksudkan pula untuk menunjukkan nilai-nilai dari peralatan-peralatan menginang supaya dapat mengetahui identitas budaya bangsa sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Budaya Menginang di Daerah Irian Jaya, Maluku, dan Sulawesi. Jakarta : Proyek Pembinaan Permuseuman

Ciri Arca Majapahit


Pencapaian peradaban dalam masa Majapahit dapat dilihat juga dalam bidang seni arca yang mempunyai bentuk dan gaya tersendiri. Jumlah arca yang dihasilkan dalam era Majapahit cukup banyak. Arca-arca tersebut ada yang berasal dari periode awal, kejayaan, kemunduran dan keruntuhan Majapahit. Ciri khas bentuk arca Majapahit telah ditelaah oleh para ahli. Salah satu cirinya yang kuat adalah terdapatnya garis-garis di sekitar tubuh arca. Garis ini sebagai garis sinar yang lazim disebut dengan “sinar Majapahit”. Adapun bentuk relief lingkaran yang dilengkapi dengan garis-garis sinar seringkali didapatkan di beberapa bagian candi yang disebut dengan “Surya Majapahit”.

N.J. Krom pernah mengemukakan dalam artikelnya yang berjudul “De beliden van Tjandi Rimbi’ (1912) tentang ciri-ciri arca masa Majapahit sebagai berikut:
  1. Pada kedua sisi arca dihias dengan padma yang ke luar dari pot/vas bunga.
  2. Hiasan kepala (mahkota) berbentuk kerucut (kirita makuta) dan terdapat pula ikat kepala di dahi (jamang).
  3. Perhiasan telinga berbentuk memanjang.
  4. Gerai rambut dihias dengan makara atau perhiasan lain yang sesuai.
  5. Tubuh bagian atas terbuka (tidak memakai pakaian) kecuali perhiasan tali dada atau tali kasta (upawita).
  6. Terdapat ikat pinggang di bawah dada (anteng).
  7. Digambarkan mengenakan kain sarung berlapis-lapis.
  8. Ikat pinggang setinggi perut, di bawahnya terdapat lipatan kain yang terlihat. Selain itu, dibawah lipatan terdapat ujung tali yang menggantung di bahu kiri.
  9. Pada kedua kaki menjuntai tali-tali dari ikat pinggang setinggi perut dan di ujung tali terdapat hiasan.
  10. Wiru dan kain pada kedua sisi ‘tubuh dan di antara dua kaki, ujungnya terbelah berbentuk ekor burung layang-layang.
  11. Memakai gelang tangan, kelat bahu dan gelang kaki yang lebar.

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua ciri arca tersebut dapat secara lengkap dijumpai pada setiap arca masa Majapahit. Ciri-ciri tersebut hanya hadir pada beberapa arca penting saja, seperti arca Hari-Hara dari Candi Sumberjati, arca Parwati dari Candi Ngrimbi, arca perwujudan sepasang tokoh dan arca “Ratu Suhita”. Arca-arca era Majapahit lainnya mungkin hanya memiliki sebagian ciri saja. Walaupun demikian, cukup untuk diidentifikasikan sebagai arca gaya seni Majapahit. Justru ciri yang kerapkali didapatkan pada arca-arca Majapahit, oleh Krom malah dilupakan, yaitu adanya “Sinar Majapahit” yang keluar di sekeliling tubuh arca. Mungkin saja pada masa Krom menyusun karyanya, temuan arca-arca Majapahit dengan “Sinar Majapahit” belum banyak ditemukan sehingga ciri penting tersebut belum dimasukkan oleh Krom sebagai salah satu ciri arca masa Majapahit.

Pendapat Krom itu lalu mendapat “penjelasan” lebih lanjut dari W.F. Stutterheim dalam karyanya “De dateering van eenige Oost-Javaansche beeldengroepen“. Pendapat Krom antara lain menyatakan bahwa ciri arca Majapahit yang penting adalah terdapatnya bunga teratai yang keluar dari pos/vas di kanan-kiri arca, sedangkan ciri seni arca Singhasari adalah terdapat bentuk bunga teratai yang langsung keluar dari akarnya (bonggolnya) disisi kanan-kiri tubuh arca. Stutterheim menyatakan bahwa ciri teratai yang keluar dari pot sebenarnya tidak menandai zaman/periode gaya seni Singhasari ataupun Majapahit. Ciri tersebut sebenarnya menandai dinasti atau keluarga raja.

Selanjutnya, Stutterheim mengemukakan bahwa arca-arca yang diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol (akarnya) sebenarnya dapat dihubungkan dengan penggambaran raja-raja Singhasari dan keluarganya. Apabila ada keluarga Raja Singhasari mangkat dan kemudian diarcakan dalam bentuk arca perwujudan, maka arca-arca itu digambarkan dengan diapit teratai yang keluar dari akarnya, sedangkan raja-raja Majapahit dan keluarganya jika diwujudkan dalam bentuk arca, penggambarannya diapit oleh teratai yang keluar dari dalam wadah (vas, periuk, pot atau lainnya lagi).

Pendapat Stuterheim tersebut agaknya benar. Hal ini terbukti dengan arca perwujudan Rajapatni Gayatri yang berupa Prajnaparamita di Candi Bayalango. Penggambarannya diapit oleh sepasang teratai yang keluar dari bonggolnya. Menurut Nagarakrtagama, Gayatri wafat tahun 1272 S/1350 M. Ia kemudian di-dharma-kan di Bayalan. Arcanya berwujud Prajnaparamita. Gayatri meninggal dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Jika mengikuti pendapat Krom, seharusnya arca Prajnaparamita tersebut diapit teratai yang ke luar dari suatu wadah karena dibuat dalam masa Majapahit. Apabila mengikuti pendapat Stuttetheim, maka, arca tersebut menggambarkan Gayatri yang sebenarnya putri Raja Singhasari Krtanagara, raja terakhir Singhasari. Oleh karena itu, arca perwujudannya diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol akar-akarnya. Selain iu, arca Amoghapasa yang sekarang kepalanya hilang dan masih terdapat di halaman Candi Jago juga diapit oleh teratai yang keluar dari bonggolnya, artinya menggambarkan keluarga Raja Singhasari. Hal itu dapat dipahami karena arca tersebut menurut uraian kitab Pararaton menggambarkan Sri Rangga Wuni (Wisnuwarddhana) – ayahanda Krtanagara yang telah meninggal di-dharma-kan di Jajaghu atau Candi Jago sekarang.

Arca-arca dari masa Majapahit penggarapannya cukup halus sehingga dapat dianggap karya seni arca yang bermutu tinggi karena keindahannya, misalnya arca Hari-Hara (tinggi 2 m) dari Simping (Candi Sumberjati) di Blitar dan arca Dewi Parwati (tinggi 2 m) dari Candi Ngrimbi di Jombang. Kedua arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta. Arca Parwati diapit oleh teratai yang ke luar dari vas, menurut Stutterheim termasuk contoh gaya seni arca keluarga Majapahit. Arca Parwati itu sangat mungkin menggambarkan Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani, ibu Hayam Wuruk. Sebagaimana diketahui bahwa sang ratu adalah putri dari Raja Majapahit pertama, yaitu Krtarajasa Jawawarddhana.

Mengenal Mudra



Dalam seni arca Hindu-Budha sering kali kita melihat arca-arca menampilkan bentuk posisi tangan yang berbeda. Posisi tangan yang seperti itu disebut dengan mudra. Banyak arca duduk bersila dalam posisi lotus serta menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Secara sepintas arca-arca tersebut terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. 

Dalam wikipedia disebutkan, Mudrā (Dewanagari: dalam bahasa Sanskerta artinya: “lambang” atau “segel”) adalah gestur atau sikap tubuh yang bersifat simbolis atau ritual dalam Hinduisme dan Buddhisme. Ada beberapa mudrā yang melibatkan seluruh anggota tubuh, akan tetapi kebanyakan hanya dilakukan dengan tangan dan jari. Mudrā adalah gestur spiritual dan penanda energi dan keaslian dalam ikonografi dan praktik spiritual dalam tradisi agama Dharma serta Taoisme.

Dalam yoga, mudrā dilakukan bersamaan dengan pranayama (latihan pernapasan yoga), umumnya dilakukan sambil bersila dalam poseWajrasana, dilakukan untuk merangsang berbagai bagian tubuh yang berkaitan dengan latihan pernapasan dan memengaruhi aliran prana dalam tubuh.

Mudrā kerap digunakan dalam ikonografi kesenian Hindu dan Buddha di India dan disebutkan dalam beberapa naskah, seperti Natya Shastra, yang mencantumkan 24 asaṁyuta (“terpisah”, artinya “satu-tangan”) dan 13 saṁyuta (“bersama”, artinya “dua-tangan”) mudrā. Posisi mudrā biasanya terbentuk dari tangan dan jemari. Bersama dengan asana (“postur duduk”), dan dilakukan baik secara statis dalam meditasi maupun secara dinamis dalam Natya Yoga yang dipraktikan dalam ajaran Hinduisme. Masing-masing mudrā memiliki dampak tertentu bagi pelakunya. Beberapa sikap tangan dapat ditemukan baik dalam ikonografi Hindu maupun Buddha. Di beberapa kawasan seperti Thailand dan Laos terdapat penafsiran dan bentuk tersendiri.

Mudra adalah sebuah gerak tubuh yang bermakna spiritual. Gerak tubuh ini bisa meliputi seluruh tubuh, tapi lazimnya dilakukan dengan tangan dan jari jemari tangan. Agama Hindu dan Buddha dalam literatur spiritualnya banyak menyertakan mudra sebagai sebuah simbol, perlambang, pemberian berkat, dll.

Dalam yoga, mudra digunakan secara luas menyertai praktek asanas, pranayama, kriya, bandha dan meditasi. Terutama dipakai dalam praktek pranayama (teknik bernafas dengan benar) karena mudra dipercaya dapat memerlancar masuknya aliran prana (energi) dalam tubuh. Tidak hanya dipraktekkna dalam yoga, mudra juga dikenal dalam teknik martial arts, terutama ninjutsu. Pasti sobat2 yang suka nonton film kartun Naruto familiar dengan ninja mudra atau kuji-in.

Ras manusia merupakan bagian penting dalam penciptaan Tuhan – Alam Semesta. Sesungguhnya, tubuh manusia didesain seperti alam semesta dengan kelima elemennya, yang disebut, Api, Udara, Tanah, Air dan Ruang. Ilmu pengetahuan tentang mudra didasarkan pada elemen-elemen tersebut. Suatu keadaan yang tidak seimbang dan tidak sesuai koordinasinya antara elemen-elemen tersebut menyebabkan ketidakteraturan mental dan fisik, sehingga fungsi sinkronisasi merupakan rahasia kesehatan yang prima. Tubuh kita seperti misteri yang tidak pernah berakhir, tetapi juga merupakan harta karun kesehatan, kebahagiaan, dan kedamaian. Tuhan telah memberikan tantangan kepada manusia dengan masalah-masalah tetapi juga memberikan kekuatan dan kemampuan untuk mengatasinya. Banyak dari solusinya ditemukan pada tangan kita.

5 Elemen
Ibu jari               >> Api
Jari Telunjuk     >> Udara
Jari Tengah      >> Akasha
Jari Manis         >> Tanah
Jari Kelingking  >> Air

Tangan kita mengoperasikan kesehatan tubuh kita. Mereka memproduksi suatu jenis energi atau gelombang elektro magnetis atau aliran listrik di tubuh (aura). Dengan mengusap tangan satu sama lain dan menciptakan panas dengan sentuhan dan kekuatan pikiran kita, kita dapat mengobati penyakit yang paling misterius sekalipun. Mudra didasarkan pada terapi sentuhan dan latihan yang teratur membantu menyeimbangkan kelima elemen. Ilmu pengetahuan modern juga menyetujui bahwa berbagai jenis gelombang elektro-magnetis yang berbeda disalurkan melalui jari-jari tangan. Menurut para orang-orang suci dan para rishi jaman dahulu yang menemukan Mudra Vigyan, titik-titik tertentu pada telapak tangan kita perlu ditekan untuk pengobatan penyakit tertentu. Dengan menekan tangan kita satu sama lainnya atau dengan melipat jari tangan dengan posisi tertentu atau menekan beberapa titik di tangan, kita dapat mengobati gangguan dengan pertolongan dari jari-jari tangan sebagai pengkoordinasian dengan elemen-elemen kehidupan. Masing-masing daerah tangan dihubungkan dengan suatu daerah di otak dan memberikan pesan-pesan jelas pada pusat otak. Kekurangan dalam kelima elemen dapat diperbaiki dengan menghubungkan suatu bagian tubuh dengan yang lainnya dengan cara tertentu melalui mudra.

Ketika satu jari yang mewakilkan suatu elemen disentuhkan dengan ibu jari, menyebabkan elemen tersebut menjadi seimbang. Sehingga penyakit tersebut yang disebabkan karena ketidakseimbangan disembuhkan. Dengan menekan sisi jari, tergantung kebutuhan, kita akan dapat mempengaruhi emosi dan organ yang berkaitan.

Cara kerja
  • Ibu jari mewakili elemen tanah, perut dan rasa khawatir.
  • Jari telunjuk mewakili elemen besi, paru-paru, usus besar dan emosi depresi, kesedihan, dan duka cita.
  • Jari tengah adalah elemen api, jantung, usus kecil, sistem sirkulasi dan pernafasan, emosinya adalah ketidaksabaran dan mengikuti kata hati.
  • Jari manis adalah elemen kayu dan dihubungkan dengan liver, kantung empedu, sistem saraf, dan berhubungan dengan kemarahan.
  • Jari kelingking berhubungan dengan air, ginjal dan rasa takut. Sehingga jika kita diliputi dengan emosi, cukup dengan menekan jari-jari yang berkaitan beberapa kali dan kita akan menjadi lebih baik.
Tujuan dan Fungsi Mudra
  1. Mudra dapat digunakan untuk mengatur beberapa kegiatan psikologi refleks dan biokimia.
  2. Mudra telah dibuktikan dapat membantu mengembangkan perhatian diri tentang aliran energi di tubuh halus.
  3. Mudra juga mempercepat orientasi spiritual dan mendorong proses pengobatan diri sebaik pengobatan fisik.
  4. Mudra menciptakan suatu tempat energi dan dapat digunakan dalam pengobatan.
  5. Tujuan utama dalam mudra adalah mencapai tahap kesadaran yang lebih tinggi.
  6. Mudra pada yoga merupakan mantra yang simbolik dan memberikan sinyal kepada kelenjar-kelenjar dan bagian otak tertentu tergantung tujuan dari meditasi atau yoga.
  7. Pada yoga, posisi tangan yang sakral ini berhubungan dengan aliran energi pada meditasi tertentu.
  8. Mudra membantu asana dan mantra
  9. Mudra membangun kekuatan untuk pengembangan pikiran dan tubuh secara keseluruhan yang dapat menciptakan kedamaian dan kebahagiaan.
  10. Mudra merupakan obat yang sangat cepat terhadap banyak penyakit. mudra dapat bermanfaat terhadap semua masalah baik itu masalah sehari-hari maupun penyakit yang parah.
  11. Mudra membantu perkembangan fisik, mental, bahkan aspek moral seseorang.
  12. Mempraktekkan beberapa mudra secara teratur dapat menyembuhkan insomnia, arthtritis, dan memperbaiki ingatan.

Rabu, 27 Mei 2015

Rencong, Senjata Kebanggaan Orang Aceh



Rencong (Reuncong) merupakan senjata tradisional dari daerah Aceh, Indonesia, bentuknya seperti huruf L. Rencong termasuk dalam kategori senjata dagger/belati (bukan pisau ataupun pedang). Rencong memiliki kemiripan rupa dengan keris. Panjang mata pisau rencong dapat bervariasi dari 10 cm sampai 50 cm. Matau pisau tersebut dapat berlengkung seperti keris, namun dalam banyak rencong, dapat juga lurus seperti pedang. Untuk memperindah seni yang terdapat pada sebuah rencong maka ditambah lagi dengan pembuatan sarungnya. Sarung rencong biasanya dibuat dari kayu ataupun tanduk kerbau dan ada dari gading gajah atau bahkan dari logam yang dicampur emas. Kayu yang dipergunakan antara lain bak keupula (bunga tanjung), bak panah (batang nangka), bak mee (batang asam jawa) dan lain sebagainya. Adapun motif-motif sarung rencong terdiri dari motif fauna dan motif flora. Motif fauna adalah : ukiran ular, naga, ayam jago, burung nuri, kupu-kupu dan sebagainya sedangkan motif flora adalah : gambar-gambar bunga, buah dan daun. 

Rencong biasanya diselipkan di antara sabuk di depan perut pemakai. Senjata rencong merupakan salah satu senjata yang digunakan untuk berperang melawan Belanda, khususnya pada perang Aceh yang berlangsung antara tahun 1873-1904 M. Secara simbolik, senjata ini cukup berjasa sebagai senjata pusaka yang membangkitkan semangat juang para perajurit Aceh. Hampir semua perajurit dan pimpinan gerilya Aceh menyelipkannya di pinggang selama mereka berjuang memepertahankan tanah kelahiran mereka, termasuk para wanita seperti Tjut Nyak Dien dan pahlawan wanita lainnya.

Pada awalnya fungsi rencong hanya sebagai salah satu senjata untuk membela diri dan melawan musuh-musuh seperti penjajah Belanda. Selain itu, juga digunakan sebagai kelengkapan pakaian adat setempat. Cara mengenakannya adalah dengan menyelipkan di balik lipatan kain sarung pada perut si pemakai. Hulu rencong menghadap ke arah tangan kanan, sedangkan badannya diselipkan pada kedudukan miring, condong ke kanan pula. Secara simbolis, hal ini agaknya untuk memudahkan si pemakai mencabut rencong tersebut jika ada keperluan tertentu. Namun, fungsi rencong saat ini sudah bertambah. Ia juga dijadikan sebagai cendramata untuk diberikan kepada tamu-tamu seperti pejabat pemerintahan atau orang-orang yang datang berkunjung ke negeri Serambi Mekah ini.

Ajaran Islam sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial budaya masyarakat di daerah aceh. Berkaitan dengan nilai simbolis, senjata khas masyarakat Aceh ini memiliki keunikan dan mengandung nilai filosofis berkenaan dengan agama Islam. Hal ini terlihat pada model pembuatannya, gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada bahagian sikunya merupakan aksara Arab Ba ; Bujuran gagang tempat genggaman berbentuk aksara Arab Sin ; Bentuk-bentuk lancip yang menurun ke bawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan aksara Arab Mim ; Lajur-lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara Arab Lam dan ujung yang runcing sebelah atas mendatar dan bahagian bawah yang sedikit melekuk ke atas merupakan aksara Arab Ha. Dengan demikian rangkaian dari aksara BA, MIM, LAM dan HA itu mewujudkan kalimah “BISMILLAH”. Ini berkaitan dengan jiwa heroic dalam bentuk senjata tajam yang dipakai sebagai senjata perang untuk mempertahankan agama Islam dari penjajahan orang-orang yang anti Islam. Simbol tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Aceh sangat berpegang teguh pada ajaran Islam. Selain itu, kata rencong sudah menjadi bahasa simbol bagi daerah yang berada di paling barat Indonesia ini. Ketika Aceh disebut, biasanya selalu diiringi dengan frase Tanah Rencong. Selain itu, ada pula frase Serambi Mekah, yang menegaskan bahwa masyarakat daerah Aceh ini sangat kental dalam mengamalkan ajaran agama Islam.

Pada umumnya Di Aceh Bentuk rencong dibagi menjadi beberapa bentuk yang bisa dijelaskan seperti di bawah ini

Rencong meupucok
Rencong ini dipakai oleh kalangan atas (kaum bangsawan), pada gagangnya dibungkus dengan perhiasan emas. yang di atas gagangnya dibuat pucuk yang terbuat dari ukiran logam, umumnya dari emas. Pada bagian pangkal gagang dihiasi emas bermotif tumpal (pucuk rebung), di tampuk gagang diberi permata, sementara sarungnya dibuat dari gading yang diberi ikatan emas. Gagangnya kelihatan kecil pada bagian bawah dan mengembang membesar pada bagian atasnya. Bentuk ukiran permukaan bagian atasnya antara lain bunga berantai, daun, bunga mawar dan ada juga berbentuk aksara Arab. Hulu rencong meupucok ditutupi dengan ukiran emas pada bagian atas, dibungkus dengan emas bagian putingnya dan biasanya terbuat dari tanduk dan gading.

Rencong meucugek
Digunakan oleh kalangan menengah di Aceh. Rencong meucugeek gagangnya dibuat dari gading gajah yang kadang-kadang dihiasi pula dengan perhiasan emas pada sumbunya. Gagangnya memiliki penahan dan perekat yang dalam bahasa lokal dikenal dengan istilah cugek atau meucugek. Rencong jenis ini menggunakan cugek (bergagang lengkung 90 %). Cugek melengkung ke bagian belakang mata rencong kira-kira 15 cm sehingga dapat berbentuk siku-siku. Cugek ini bergunanya agar ketika dipegang tidak mudah lepas saat melakukan pembelaan diri, sehingga ketika pertempurn berlangsung menikam lawan secara bertubi-tubi serta mudah dicabut kembali walaupun sumbunya dalam keadaan berlumuran darah.
`
Rencong Pudoi (biasa)
Pudoi artinya menengah (biasa). Ini dapat di lihat dari gagangnya. Gagang rencong ini tidak sama dengan rencong meupucok, meucugek atau meukuree. Hulu rencong Pudoi adalah pegangan tanpa variasi, kelah (pembungkus bagian bawah hulu dan puting yang kadang-kadang dibesarkan sedikit agar tidak tertutup dengan gagang yang sederhana bila ditancapkan pada sasarannya. Gagang rencong Pudoi ini tidak ada lengkungnya.Gagangnya dibuat dari tanduk yang sudah dihaluskan, sehingga mutunya tidak kalah dengan rencong yang sumbunya dibuat dari gading.

Rencong Meukuree
Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada matanya. Rencong yang mempunyai kuree pada mata. Mata rencong jenis ini diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga, dan sebagainya.. Gambar ini bukan sengaja dibentuk, tetapi terbentuk secara sendirinya waktu rencong itu ditempa. Rencong ini berbeda dengan yang lainnya, semakin lama disimpan semakin banyak kureenya dan semakin mahal harganya

Bentuk Umum Rencong
Meskipun bentuk rencong berbeda-beda namun yang membedakan secara bentuk adalah gagangnya. karena perbedaan bentuk itulah kemudian muncul nama-nama rencong itu sendiri, selain rencong meupucok, meucugeek dan peudoi (atau biasa) ada beberapa bentuk rencong lain yang dikenal diaceh, seperti rencong Meukuree dan rencong umum. Rencong umum yang dimaksud adalah rencong yang tidak termasuk kedalam empat golongan rencong manapun. sedangkan dari fungsinya rencong terdiri dari beberapa jenis yang kesemuanya berfungsi sebagai senjata tusuk, antara lain: Uléè’ lapan sagoe, S i w a ‘i h, Uléè’bdh glima, Uléè’ paroh blesékan, Uléè’ dandan, Uléè’ mcucangge dan Uléè’janggok. Secara umum detail gambaran rencong adalah sebagai berikut :

Gagang Rencong 
1. Batang rencong
2. Fungsi kedudukan puting rencong didalam gagang.
3. Gagang rencong bentuk gagangmeucugek.
4. Bahagian rencong yang disebut cugee.


Puting Rencong 
1. Puting rencong. 
2. Batang rencong

Batang Rencong
Batang rencong yaitu bagian besi yang menghubungkan puting dengan bengkuang rencong.
1. Batang rencong
2. Bengkuang rencong yang berbentuk kuku elang atau kuku raja wali.
3. Bagian pangkal rencong sebelah mata rencong.


Bangkuang rencong
Bangkuang rencong ini bila diartikan dalam bahasa Indonesia, agaknya lebih tepat disebut kuku elang atau kuku raja wali rencong. Gunanya sebagai kuku penyangkut, apabila disarungkan berfungsi sebagai
sangkutan bila diselipkan pada pinggang sipemakainya.
1. Bengkuang rencong
2. Bagian pangkal rencong
3. Bagian batang rencong yangdikatakan juga reukueng-reukueng

Perut Rencong
Perut rencong merupakan bagian mata rencong yang letaknya di tengah-tengah mata rencong. Bagian ini diasah sehingga tajam, yang kadang-kadang dipergunakan untuk memotong sesuatu benda yang
agak keras.
1. Perut rencong 
2. Arah kebagian pangkal rencong.
3. Arah kebagian ujung rencong
4. Bagian yang diasah sehingga tajam, untuk memotong sesuatu benda yang agak keras


Ujung Rencong
Ujung rencong adalah bagian mata rencong yang runcing, karena pa ‘a bagian ujung rencong itulah vang menentukan tembus tidaknya, sesuatu benda yang ditusuk atau ditancapkan dengan sebilah rencong. Di samping itu digunakan pula untuk menggores sesuatu benda yang hanya mempan ditembus oleh ujung rencong.
1. Ujung rencong
2. Arah kebagian perut rencong
3. Ujung yang sangat runcing untuk menembus sasarannya

Karena ada rencong tertentu dianggap sebagai barang bernilai magis religius dalam pandangan masyarakat Aceh, maka rencong sama sekali tidak digunakan sebagai alat pemotong atau pengupas. Dia dipakai apabila amat diperlukan, misalnya jika menghadapi musuh. 

Sebelum rencong dikenal, masyarakat Aceh telah menggunakan senjata yang disebut siwah. Jenis senjata ini tidak memiliki gagang, sehingga cukup menyulitkan ketika digunakan untuk berperang, terutama ketika senjata ini sudah berlumuran dengan darah. Senjata ini menjadi licin dan mudah terlepas dari genggaman karena lumuran darah tersebut. Oleh karena itu, atas perintah Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Kahhar yang berkuasa pada waktu itu, maka dipanggil para pandai besi untuk mengubah siwah dengan model terbaru yang tidak menyulitkan ketika digunakan untuk berperang. Para pandai besi ini akhirnya menambahkan gagang yang berbentuk huruf Ba (huruf kedua dalam aksara Arab) pada siwah tersebut. Selanjutnya senjata ini dikenal dengan nama reuncong atau rincong, di dalam bahasa Indonesia disebut rencong.