Jumat, 12 Juni 2015

Zaman Prasejarah di Indonesia

Kenampakan alam Kepulauan Indonesia mengalami perubahan sejak zaman purba. Perubahan itu mempengaruhi ekosistem yang ada di dalamnya. Fauna yang hidup di Indonesia bagian barat lebih mendekati jenis fauna yang ada di daratan Asia. Sebaliknya, fauna yang hidup di Indonesia bagian timur pun mendekati fauna yang ada di Benua Australia. Demikian pula halnya dengan beragam jenis floranya. Bagaimana dengan kehidupan manusia yang ada di Kepulauan Indonesia?

Umur bumi bisa dibagi menjadi beberapa zaman. Zaman palaeozoikum, mesozoikum, dan neozoikum. Tiap-tiap zaman memiliki ciri-ciri tersendiri. Manusia diperkirakan mulai menghuni bumi pada zaman neozoikum masa kuarter. Apakah manusia zaman itu mirip dengan manusia zaman sekarang?

Inilah yang senantiasa diteliti oleh para ahli. Para ahli perlahan-lahan berhasil menyingkap tabir perkembangan manusia sehingga lahirlah beragam pendapat dan teori tentang asal usul manusia. Namun, mereka sepakat bahwa kurun waktu di saat manusia belum mengenal tulisan itu disebut dengan zaman prasejarah.

1. Mengenal Zaman Praaksara atau Prasejarah
Praaksara atau prasejarah merupakan suatu kurun waktu yang terpanjang dalam sejarah umat manusia, yaitu sejak hadirnya manusia di bumi hingga ditemukannya pengetahuan tentang tulisan atau aksara yang menandai era sejarah. Penelitian di bidang prasejarah berupaya menjelaskan kehidupan manusia purba melalui peninggalan-peninggalan mereka. Peninggalan tersebut meliputi sisa-sisa tulang belulang manusia maupun benda-benda (artefak) yang pernah dibuat, dipakai, atau dibuang oleh mereka. Benda-benda alam seperti tulang hewan (ekofak), cangkang kerang, atau arang sisa pembakaran juga dipelajari untuk mengetahui bentuk interaksi antara manusia purba dengan alam sekitarnya. Periode pertama dalam masa prasejarah adalah saat mereka baru bisa mengumpulkan makanan. Disebut demikian, karena manusia pada masa itu (sekitar satu juta tahun yang lampau) belum tinggal menetap masih mengembara dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Dalam pengembaraan dari satu wilayah ke wilayah lain itu mereka berburu dan mengumpulkan makanan yang disediakan alam untuk memenuhi kebutuhannya, seperti mengumpulkan buah-buahan dan umbi-umbian. Peralatan yang digunakan adalah peralatan dari batu yang disebut kapak genggam.

Periode berikutnya adalah mengumpulkan makanan tingkat lanjut yang dimulai pada akhir zaman es sekitar 10.000 tahun yang lampau. Dari masa ini ditemukan berbagai artefak dari permukiman-permukiman yang berdiri di sepanjang pantai kuno di Selat Malaka dan gua-gua yang tersebar di Sumatra, Jawa, Sulawesi, Flores, dan Timor. Penduduk di permukiman-permukiman tepi pantai makan dan membuang cangkang kerang di dekat tempat tinggalnya hingga membukit. Bukit kerang yang memfosil inilah yang disebut kyokkenmodinger atau ’sampah dapur’. Peralatan sehari-hari yang digunakan adalah yang disebut ”kapak sumatra” atau sumatralith.

Mulai 1500 SM di Indonesia berlangsung masa bercocok tanam. Sebagian besar manusia yang hidup pada masa ini ras Paleo-Mongoloid atau Mongoloid. Mereka tinggal menetap di sebuah perkampungan dengan cara hidup bertani (bercocok tanam). Indonesia mengenal dua jenis peralatan neolitik, yaitu beliung yang persebarannya di bagian barat kepulauan dan kapak lonjong di bagian timur.

Selanjutnya masa perundagian di Indonesia dimulai beberapa abad sebelum Masehi. Manusia memiliki kepandaian dalam hal melebur perunggu dan juga dapat membuat benda-benda dari besi. Teknik yang dikenal di Indonesia ini berasal dari budaya Dong Son di Tonkin (Vietnam). Kapak-kapak perunggu yang dibuat di Indonesia terdiri atas berbagai bentuk dan ukuran. Beberapa bentuk yang menarik adalah kapak ‘candrasa’ yang ditemukan di Jawa, dan kapak-kapak upacara lain dari Pulau Bali dan Roti.

Artefak yang paling menarik dari masa ini adalah genderang perunggu yang amat besar, disebut ”nekara”. Akan tetapi, ada genderang moko yang bentuknya tinggi dan ramping yang tentunya dibuat di Indonesia karena ada sisa-sisa cetakan perunggu yang telah ditemukan di Bali. Nekara-nekara ini digunakan sebagai genderang perang dan keperluan upacara keagamaan. Prasejarah bisa diartikan sebagai bagian ilmu sejarah tentang zaman ketika manusia hidup dalam kebudayaan yang belum mengenal tulisan.

Yang menjadi objek dari ilmu ini adalah beragam bentuk peninggalan yang diduga pernah dipakai oleh manusia pada masa itu. Permasalahannya, mengapa tulisan dijadikan pembatas dari sebuah zaman?

2. Jenis-Jenis Manusia Praaksara di Indonesia
Sejarah kehadiran manusia generasi pertama yang ada di Indonesia, menarik perhatian para ahli sejarah, antropologi, dan arkeologi. Kepulauan Indonesia ternyata merupakan salah satu tempat di dunia yang dihuni oleh manusia purba. Perlu diketahui bahwa di dunia ini lokasi yang diduga pernah menjadi tempat tinggal manusia purba, tidak lebih dari sepuluh buah. Oleh karena itu, tidak aneh apabila para peneliti dunia banyak yang berdatangan ke Indonesia untuk meneliti asal usul manusia.

Salah satu hal yang sangat mendukung pengungkapan misteri manusia Indonesia pada masa awal adalah ditemukannya beragam fosil. Fosil adalah sisa tulang belulang binatang atau sisa tumbuhan zaman purba yang telah membatu dan tertanam di bawah lapisan tanah. Fosil manusia pertama kali ditemukan di daerah Trinil, Ngawi, Jawa Timur pada tahun 1890-an. Peneliti yang menemukan adalah Eugene Dubois. Fosil itu meliputi tengkorak atas, rahang bawah, dan sebuah tulang paha. Dari hasil reka ulang, fosil ini kemudian diberi nama Pithecanthropus erectus yang berarti manusia kera yang berjalan tegak. Mungkinkah fosil ini sebagai nenek moyang bangsa Indonesia? Tidak ada yang bisa menjawabnya secara pasti karena keterbatasan sumber-sumber sejarah. Apalagi di berbagai daerah di Indonesia juga ditemukan beragam fosil dengan ciri-ciri dan usia yang berbeda.

Jenis manusia purba yang berhasil ditemukan di Indonesia bisa diklasifikasikan sebagai berikut.
  1. Meganthropus palaeojavanicus, memiliki ciri rahang bawahnya besar melebihi rahang gorila laki-laki. Fosilnya ditemukan oleh von Koenigswald di Pucangan tahun 1936–1941. (Mega berarti besar dan Anthropus berarti manusia).
  2. Pithecanthropus erectus,  tinggi badannya kira-kira 165–180 cm, tubuh dan badannya tegap, gerahamnya besar,rahangnya kuat, tonjolan kening tebal, dan berhidung besar. Fosilnya ditemukan oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, Jawa Timur tahun 1890-an. (Phitekos berarti kera dan Anthropus berarti manusia).
  3. Homo sapiens, ditemukan oleh von Rietschoten pada tahun 1889 di Desa Wajak, Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur. (Homo berarti manusia dan Sapiens berarti cerdas).
Penemuan fosil manusia purba di Indonesia yang paling fenomenal adalah tahun 2003. Penemuan ini menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli karena pendapat dua ahli dari Australia yang menyebutkan bahwa Homo floresiensis adalah nenek moyang manusia Indonesia. Padahal, menurut para ahli Indonesia fosil itu adalah termasuk jenis Homo erectus yang menjadi kerdil karena terisolasi di suatu daerah. Dari berbagai temuan fosil tersebut, para ahli menyimpulkan bahwa manusia yang hidup di alam Indonesia diperkirakan berasal dari zaman pleistosen awal kira-kira 1,9 juta tahun yang lalu.

Manusia yang hidup pada zaman itu sangat bergantung pada kondisi alam. Artinya, sebagian besar kebutuhan hidupnya dipenuhi secara langsung dari lingkungan sekitarnya. Secara bertahap mereka mulai menggunakan beragam peralatan dari batu untuk membantu mengatasi kesulitan hidupnya. Peralatan inilah yang kemudian ditinggalkan sehingga menjadi fosil dan sangat membantu para ahli untuk membuka misteri kehidupan mereka. Dari beragam penemuan fosil manusia purba di Indonesia, para ahli berhasil menduga sistem kehidupan yang mereka jalani. Bagaimana mungkin para ahli itu bisa menceritakan kembali kehidupan manusia yang pernah hidup pada jutaan tahun yang lampau? Ada beberapa cara yang mereka tempuh untuk bisa mengungkapkan kehidupan manusia purba.

a. Meneliti Peralatan yang Pernah Dipakai
Kehidupan manusia purba bisa diteliti dari berbagai bentuk peralatan yang diduga pernah mereka pakai. Sebagaian besar peralatan itu digunakan untuk membuat perapian, memotong hewan buruan, dan membuat peralatan yang lain. Peralatan yang ditemukan pada zaman pleistosen awal antara lain berupa kapak penetak dan alat-alat serpih. Bahkan, di berbagai tempat juga ditemukan peralatan yang dibuat dari tulang. Peralatan yang terbuat dari tulang ini biasanya digunakan untuk mencukil tanah. Kesimpulan sementara yang dihasilkan oleh peneliti bahwa kehidupan manusia purba pada masa awal masih sangat sederhana. Mereka belum menetap di suatu tempat. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil dan bermata pencaharian berburu serta mengumpulkan bahan makanan.

b. Meneliti Sisa-Sisa Fosil Makanan
Di tempat-tempat yang diduga pernah digunakan sebagai tempat tinggal manusia purba, biasanya ditemukan beragam fosil yang berkaitan dengan pola konsumsi manusia purba. Misalnya seperti yang terdapat di dalam Gua Liang Bua di Flores, Nusa Tenggara Timur. Beragam fosil gajah dan kerbau purba bisa dijadikan petunjuk bahwa manusia purba sudah mengenal model berburu binatang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Model yang lain ditemukan di dalam sebuah gua di kawasan Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di situ ditemukan sisa-sisa perapian yang diduga pernah digunakan untuk mengolah dan memasak hewan-hewan buruan. Dengan mengetahui usia fosil dan tanah tempat mereka tinggal, kita bisa memperkirakan sejak kapan manusia Indonesia hidup dan tinggal di atasnya.

3. Perkembangan Masyarakat dan Peninggalan Budaya pada Masa Prasejarah
Pernahkah kamu membayangkan cara kehidupan manusia purba pada jutaan tahun yang lampau? Ya, kehidupan mereka terlampau sederhana karena ada keterbatasan dengan volume otaknya. Menurut para ahli, volume otak mereka memang masih terlampau kecil sehingga mengalami keterbatasan di dalam menemukan cara untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Dari waktu ke waktu volume otak itu mengalami perubahan dan perkembangan sehingga mereka semakin terampil dalam menggunakan dan membuat beragam peralatan.

Kehidupan manusia diperkirakan dalam kelompok-kelompok kecil. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka berburu binatang di sepanjang lembah-lembah sungai yang subur. Kehidupan semacam ini diperkirakan berlangsung selama satu juta tahun. Dalam perkembangannya, mereka mulai menggunakan peralatan batu yang masih sederhana. Dari bukti yang berhasil ditemukan, sisa artefak yang berupa alat-alat kapak batu di Pacitan diperkirakan berasal dari masa 800.000 tahun yang lalu. Apa yang bisa kita katakan dari penemuan peralatan prasejarah ini? Manusia prasejarah itu mulai mengenal atau membuat kebudayaan meskipun dalam pengertian yang teramat sederhana. Beragam peralatan batu itu diperkirakan pernah digunakan untuk menguliti dan memotong daging buruan.

Permasalahan yang menarik untuk diteliti, yaitu cara manusia purba itu bisa bertahan sedemikian lama. Beberapa ahli berpendapat bahwa manusia purba itu telah berkelompok untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Artinya, mereka telah membentuk masyarakat sendiri. Bagaimana cara mereka membentuk masyarakat?

Salah satu kasus yang digunakan oleh para ahli adalah saat mereka harus menangkap binatang buruan. Untuk menangkap seekor binatang, tentu diperlukan adanya kerja sama di antara anggota kelompok. Kita tidak bisa membayangkan yang akan terjadi seandainya mereka tidak saling bekerja sama satu dengan lain saat berburu binatang. Saat mereka mau menangkap binatang buruan, tentu ada yang mengejar, melempar dengan batu, dan memanah dengan mata tombak.

Setelah binatang buruan tertangkap, pekerjaan belum selesai. Mereka secara bersama-sama harus membawa binatang itu ke gua yang dijadikan tempat tinggal. Selanjutnya, mereka menggunakan peralatan dari batu itu untuk menguliti dan membaginya. Tidak mengherankan apabila di dalam gua-gua yang diduga pernah digunakan sebagai tempat tinggal manusia prasejarah itu bisa ditemukan tulang belulang binatang. Apakah hal ini berkaitan dengan pola makan mereka?

Apa yang menyebabkan punahnya Homo erectus? Ada ahli yang berpendapat bahwa hal itu disebabkan keterbatasan mereka dalam menggunakan strategi hidup. Tidak banyak ditemukannya peralatan batu di sekitar penemuan fosil mereka menunjukkan bahwa kehidupan mereka masih teramat primitif. Ada dugaan bahwa mereka makan daging dari binatang yang telah mati (scavenger). Sementara itu menurut beberapa ahli, penduduk asli pertama Pulau Jawa atau yang dikenal dengan Homo sapiens mungkin mirip dengan suku Aborigin di Australia yang berasal dari Indonesia sekitar 40.000 tahun yang lalu. Mereka ini disebut dengan Australoid yang kemudian tersingkir oleh pendatang dari Asia Tenggara yang telah memiliki kebudayaan lebih maju dan mampu beradaptasi lebih baik sebagai pemburu. Keturunan manusia jenis ini sudah tidak ditemukan di Jawa, tetapi saat ini bisa ditemukan sebagai suku Anak Dalam atau Kubu di Sumatra bagian tengah dan Indonesia bagian timur.

Dalam perkembangan selanjutnya, sekitar 3.000–5.000 tahun lalu datanglah arus pendatang yang dikenal dengan Proto Malays ke Pulau Jawa. Keturunan mereka masih bisa ditemukan di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, Tengger di Jawa Timur, Dayak di Kalimantan, dan Sasak di Lombok. Gelombang berikutnya berasal  dari Austronesia atau Deutero-Malays yang berasal dari Taiwan dan Cina Selatan. Mereka datang melalui laut ke Pulau Jawa sekitar 1.000–3.000 tahun lalu. Keturunannya sampai sekarang masih bisa ditemukan di Indonesia bagian barat dengan keahlian bercocok tanam padi, pengairan, membuat barang tembikar atau barang pecah belah, dan kerajinan dari batu.

Setidaknya ada empat tahap perkembangan manusia purba berdasarkan peralatan yang mereka pakai.

a. Zaman Palaeolitikum
Pada masa ini kehidupan manusia prasejarah yang mempunyai corak berburu dan meramu. Berburu adalah kegiatan manusia purba untuk memperoleh bahan makanan dengan cara memburu binatang, memasang perangkap, dan menjeratnya. Meramu adalah kegiatan untuk mendapatkan bahan makanan dengan cara mengumpulkan tumbuh-tumbuhan langsung dari alam.

1) Corak Kehidupan Masyarakat
Tahap berburu dan meramu tingkat awal berlangsung sejak 2 juta sampai 10.000 tahun yang lalu. Tahap ini berlangsung pada zaman pleistosen. Manusia yang hidup pada zaman itu adalah
Homo erectus dan Homo sapiens. Untuk mendapatkan makanan, pada masa itu manusia purba hanya tinggal mengambilnya dari alam. Caranya dengan berburu dan mengumpulkan bahan makanan dari tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, biasanya mereka memilih kawasan yang berupa padang rumput dengan semak belukar dan hutan kecil di sekitarnya atau dekat dengan sumber air, sungai, danau, dan rawa.

Pada tahap berburu dan meramu tingkat awal ini, Homo erectus dan Homo wajakensis biasa berburu gajah purba, banteng purba, dan binatang-binatang hutan lainnya. Kehidupan manusia purba biasanya membentuk kelompok kecil terdiri atas 20–30 orang. Pembentukan kelompok kecil ini mempunyai beberapa keunggulan, terutama untuk menghadapi serangan musuh bersama, melaksanakan kegiatan berburu dan meramu, menghadapi datangnya serangan binatang liar, serta mempermudah pengembaraan.

Dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, manusia prasejarah telah mengenal pembagian tugas atau kerja. Misalnya saat berburu binatang dibutuhkan beberapa laki-laki yang mempunyai ketangkasan dan kecepatan dalam berlari. Pekerjaan ini tidak sesuai dengan karakter wanita. Mereka mungkin bisa membantu saat harus meramu atau menguliti binatang buruan dan merawat anak.

2) Peralatan Hidup Manusia Purba
Untuk mendukung kehidupannya, manusia purba menggunakan dan membuat beragam peralatan yang terbuat dari bahan batu, kayu, tanduk, dan tulang ikan. Artefak dan fosilnya sebagian besar masih bisa ditemukan kecuali peralatan yang terbuat dari kayu.

Teknik pembuatan alat masih sederhana sehingga menghasilkan alat-alat yang kasar karena tidak dihaluskan. Jenis-jenis alat zaman berburu dan meramu tingkat awal sebagai berikut.

a) Alat Budaya Pacitan
Alat budaya Pacitan yang berasal dari batu ada dua, yaitu tradisi batu inti yang terdiri atas kapak perimbas (chopper) dan kapak genggam (hand adze). Kapak perimbas digunakan untuk merimbas kayu, pemecah tulang, dan sebagai senjata. Kapak genggam digunakan untuk menggali, memotong, dan menguliti. Alat-alat ini ditemukan di Punung, Pacitan (Jawa Timur) dan di beberapa tempat lain.

Alat-alat budaya Pacitan juga ditemukan di Jampang Kulon (Sukabumi, Jawa Barat); Gombong (Kebumen, Jawa Tengah); Ngadirojo dan Sambungmacan (Sragen, Jawa Tengah), Tanjungkarang (Lampung); Awang Bangkal (Kalimantan Selatan); Cabbenge (Sulawesi Tenggara), Sembiran dan Trunyan (Bali); Batutring (Sumbawa), Wangka, Mengeruda, Alabula, Maumere (Flores); serta Atambua, dan Kefamenanu (Timor).

Selain tradisi batu inti, ada juga tradisi batu serpih atau flakes yang meliputi gurdi untuk membuat lubang, pisau untuk memotong, dan tombak untuk menombak. Alat budaya serpih bilah berupa penggaruk, serut, gurdi, penusuk, maupun pisau ditemukan di Punung Pacitan, Sangiran, Gombong, Lahat, Cabbenge, Maumere, Mengeruda, dan Atambua (NTT).

b) Alat Budaya Ngandong
Alat budaya Ngandong dibuat dari tanduk, tulang, dan duri ikan. Alat budaya ini terdiri atas sudip, mata tombak, dan belati/penusuk. Alat-alat ini ditemukan di Ngandong, Blora (Jawa Tengah).

b. Zaman Mesolitikum
Corak hidup masyarakat pada masa ini masih didominasi oleh corak hidup berburu dan meramu. Setelah ribuan tahun berburu dan meramu (dari 1.900.000–4.500 tahun yang lalu) manusia mulai memiliki kepandaian dalam mengolah tanah dengan menanam keladi. Jika masa berburu meramu tingkat awal didukung oleh Homo erectus dan Homo wajakensis, budaya pada masa tingkat lanjut ini didukung oleh manusia Australomelanesid (dan sedikit jenis Mongoloid yang khusus menempati wilayah Sulawesi Selatan). Kemampuannya dalam berburu juga telah meningkat. Alat-alat yang dipergunakan antara lain perangkap, jerat, mata panah, dan busur.

1) Corak Masyarakat
Manusia purba yang hidup pada tingkat berburu dan meramu tingkat lanjut tinggal di gua-gua alam serta gua payung (abris sous roche) yang letaknya tidak jauh dari sumber air, danau, atau sungai yang kaya ikan, siput, dan kerang. Mereka yang tinggal di tepi pantai/muara sungai membangun permukiman berupa rumah panggung.

Dugaan tersebut disimpulkan dari temuan bukit remis (kyokkenmodinger) di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara. Mereka sudah mulai mengenal kepercayaan tentang hidup sesudah mati dan kesenian. Hal itu terlihat dari aktivitas berikut.

a) Mengubur Mayat
Pada umumnya mayat dikubur dengan posisi jongkok, tangan terlipat di bawah dagu/di depan perut, disertai bekal kubur berupa perhiasan kulit kerang. Bahkan, ada beberapa tulang kerangka yang diberi hematit (bahan pewarna dari oker). Cara ini dikenal pula sebagai penguburan mayat sekunder (dua kali).

b) Membuat Lukisan pada Dinding Gua Tempat Tinggalnya
Mereka melukis dinding gua tempat tinggalnya dengan cara menggores dan mengecat (hitam, merah, dan putih) serta cap tangan yang sebelumnya sudah ditaburi cat oker. Pada gua Pattae di Sulawesi Selatan ditemukan lukisan cap tangan (berkaitan dengan perkabungan) dan lukisan babi rusa (keberhasilan perburuan). Pada gua Leang-Leang di Sulawesi Selatan terdapat gambar berwarna seekor babi hutan yang sedang berlari dan lukisan cap tangan. Selain itu, di gua Jarie dan gua Burung juga ditemukan lukisan cap tangan. Pada dinding gua-gua di Seram dan Papua Barat dilukiskan perahu (lambang alat transpor ke dunia roh) dan manusia bertopeng (melindungi dari gangguan roh jahat). Lukisan serupa juga ditemukan di Pulau Muna (Sulawesi Selatan).

2) Alat
Alat bantu untuk berburu dan meramu tingkat lanjut masih menggunakan bahan batu, kayu, dan tulang. Teknik pembuatannya sudah dikerjakan lebih lanjut, yaitu sedikit diperhalus. Jenis alat yang dipakai sebagai berikut.

a) Alat Budaya Kyokkenmodinger (dari Batu)
Alat budaya dari batu yang ditemukan di dalam Kyokkenmodinger antara lain kapak sumatra/pebble yang digunakan untuk memotong, menggali, dan menguliti. Selain itu, ditemukan serta batu pipisan/batu giling yang digunakan untuk menggiling obat-obatan atau menggiling zat pewarna untuk hematit atau lukisan. Alat-alat ini ditemukan di timbunan bukit remis (kyokkenmodinger) di Sumatra Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam serta gua-gua di Besuki, Jawa Timur.

Kyokkenmodinger berasal dari kata kyokken yang berarti dapur dan modding yang berarti sampah. Artinya, segala sisa makanan (terutama kulit kerang, siput, dan remis) yang dibuang. Pada ”garis pantai prasejarah” di kawasan timur Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara membentang dari Lhokseumawe sampai Medan (sekitar 40–50 km dari garis pantai yang sekarang), ditemukan timbunan/bukit remis yang diduga sebagai timbunan sisa makanan dari manusia Australomelanesid yang tinggal di rumah panggung. Pada timbunan kulit kerang ini ditemukan fosil Australomelanesid, kapak sumatra, dan batu pipisan.

b) Alat-Alat Budaya Abris Sous Roche
Alat-alat budaya yang ditemukan dalam abris sous roche adalah serpih bilah berupa pisau dan gurdi dari batu. Alat ini banyak ditemukan di gua-gua Sulawesi Selatan, Flores, dan Timor. Alat-alat tulang berupa belati, sudip, mata kail, dan penusuk ditemukan di Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan.

c. Zaman Neolitikum
Masa pleistosen berakhir berganti dengan masa holosen. Hal itu ditandai dengan naiknya permukaan laut sehingga daratan menyempit dan iklim menjadi lebih panas (kering). Seiring dengan pertambahan manusia purba di bumi, wilayah perburuannya pun bertambah sempit. 

Berburu sudah tidak dapat lagi digunakan sebagai mata pencaharian pokok. Oleh karena itu, mereka berusaha untuk menghasilkan bahan makanan sendiri. Usahanya, yaitu dengan membudidayakan tanaman dan beternak. Pada masa ini berarti manusia purba sudah mengalami peningkatan, yaitu dari pengumpul makanan (food gatherer) menjadi penghasil makanan (food producer).

1) Corak Kehidupan Masyarakat
Memasuki tahun 1500 SM Kepulauan Nusantara menerima kedatangan migrasi jenis manusia Malayan mongoloid atau disebut juga Melayu austronesia yang berasal dari kawasan Yunan (Cina Selatan). Mereka mendominasi wilayah bagian barat Indonesia, sedangkan Australomelanesid tergeser ke arah timur. Kemudian terjadi pembauran antara kedua jenis manusia tersebut.

Mereka memasuki Indonesia melalui dua jalur, yaitu jalur barat (Yunan–Thailand–Semenanjung Malaka/Malaysia–Sumatra–Jawa–Bali–Lombok–Flores–Sulawesi Selatan) dan jalur timur (Yunan–Vietnam–Taiwan–Maluku–Sulawesi Utara-Papua). Bangsa Melayu austronesia datang dengan membawa kepandaian bercocok tanam di ladang. Tanamannya berupa keladi, labu air, ubi rambat, padi gaga, sukun, pisang, dan kelapa. Sebagai petani dan peternak, mereka memerlukan kebersamaan yang tinggi untuk menebang hutan, membakar semak, menabur/menanam benih, memetik hasil ladang, mendirikan rumah, dan menyelenggarakan upacara. Untuk mengatur kehidupan bersama, mulai terlihat peran para pemimpin (primus interpares/yang utama dari sesamanya), yaitu Ketua Suku/Ratu/Datuk. Mereka sudah terampil membuat gerabah, anyaman, pakaian, dan bahkan perahu.

a) Gerabah
Gerabah dibuat dari bahan tanah liat dicampur pasir dengan teknik tangan dikombinasi teknik tatap sehingga hasilnya masih kasar dan tebal. Hasil-hasil gerabahnya berupa periuk, cawan, piring, dan pedupaan. Gerabah-gerabah ini berfungsi sebagai tempat makanan, minuman, dan untuk keperluan upacara. Gerabah zaman ini banyak ditemukan di Kendenglembu, Banyuwangi (Jawa Timur), Kalumpang dan Minanga, Sippaka (Sulawesi Tengah), Danau Poso (Sulawesi Tengah), serta Minahasa (Sulawesi Utara).

b) Anyam-anyaman
Bahan untuk anyaman dibuat dari bambu, rumput, dan rotan. Teknologinya dengan teknik anyam dan pola geometrik. Fungsinya sebagai wadah barang-barang rumah tangga.

c) Pakaian
Berdasarkan temuan alat pemukul kulit kayu di Ampah, Kalimantan Selatan, dan di Kalumpang, Minanga, Sippaka (Poso, Sulawesi Tengah) diduga sudah dikenal pakaian yang dibuat dari tenunan serat kulit kayu. Bahan lain yang dibuat tenunan kain antara lain, serat abaka (sejenis pisang) dan rumput doyo.

d) Perahu/Teknik Membuat Perahu
Teknik pembuatan perahu masih sederhana. Pembuatan perahu menggunakan bahan sebatang pohon, yaitu benda, meranti, lanang, dan kedondong. Pohon yang telah dipilih sebagai bahan pembuatan perahu penebangannya harus didahului upacara. Pembuatan perahu dimulai dari sisi luar. Sesudah terbentuk sisi luar, sisi dalam dikeruk dengan memperhatikan ujung pasak yang dipakukan dari sisi luar agar ketebalan dinding perahu sama tebal. Agar perahu tidak terbalik, pada sisi perahu dipasang cadik/katik sebagai penyeimbang.  Untuk menggerakkan perahu dapat dipasang layar. Biasanya, jenis layar yang digunakan adalah layar sudu-sudu (sudu = suru dalam bahasa Jawa).

Pada saat itu sudah dikenal perdagangan dengan sistem barter atau tukar-menukar. Besar kecilnya nilai barang pengganti ditentukan dan disepakati bersama. Kuat dugaan bahwa pada saat itu sudah dikenal alat penukar berupa kulit kerang yang indah. Bahan-bahan yang ditukar antara lain ramuan hasil hutan; hasil pertanian/peternakan; hasil kerajinan seperti gerabah, beliung, perhiasan, dan perahu; serta garam/ikan laut.

2) Kepercayaan
Bangsa Melayu austronesia mengenal kepercayaan dan upacara pemujaan kepada arwah nenek moyang atau para leluhur. Para leluhur yang meninggal dikuburkan dengan upacara penguburan. Ada dua macam cara penguburan sebagai berikut.

a) Penguburan Langsung
Mayat hanya dikuburkan sekali, yaitu langsung dikubur di dalam tanah atau diletakkan dalam sebuah wadah kemudian dikuburkan di dalam tanah dengan upacara. Cara meletakkan mayat ada dua cara, yaitu membujur dan terlipat/meringkuk.

Mayat selalu dibaringkan mengarah ke tempat roh atau arwah para leluhur (misalkan di puncak gunung). Sebagai bekal dalam perjalanan ke dunia roh, disertakan bekal kubur yang terdiri atas seekor anjing, unggas, dan manik-manik. Contoh penguburan seperti ini adalah penguburan di Anyer (Banten) dan di Plawangan, Rembang (Jawa Tengah).

b) Penguburan Tidak Langsung
Penguburan tidak langsung biasa dilakukan di Melolo (Sumba), Gilimanuk (Bali), Lesung Batu (Sumatra Selatan), dan Lomblen Flores (NTT). Cara penguburan tidak langsung, yaitu mula-mula mayat dikubur langsung di dalam tanah tanpa upacara. Setelah diperkirakan sudah menjadi kerangka mayat digali lagi. Kerangka tersebut dicuci, diberi hematit pada persendian kemudian diletakkan dalam tempayan atau sarkofagus.

Ada kepercayaan bahwa seseorang yang telah mati itu jiwanya berada di dunia roh dan setiap orang mempunyai tempat yang berbeda. Perbedaan tempatnya berdasarkan pada perbuatan selama masih hidup dan besarnya upacara kematian atau penguburan yang diselenggarakan. Puncak upacara ditandai dengan mendirikan bangunan batu besar (megalith).

3) Bangunan-Bangunan Megalith
Kata megalith berasal dari bahasa Yunani. Mega artinya besar dan lithos artinya batu. Bangunan megalith dibuat dan digunakan untuk penghormatan dan pemujaan roh para leluhur. Bangunan megalith dibangun atas dasar konsep kepercayaan hubungan antara yang masih hidup dengan yang sudah mati dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanah. Bangunan megalith mulai dibangun pada masa bercocok tanam sampai masa perundagian. Jenis-jenis bangunan megalith sebagai berikut.

a) Punden Berundak
Punden berundak adalah bangunan pemujaan para leluhur berupa bangunan bertingkat dengan bahan dari batu. Di atas bangunan tersebut biasa didirikan menhir. Bangunan ini banyak dijumpai di Kosala dan Arca Domas (Banten), Cisolok (Sukabumi), serta Pugungharjo (Lampung).

b) Menhir
Menhir (men = batu; hir = berdiri) adalah bangunan berupa batu panjang yang didirikan tegak menjulang sebagai media atau sarana penghormatan, sebagai tempat roh, sekaligus lambang dari si mati. Menhir banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Dalam upacara pemujaan, menhir juga berfungsi untuk menambatkan hewan kurban. Tempat-tempat penemuan menhir di Indonesia, yaitu Pasemah (Sumatra Selatan), Pugungharjo (Lampung), Kosala, Lebak Sibedug, Leles, Karang Muara, Cisolok (Banten, Jawa Barat), Pekauman Bondowoso (Jawa Timur), Trunyan dan Sembiran (Bali), Ngada (Flores), Belu (Timor), Bada-Besoha dan Tana Toraja (Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan).

c) Dolmen
Dolmen (dol = meja; men = batu) adalah batu besar dengan permukaan rata. Digunakan sebagai tempat meletakkan sesaji, pelinggih roh, dan tempat duduk ketua suku agar mendapat berkat magis dari leluhurnya. Bangunan ini ditemukan di Pulau Samosir (Sumatra Utara), Pasemah (Sumatra Selatan), Leles (Jawa Barat), serta Pekauman dan Pakian di Bondowoso (Jawa Timur).

d) Sarkofagus
Sarkofagus adalah peti mati dari satu batu utuh terdiri atas wadah dan tutup. Mayat diletakkan dalam posisi berbaring atau meringkuk. Sarkofagus banyak ditemukan di Indonesia terutama di Bondowoso (Jawa Timur) dan Bali. Pada sarkofagus sering dipahatkan motif kedok/topeng dalam berbagai ekspresi untuk melindungi roh si mati dari gangguan gaib.

e) Kubur Batu
Kubur batu berbentuk seperti sarkofagus. Akan tetapi, dibuat dari papan-papan batu. Banyak ditemukan di Pasemah (Sumatra Selatan) dan Kajar, Gunung Kidul (DIY).

f) Arca Batu
Beberapa arca sederhana menggambarkan para leluhur binatang (gajah, kerbau, monyet). Arca batu ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa Barat, dan Sulawesi. Di Pasemah (Sumatra Selatan) masyarakat di sekitar mengaitkan arca batu dengan legenda Si Pahit Lidah. Arca batu juga ditemukan di Batu Raja dan Pager Dewa (Lampung), Kosala, Lebak Sibedug, dan Cisolok (Jawa Barat), Pekauman Bondowoso (Jawa Timur), serta Bada-Besoha (Sulawesi Tengah).

g) Waruga
Waruga berpenampilan dan berfungsi seperti sarkofagus, tetapi dengan posisi mayat jongkok terlipat. Waruga hanya ditemukan di Minahasa. Selain sudah mengenal upacara perkabungan bangsa Melayu austronesia sudah mengenal tradisi pengayuan, fetisisme, dan mutilisi (asah gigi, tindik telinga, potong rambut, cabut gigi, serta sunat).

4) Alat
Pada masa bercocok tanam dan beternak masih menggunakan alat-alat dari bahan batu dan kayu. Namun, kemudian juga dikenal bahan dari tanah liat. Teknik pembuatannya sudah dikerjakan dengan baik. Alat-alat dihaluskan dengan diasah atau diupam dan teknik penggunaannya sudah memakai tangkai. Pengasahan alat-alat dari batu ini tidak dilakukan atas seluruh permukaan, tetapi bagian yang tertutup oleh tangkai dibiarkan sedikit agak kasar agar memiliki daya kait yang lebih kuat.

Jenis alat yang dipergunakan pada masa bercocok tanam dan beternak sebagai berikut.

a) Kapak Persegi
Disebut kapak persegi karena kapak ini dibuat dalam penampang persegi. Macam-macam kapak persegi, yaitu beliung, cangkul, dan tatah. Bagian yang tajam dari kapak persegi diasah miring (ingat cara mengasah pahat). Kapak diberi tangkai dengan teknik mengikat. Cara memakainya seperti jika kita memakai cangkul atau kapak perajin kayu sekarang.

Fungsi kapak antara lain sebagai beliung (digunakan untuk memotong kayu atau membuat perahu), sebagai cangkul (digunakan untuk mengolah tanah), dan sebagai tatah (digunakan untuk memotong kayu). Kapak persegi ini ditemukan tersebar di bagian barat Indonesia dari Sumatra (Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung), Jawa Barat, Bali, NTT (Solor, Adonara), Sulawesi Tengah, serta Ternate. Selain kapak persegi yang sudah diasah, ditemukan pula kapak persegi yang belum diasah. Kapak ini diduga sebagai barang dagangan.

Sentra pembuatan kapak persegi setengah jadi antara lain di Bunga Mas (Sumatra Selatan); Pasir Kuda, Bogor dan Karangnunggal, Tasikmalaya (Jawa Barat); Karangbolong, Kebumen (Jawa Tengah); serta Punung, Pacitan dan Kendenglembu, Banyuwangi (Jawa Timur).

b) Kapak Lonjong
Disebut kapak lonjong karena dibuat dalam penampang lonjong. Jenis kapak ini banyak ditemukan di kawasan timur Indonesia antara lain Sulawesi, Sangihe Talaud; Flores, Maluku, Leti, Tanimbar, dan terutama di Papua. Bagian yang tajam diasah dari dua sisi dan diberi tangkai dengan posisi seperti kapak penebang kayu sekarang.

c) Mata Panah
Alat ini banyak ditemukan di Maros dan Kalumpang (Sulawesi Selatan), Gua Sampung dan Gua Lawa di daerah Tuban, Bojonegoro, serta Punung (Jawa Timur).

d) Gurdi dan Pisau
Gurdi dan pisau neolitik banyak ditemukan di kawasan tepi danau. Misalnya di Danau Kerinci (Jambi); Danau Bandung, Cangkuang, Leles, Danau Leuwiliang (Jawa Barat); Danau Tondano, Minahasa (Sulawesi Utara), dan sebuah danau di Flores Barat.

e) Perhiasan
Perhiasan neolitik ini dibuat dari batu mulia berupa gelang. Banyak ditemukan di Jawa Barat (Tasikmalaya, Cirebon, dan Bandung).

f) Gerabah
Gerabah adalah alat-alat atau barang-barang yang dibuat dari tanah liat.

d. Zaman Logam
Pada masa perundagian (undagi = tukang), manusia purba sudah mengenal bijih logam. Mereka sudah lebih berpengalaman sehingga dapat mengenali bijih-bijih logam yang dijumpai meleleh di permukaan tanah. Bijih logam yang ditemukan terutama berasal dari tembaga. Kemudian mereka membuat alat-alat yang diperlukan dari bahan bijih logam yang ditemukan.

Teknologi logam kuno yang terdapat di Indonesia  dipengaruhi oleh Vietnam. Hasil teknologi ini dikenal dengan Budaya Dong Son. Selain itu, Thailand juga merupakan negara asal teknologi
logam kuno.

1) Corak Kehidupan Masyarakat
Pada saat berlangsungnya proses pembauran antara pendatang Melayu austronesia dari Yunan Selatan dengan Australomelanesid sekitar tahun 300 SM, tibalah gelombang II emigran Melayu austronesia yang berasal dari Dong Son (Vietnam sekarang). Kebudayaan bangsa Melayu austronesia gelombang II ini setingkat lebih maju daripada emigran bangsa Melayu austronesia gelombang I. Mereka telah menguasai teknologi pertanian basah, yaitu bersawah dan teknologi metalurgi/pengecoran logam.

Teknologi pertanian basah dikembangkan bersama dengan teknologi pengairan. Mereka belum mengenal usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah dengan cara pemupukan, tetapi dilakukan melalui upacara magis (fertility cult). Teknologi metalurgi setidak-tidaknya mencakup dua teknik pokok, yaitu teknik pengambilan logam dan teknik pengolahan barang logam.

Permukiman atau desa yang mereka bangun menyebar di segala tempat dari tepi pantai sampai ke pedalaman di gunung-gunung. Pembangunannya lebih teratur, dipagar dengan tempat penguburan di luar permukiman. Selain pengerjaan tanah dan pengerjaan logam, pada masa perundagian mereka juga sudah mengenal hal-hal seperti permainan wayang, pembuatan gamelan (alat musik), astronomi, metrik (ukuran), tata pemerintahan, teknik membatik, dan pelayaran.

2) Teknologi
Pada masa perundagian telah dikenal bahan untuk membuat barang berupa logam. Logam untuk membuat barang-barang tersebut adalah perunggu dan besi. Logam perunggu dihasilkan dari campuran tembaga dan timah. Ada beberapa teknologi untuk membuat barang dari logam, yaitu teknik tempa, a cire perdue/cetak lilin, dan bivalve/setangkup/cetak ulang. Dalam teknik pengecoran logam, ada dua macam cara pengerjaan, yaitu teknik tempa dan teknik tuang cetak. Teknik ini ada dua cara, yaitu teknik cetak lilin (a cire perdue) hanya dapat digunakan satu kali dan teknik cetak setangkup (bivalve) dapat digunakan berkali-kali.

3) Jenis Barang/Alat Peninggalannya
Jenis-jenis barang atau alat yang menjadi peninggalan dari masa perundagian terbuat dari perunggu, besi, dan tanah liat. Barangbarang peninggalan yang terbuat dari bahan perunggu sebagai berikut.

a) Nekara
Nekara adalah genderang perunggu dengan membrane satu. Berdasarkan hiasan yang terdapat dalam beberapa nekara, benda ini diduga digunakan untuk memanggil roh para leluhur untuk turun ke dunia dan memberi berkah serta memanggil hujan. Nekara ini ditemukan di Pejeng dan Bebitra (Bali), Sumatra, NTT, Weleri (Jawa Tengah), serta Banten.

b) Kapak Corong
Disebut kapak corong karena kapak dari perunggu ini bentuknya seperti corong. Kapak ini disebut juga kapak sepatu karena berbentuk seperti sepatu. Fungsinya tetap sama seperti kapak sebelumnya, yaitu untuk memotong kayu. Kapak ini banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan di Papua.

c) Arca Perunggu
Arca-arca berupa manusia dan binatang ditemukan di Bangkinang (Riau), Palembang, Bogor, dan Lumajang (Jawa Timur).

d) Bejana Perunggu
Bejana perunggu berbentuk seperti kepis (wadah ikan pada pemancing) dengan pola hias pilin berganda pada sisi luar. Barang ini telah ditemukan di Kerinci (Jambi) dan Asemjaran,
Sampang, Madura (Jawa Timur).

e) Perhiasan
Perhiasan dari perunggu berupa gelang, gelang kaki, anting-anting, kalung, cincin, dan mainan kalung.

f) Senjata
Beberapa mata tombak dan belati perunggu ditemukan di Prajekan (Jawa Timur) dan Bajawa (Flores).

4. Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Walaupun Homo erectus dan Homo wajakensis pernah tinggal dan hidup di Indonesia, ada yang menduga bahwa keduanya bukan nenek moyang bangsa Indonesia. Kedua jenis manusia ini punah dari bumi Nusantara. Demikian pula, nasib Australomelanesid yang juga diragukan sebagai nenek moyang bangsa Indonesia. Berdasarkan ciri-ciri fisik bangsa Indonesia, terutama yang tinggal di kawasan timur, kita jumpai pewarisan Australomelanesid, yaitu tinggi, berkulit agak gelap, hidung lebih mancung, dan berambut keriting. Ciri-ciri ini pun kadang-kadang muncul juga pada bangsa Indonesia yang tinggal di kawasan barat.

Ada beberapa dugaan asal usul bangsa Australomelanesid sebagai berikut. Pertama, keturunan langsung dari Homo wajakensis. Dugaan ini didasarkan atas pewarisan ciri-ciri fisik ragawi. Jadi, Australomelanesid adalah bangsa asli Nusantara. Kedua, keturunan Proto australoid yang berpindah dari sekitar Laut Tengah dan pernah tinggal di India sebelum hadirnya bangsa Dravida. Namun, sebagian dari mereka kemudian terdesak ke pegunungan menjadi kasta rendah dan sebagian lagi bergeser ke timur termasuk ke Nusantara. Bahkan, ada juga yang sampai Benua Australia. Persamaan ciri ragawi dan bahasa mendasari dugaan ini. Jadi, bangsa ini bukan asli Nusantara.

Dengan demikian, yang berhak ditunjuk sebagai nenek moyang bangsa Indonesia sebaiknya tidak hanya bangsa Melayu austronesia, tetapi juga bangsa Australomelanesid walaupun sumbangannya lebih kecil. Tidak diragukan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa Melayu austronesia. Perpindahan dan persebaran bangsa Melayu austronesia ke Indonesia tidak terjadi sekaligus, tetapi berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap perpindahan dan persebarannya sebagai berikut.

a. Periode I
Periode I ini berlangsung sekitar 1500 SM dan sering disebut sebagai perpindahan bangsa Proto Melayu atau Melayu Tua. Proto Melayu ini diduga berasal dari Yunan (Cina Selatan). Mereka pindah ke Indonesia melalui dua jalur sebagai berikut.
1) Jalur Selatan melalui Thailand–Selat Malaka–masuk ke Indonesia.
2) Jalur Timur melalui Vietnam–Taiwan–Filipina–masuk ke Indonesia dari arah utara.

Mereka datang dengan membawa kebudayaan Batu Baru (Neolitikum). Berdasarkan temuan persebaran kebudayaan neolitikum, bangsa Melayu austronesia atau Proto melayu telah memasuki Indonesia dan menyebar merata di seluruh bagian. Selanjutnya, ada yang berbaur dengan penduduk sebelumnya, yaitu Australomelanesid.

b. Periode II
Periode II berlangsung sekitar tahun 300 SM. Bangsa Melayu austronesia gelombang II ini sering disebut juga sebagai Deutero Melayu/bangsa Melayu Muda. Mereka diduga berasal dari Dong Son (Vietnam). Dugaan tersebut didasarkan atas persamaan teknologi barang-barang yang mereka hasilkan, baik logam (perunggu dan besi) maupun gerabah. Barang-barang yang ditemukan di Indonesia digolongkan sebagai jenis budaya Bacson-Hoabinh yang berkembang dari kawasan Dong Son di Vietnam. Mereka datang dengan membawa kebudayaan logam sehingga Indonesia memasuki masa perundagian.

0 komentar:

Posting Komentar