Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur berbentuk tugu segi enam tidak beraturan yang mengecil ke bagiaan atas, terbuat dari batu andesit dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar bagian atas 19 cm, dan 32 cm di bagian bawah.

Berapa Jumlah Pulau di Indonesia

Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai ribuan pulau, menguntai dari Sabang sampai Merauke. Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 31 Juli 2015

Padrou

Padrao merupakan prasasti perjanjian antara Portugis dan Kerajaan Sunda.  Pada tahun 1522,  Gubernur Portugis di Malaka Jorge d'Albuquerque mengutus Henrique Leme untuk mengadakan  hubungan dagang dengan Raja Sunda yang yang bergelar "Samiam". Perjanjian antara Portugis dan Kerajaan Sunda dibuat pada tanggal 21 Agustus 1522.  lsi dari perjanjian tersebut antara lain Portugis diizinkan untuk mendirikan kantor dagang berupa sebuah benteng di wilayah Sunda Kelapa dan di tempat tersebut didirikan batu peringatan (Padrao)  dalam Kerajaan Sunda bahasa Portugis. Kerajaan Sunda menyetujui perjanjian tersebut, selain karena hubungan perdagangan perjanjian tersebut,  selain karena hubungan perdaganganjuga untuk , mendapat bantuan Portugis dalam menghadapi kerajaan Islam Demak.  Namun perjanjian tersebut tidak terlaksana,  karena pada tahun 1527 Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa.

Rabu, 29 Juli 2015

DVARAPALA

Nuansa kehidupan zaman kerajaan, masih terasa di Kecamatan Singosari. Telebih lagi, ketika memasuki perkampungan di Desa Candirenggo, tepatnya di Jl Kertanegara Barat I. Saat memasuki kawasan yang juga dikenal dengan kawasan santri itu, mata akan langsung tertuju pada dua arca yang berada di di sisi kiri dan kanan jalan.
Arca Dwarapala
Satu arca menghadap ke arah utara, dan satu patung menghadap ke timur. Kedua benda peninggalan sejarah yang berusia ratusan tahun itu, seolah-olah memantau setiap orang yang melintasi jalan itu. Tidak hanya pada tatapan matanya, tapi juga dengan senjata yang dipegang, gada (pentungan). Satu gada dihadapkan ke bawah oleh patung yang berada di sisi kiri jalan. Sedangkan, satu gada lainnya yang dipegang patung di sebelah kanan jalan dihadapkan ke atas.
Ya, itulah Arca Dwarapala. Dwara berarti penjaga, sedangkan Pala berarti pintu. Menurut catatan sejarah, kedua arca dwarapala itulah sebagai pintu masuk kerajaan Singhasari. Sebenarnya, di lokasi itu tidak hanya terdapat arca, akan tetapi lengkap dengan gapuranya. Hanya saja, saat ini kedua arca itu sudah tidak lagi berdiri di atas gapura. Karena, gapura sudah rusak. Bahkan, dari dua gapura, saat ini hanya tersisa satu. Hanya ada beberapa lempengan batu gapura di sekitar arca.
Masih dalam catatan sejarah, Kedua arca itu diketahui diketemukan oleh Gubernur Jawa kelahiran Belanda Nicolas Enderhard pada 1803. Arca itu terpisah dengan gapura. Bahkan, salah satu arca itu sebagian tubuhnya tertimbun tanah. Suasana kehidupan kerajaan tidak hanya terlihat pada keberadaan arca dwarapala. Tidak jauh dari arca, juga terdapat
Dvarapala, tampang sangar menyeramkannya, ditopang tubuh tinggi besar, bukan tanpa tujuan. Dulu ia memang penjaga candi dan bangunan suci. Bagaimana nasibnya sekarang?

Penjaga bangunan suci
Di manapun juga, Dvarapala adalah sosok menyeramkan dan tampak ganas. Dua matanya melotot tajam menatap penuh curiga pada setiap orang yang memasuki candi, bangunan suci. Taring-taringnya yang runcing, khas milik raksasa, mencuat keluar, membuat orang bergidik. Apalagi badannya tinggi besar, bahkan ada yang setinggi 3,70 m, seperti Dvarapala yang di Singosari, Malang. Padahal ia dalam posisi jongkok.
Arca Dwarapala
Arca pemegang gada itu dikenal juga dengan nama Yaksha. Sebelum dewa-dewa Hindu dan Buddha muncul dalam sistem kepercayaan di India, Dvarapala yang merupakan mahluk gaib, dipuja orang India sebagai sumber kehidupan karena melindungi pertanian. Kemudian setelah pantheon dewa muncul dalam sistem kepercayaan di India, Yaksha dimasukkan ke dalam golongan setingkat di bawah dewa.
Pada perkembangan berikut, Yaksha menjadi pendamping Sang Buddha. Ia menghiasi stupa bersama mahluk lain, seperti terdapat di Stupa Bharhut, India, pada abad I Masehi. Sedangkan di Sanchi, Yaksha seakan-akan "melindungi" dan "menjaga" bangunan suci di puncak Torana. Tugas Yaksha sebagai pelindung itulah yang kemudian berkembang sehingga menjadi Dvarapala.
Dvarapala merupakan mahluk yang ditempatkan di depan pintu atau gerbang menuju bangunan suci candi. Ia memiliki kekuasaan untuk melindungi dari berbagai serangan kekuatan jahat. Sesuai tugasnya itu, Dvarapala sang penjaga candi tidak saja digambarkan sebagai mahluk yang menyeramkan wujud fisiknya, tetapi masih dilengkapi dengan berbagai senjata dan atribut lain. Senjata-senjata yang disandangnya memang sengaja untuk menciptakan kesan menakutkan.
Sebagian besar Dvarapala memang memegang gada. Alat pemukul itu dianggap lambang penghancur, sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Juga dipercaya, senjata maut itu berfungsi sebagai tongkat kematian atau hukuman. Atribut lain umumnya adalah ular atau naga. Dua satwa itu perlambang kehidupan air (water spirit) yang dapat mendatangkan hujan. Tetapi jangan bikin Dvarapala murka, watak aslinya sebagai penghancur akan muncul.
Lihat saja atribut ular naga yang disandang Dvarapala penjaga Candi Plaosan di daerah Prambanan, Jawa Tengah. Penjaga itu menggunakan tali jerat (pasa) berbentuk ular sebagai senjata untuk menjerat dan menangkap musuh, khususnya makhluk-makhluk jahat. Tali jerat berupa ular naga itu, dalam ilmu ikonografi, disebut nagapasa.
Senjata andalan lainnya adalah golok atau pisau belati. Senjata itu lambang kemenangan atas makhluk-makhluk jahat. Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaran-ajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.

Yang tua tidak pegang gada
data tentang arca-arca Dvarapala Jawa Tengah dalam penelitian tahun 1983, dan dilanjutkan lagi sekarang. Yang terbanyak ditemukan di daerah Prambanan dan Kalasan, Yogyakarta, di antaranya berasal dari candi-candi Kalasan, Lara Jonggrang, Lumbung, Sewu, Asu, Plaosan Lor, Sajiwan, Kalongan. Ia juga membandingkannya dengan Dvarapala Borobudur yang kini berada di Bangkok, Thailand.
Dalam pengamatannya terhadap arca-arca tersebut, Dvarapala Borobudur belum dianggap sebagai hasil karya seni bermutu tinggi. Teknik pahatannya masih kasar. Senjatanya hanya satu, yakni belati yang digenggam tangan kanan. Ekspresi mukanya tidak menakutkan, bahkan tampak "menyedihkan" dengan mulut yang menunjukkan ekpresi tenang. Supratikno berpendapat, Dvarapala sederhana itu mungkin penjaga bangunan candi dekat Candi Borobudur yang ukurannya lebih kecil, namun umurnya lebih tua dari Candi Borobudur (diperkirakan sebelum tahun 770 M). Jadi bukan penjaga Candi Borobudur, karena agaknya seniman Borobudur tidak memerlukan Dvarapala. Di Borobudur fungsi penjaga sudah digantikan oleh singa-singa yang mengapit jalan masuk menuju puncak candi.
Sedangkan Dvarapala-dvarapala dari Candi Sewu menunjukkan hasil karya seni yang lebih tinggi ketimbang yang dari Borobudur. Kalau Dvarapala Borobudur tidak mengenakan ikat kepala dan upawita (tali kasta), serta tidak memegang ular dan gada, maka Dvarapala Candi Sewu memiliki seluruh atribut itu. Garapannya pun lebih halus dan rumit. Supratikno berpendapat, Dvarapala Candi Sewu mungkin dibuat sebelum tahun 782 M.
Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesian Art (1959) sempat mengamati sejumlah Dvarapala dari situs-situs candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Empat dvarapala yang ditemukan di selatan Candi Kalasan, Yogyakarta, berukuran tinggi 1,90 meter. Rambut gimbal terurai tanpa ikat kepala, tangan kanan memegang nagapasa, sedangkan telapak tangan kiri bertumpu pada sebuah gada yang diturunkan ke tanah. Tak lupa pisau besar terselip di pinggangnya. Kempers menduga arca-arca itu merupakan penjaga pintu masuk Candi Kalasan, namun sekarang sudah tidak ada di tempatnya lagi.
Dvarapala yang terdapat di sekitar Candi Singasari di Malang, Jawa Timur, menurut Kempers, adalah raksasa penjaga alun-alun Kerajaan Singhasari (1222-1292). Raksasa ini menjaga pintu masuk Keraton Singhasari yang diperkirakan lokasinya tidak jauh dari Candi Singasari sekarang. Dvarapala Singasari itu memiliki karakter yang lebih damai, kata Kempers. Padahal sebenarnya ekspresi penjaga itu dimaksudkan oleh seniman Jawa supaya tampak sangar. Alis matanya melengkung dengan mata melotot. Dari lekuk mulutnya terlihat taring-taringnya. Tangan kiri bertelekan pada sebuah gada yang berat berhiaskan vajra. Ular dan tengkorak yang disandangnya seharusnya membuat lawan gemetar.
Dvarapala dari Jawa Timur memang lebih bervariasi baik ekspresi maupun penampilannya. Arca-arca Dvarapala Candi Panataran di Blitar tampil berbeda. Selain dvarapala jongkok, ada pula yang berdiri. Ada pula dvarapala perempuan, bahkan ada yang sambil menggandeng anaknya. Tentu, meski bayi, penampilannya tetap saja garang.
Penampilan dvarapala yang secara fisik kelihatan sangar tetapi ekspresinya tenang ternyata dilandasi oleh suatu filosofi. Menurut Supratikno, dvarapala juga berperan serupa dengan Dharmapala atau "pelindung dharma" seperti dikenal dalam Buddhisme di Tibet. Sebagaimana Dharmapala, meski Dvarapala berwujud menyeramkan, namun perannya tidak jahat. Pemahaman itu rupa-rupanya mengilhami para seniman Jawa untuk menggambarkan mahluk ini secara tidak terlalu menakutkan. Perhatikan mulutnya, seringkali digambarkan ekspresi mulut yang "tersenyum".
Sebelum dewa-dewa muncul di dalam sistim kepercayaan agama Hindu dan Budha, Dwarapala diangap sebagai makhluk gaib dan dipuja orang di India sebagai pelindung pertanian. Setelah munculnya prinsip dewa-dewa, Yaksha dimasukkan dalam golongan setingkat dibawah dewa. Perkembangan selanjutnya Yaksha menjadi pendamping sang Budha dan menghiasi stupa bersama-sama makhluk lain. Akhirnya Yaksha seakan-akan “melindungi” dan “menjaga” bangunan suci. Tugasnya sebagai pelindung bangunan suci itulah kemudian berkembang menjadi Dwarapala.
Arca Dwarapala Peninggalan Kerajaan Singhasari
Dwarapala selalu diletakkan didepan pintu gerbang atau pintu bangunan suci. Ia memiliki kekuasaan untuk melindunginya dari berbagai kekuatan jahat. Sesuai tugasnya sebagai penjaga, diapun dilengkapi dengan senjata, umumnya gada sebagai simbol penghancur sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Atributnya adalah ular atau naga perlambang kehidupan air yang dapat mendatangkan hujan. Matanya melotot dan mulut menyerengai menimbulkan kesan menakutkan sekaligus wibawa. Hal ini sama seperti Dwarapala Singosari. Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya dan semuanya berhiasan kepala tengkorak.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaran-ajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.
Patung Dwarapala ini terletak sekitar 200 meter sebelah candi Singosari dan merupakan patung tunggal terbesar di Indonesia karena beratnya sekitar 23 ton dan tingginya 3,7 meter (padahal ia dalam posisi jongkok !). Jumlahnya ada 2 buah di sebelah selatan dan utara.
Dahulu Dwarapala sebelah selatan pernah ambles ke bumi hingga separuh perutnya. Tim yang mengerjakan pemugaran candi Borobudur dipercaya untuk memperbaiki letak posisinya. Namun tidak ada peralatan modern yang mampu mengangkatnya kembali, bahkan perlatan berat lainnya juga gagal seolah-olah tenggelam kekuatannya dihisap oleh patung tersebut. Setelah melakukan upacara selamatan dan berkat petunjuk gaib penduduk setempat yang memberitahukan bahwa letak kekuatan Dwarapala adalah pada kedua matanya, maka proses pengangkatan kembali tersebut berhasil setelah juga dengan menutup kedua matanya dari sinar matahari. Sekarang Dwarapala sebelah selatan tersebut berada diatas sebuah lapik semen dan utuh hingga kelihatan mata kakinya