Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur berbentuk tugu segi enam tidak beraturan yang mengecil ke bagiaan atas, terbuat dari batu andesit dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar bagian atas 19 cm, dan 32 cm di bagian bawah.

Berapa Jumlah Pulau di Indonesia

Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai ribuan pulau, menguntai dari Sabang sampai Merauke. Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 18 September 2015

Bubu, Alat Tangkap Ikan

Alat tangkap penjebak (traps) berbentuk seperti saluran atau silinder, pada ujungnya mengecil dan umumnya tidak mempunyai alat tambahan lain.Pada bagian bukaan terdapat lubang dimana ikan bisa masuk akan tetapi sulit keluar oleh karena bagian ujung dalam silinder yang mengecil (Von Brandt, 1971).
Monintja dan Martasuganda (1991), mengemukakan bahwa bubu merupakan alat tangkap tradisional yang memiliki banyak keistimewaan, antara lain:
1.Pembuatan bubu mudah dan murah;
2.Mudah dalam pengoperasian;
3.Hasil angkapan yang diperoleh dalam keadaan segar;
4.Tidak merusak sumberdaya, baik secara ekologi maupun teknik;
5.Biasanya dioperasikan ditempat-tempat yang alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan;
Bubu adalah perangkap yang mempunyai satu atau dua pintu masuk dan dapat diangkat kebeberapa daerah penagkapan dengan mudah, dengan atau tanpa perahu dan sangat efektif untuk menangkap organisme yang bergerak lambat di dasar perairan, baik di laut maupun danau (Rumajar, 2002).
Berdasarkan cara operasi penangkapan, bubu dibagi menjadi 3 jenis yaitu, bubu dasar(stationary fish pots), bubu apung(floating fish post) dan bubu hanyut (drift fish pots).Bubu yang paling banyak digunakan dalam perikanan Indonesia adalah bubu dasar.Pengoperasian bubu dilakukan dengan cara meletakkan disela-sela karang atau tempat hunian ikan. Sesuai dengan namanya, ikan yang tertangkap dengan alat ini adalah ikan dasar, ikan karang (termasuk kerapu dan kakap merupakan ikan-ikan demersal) dan udang (Subani dan Barus, 1989).
Subani dan Barus (1989), menyatakan bahwa bentuk dari bubu bermacam-macam yaitu bubu berbentuk lipat, sangkar(cages), silinder (cylindrical),gendang, segitiga memanjangkan (kubus), atau segi banyak, bulat dan setengah lingkaran dan lain-lainya. Secara garis besar bubu terdiri dari badan (body), mulut(funnel) atau ijeb dan pintu. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu (funnel)berbentuk corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan bagian tempat pengambilan hasil tangkapan.
Biasanya bubu yang digunakan oleh nelayan terbuat dari bambu, kayu ataupun rotan, selanjutnya dianyam membentuk sebuah kurungan dengan ukuran rata-rata bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan, untuk bubu kecil umumnya berukuran panjang (70 - 100 cm), lebar (50 - 70 cm) dan tinggi (25 - 30 cm), untuk bubu besar dapat mencapai ukuran panjang(3 - 6 m), lebar (75 - 150 cm) dan tinggi (50 - 150 cm). Bubu ini dipasang pada kedalaman perairan 20 - 50 m sesuai lokasi, setiap 2 - 4 hari hasilnya diambil dengan perahu sampan, (Anonimous, 2001).
Dalam pengoperasiannya dapat dilakukan dengan dua cara.Cara pertama, bubu dipasang secara terpisah (umumnya bubu berukuran besar), satu bubu satu pelampung. Cara kedua dipasang secara bergandengan (umumnya bubu berukuran kecil sampai sedang) dengan menggunakan tali utama, sehingga cara ini dinamakan “longline trap”.Untuk cara kedua ini dapat dioperasikan beberapa bubu sampai puluhan bahkan ratusan. Biasanya dioperasikan dengan menggunakan kapal yang bermesin dan dilengkapi dengan katrol. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairann karang atau diantara karang-karang atau bebatuan (Subani dan Barus, 1989). Ditambahkan oleh Rumajar (2002), bahwa untuk memudahkan mengetahui tempat-tempat dimana bubu di pasang, maka dilengkapi dengan pelampung melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu tersebut.
Bubu sendiri dalam operasionalnya untuk laut dalam (bubu dasar) sering dipakai benda berupa umpan untuk menarik perhatian ataupun dilepas tampa menggunakan umpan.Ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang terperangkap pada bubu.Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah tertarik denganbau umpan, dipakai untuk berlindung, sebagai tempat untuk istirahat sewaktu ikan bermigrasi dan karena sifat thigmotaxis dari ikan itu sendiri (Monintja dan Martasuganda, 1991).
Menurut Gunarso (1985), sifat thimotaxis adalah sifat ikan yang selalu ingin mengetahui suatu benda asing yang ada disekitarnya, sehingga ikan cenderung untuk menyentuh diri pada alat tersebut.
Hasil tangkapan bubu dasar umumnya adalah ikan-ikan demersal yang hidup secara soliter atau berpasangan sehingga ikan-ikan yang terjebak atau tertangkap oleh bubu meliputi; ikan tambangan(Lutjanus johni), ikan merah(Lutjanus malabaricus), ekor kuning (Caesio erithrogaster),kakatua (Callyodon cyagnatus),ikan kerapu karang(Cephalopholis bunack) (Buyang, 1999).Fluktuasi hasil tangkapan bubu menurut Tiyosi (1979), terjadi karena ;
1.Migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan;
2.Keragaman ikan dalam populasi
3.Tepat tidaknya penentuan pemasangan bubu, karena alat tangkap jenis ini bersifat pasif dan menetap.
Sumberdaya Ikan Karang
Komunitas ikan karang mempunyai keragaman jenis yang cukup tinggi dengan jumlah individu yang tidak terlalu besar.Penyumbang produksi ikan karang Indonesia terdiri dari 10 famili utama yaitu Lutjanidae, Caesiodidae, Holocentridae, Serranidae, Scaridae, Singanidae, Lethrinidae, Priacanthidae, Labridae danHaemulidae.Beberapa spesis yang sudah dikenal di Indonesia antara lain adalah Kakap (Lutjanussp), Ekor Kuning (Caesio spp), Napoleon (Cheilinus Undulates), Kerapu (Epinephelusspp), Sunu (Plectroponus Leopardus), Baronang (Siganussp) dan Lencam (Luthrinus sp) (Widodo dkk, 1998).Hampir seluruh perairan pantai yang berkarang merupakan habitat yang cocok bagi ikan dasar.
Sebagian besar ikan dasar adalah merupakan hewan karnivora umumnya tidak mempunyai spesifikasi tertentu terhadap makanan.Kelompok hewan ini merupakan golongan hewan yang oportunistik dan memangsa makanan apa saja yang ada di dekat mereka (Nybakken, 1992).
Hubungan Parameter Oseonografi Terhadap Tingkah Laku Ikan
Arus
Arus merupakan suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut atau gerakan pasang surut sehingga dapat menyebabkan terjadinya perpindahan plankton yang bermanfaat bagi organisme (Nontji, 1987). Arus dan perubahannya sangat penting dalam operasi penangkapan, perubahan dalam kelimpahan dan keberadaan ikan (Laevastu dan Hela, 1970).Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus.
Ikan juga ternyata memanfaatkan arus laut untuk melakukan pemijahan, mencari makan ataupun sehubungan dengan proses-proses pengembangannya. Hal ini dapat dilihat pada larva ikan yang hanyut dari areal pemijahan(Spawning grond) menuju areal pembesaran (Nursery groung)yang berdekatan dengan areal makan (Feeding area) mereka (Gunarso, 1985).
Rahardjo dan Sanusi (1978), menyatakan bahwa pada umumnya ikan berenang melawan arus dan akan berenang lebih cepat dari arus jika ia mengikuti arus, jika arus lemah, ikan biasanya berenang menentang arus.Ikan-ikan menjadi pasif dalam perairan yang suhunya sangat rendah dan membiarkan dirinya dibawah oleh arus.Jika ada cahaya, ikan cenderung untuk berenang melawan arus, dan membiarkan dirinya dibawah arus ketika gelap
Kedalaman
Zainul (2003), menyatakan bahwa kedalaman perairan yang ideal dipengaruhi oleh sifat perairan itu sendiri, yakni kondisi air mengalir dan tidak mengalir. Pada perairan mengalir, disarankan agar alat tangkap ditempatkan minimal pada kedalaman air 3 meter. Sedangkan parairan yang tidak mengalir, disarankan agar alat tangkap di tempatkan pada kedalaman air minimal 5 meter. Kedaan ini menyebabkan perbedaan masing-masing lingkungan sehingga jenis-jenis ikan yang tertangkap sangat bervariasi pula.
Air laut pada tepi pantai tidak pernah diam pada suatu ketinggian yang tetap selalu bergerak naik turun sesuai dengan siklus pasang. Pasang terutama disebabkan oleh gaya gravitasi bulan dan matahari (Hutabarat dan Evans, 1985)
Faktor kedalaman sangat berpengaruh dalam pengamatan dinamika oseonografi dan morfologi pantai seperti kondisi arus, ombak dan transport sediment. Hutabarat dan Evans (1984), mengemukakan bahwa kedalaman berhubungan erat dengan stratifikasi suhu vertikal, penetrasi cahaya, densitas dan kandungan zat hara.
Pasang surut
Pasang surut adalah gerakan naik turunnya permukaan air secara periodik yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari, karena jarak dari bulan lebih dekat dengan bumi maka bulan mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan matahari.Gaya tarik bulan yang mempunyai pasang surut ± 2,2 kali lebih kuat dari pada gaya tarik matahari, maka bagian bumi yang dekat dengan bulan akan tertarik sehingga permukaan air laut akan naik dan menimbulkan pasang.Pada saat yang sama bagian bola bumi dibaliknya mengalami keadaan serupa atau pasang, sementara di sisi lain yang tegak lurus terhadap proses ini air akan bergerak ke samping sehingga terjadinya keadaan surut.Dijelaskan juga bahwa bulan berputar mengelilingi bumi dalam waktu 24 jam 51 menit. Dengan demikian tiap siklus pasang surut akan bergeser mundur 51 menit sehari(Nontji, 1987).
Sidjabat (1973), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pasang surut antara lain topografi dasar, letak pulau dan benua serta pengaruh gaya koriolis karena faktor-faktor ini keadaan di dunia sangat berbeda satu sama lain.
Menurut Nontji (1987), bahwa pasang surut di Indonesia dibagi menjadi empat, yakni :
1.Pasang surut harian tunggal(Diurnal tide), yaitu pasang surut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap hari, misalnya terjadi di perairan Selat Karimata antara Sumatera dan Kalimantan.
2.Pasang surut harian ganda(Semi diurnal tide) yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari, yang tingginya masing-masing hampir sama, misalnya terjadi di Selat Malaka sampai Laut Andaman.
3.Pasang surut campuran keharian ganda terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, yang banyak terjadi sebagian besar perairan Indonesia bagian timur.
4.Pasang surut condong keharian tunggal (Mixed tide prevailing diurnal), yaitu terjadi dua kali pasang dan satu kali surut, namun kadang-kadang pula untuk sementara dengan dua kali pasang dan dua kali surut. Contohnya terdapat di pantai Selatan Kalimantan dan pa

Kamis, 13 Agustus 2015

Kelengkapan dalam Pagelaran Wayang Kulit


Seni memainkan wayang yang biasa disebut pagelaran, merupakan kombinasi harmonis dari berbagai unsur kesenian. Pada pagelaran wayang kulit dituntut adanya kerjasama yang harmonis baik unsur benda mati maupun benda hidup (manusia). Unsur benda mati yang dimaksud adalah sarana dan alat yang digunakan dalam pagelaran wayang kulit. Sementara unsur benda hidup (manusia) adalah orang-orang yang berperan penuh dalam seni pagelaran wayang kulit.
1.Unsur Benda
Unsur benda yang ada dalam pagelaran wayang kulit adalah alat-alat yang berupa benda tertentu yang digunakan dalam pagelaran wayang tersebut. Bahkan terdapat unsur materi yang harus ada (karena tidak bisa digantikan). Unsur materi yang dimaksud antara lain: wayang yang terbuat dari kulit lembu,kelir, debog (batang pohon pisang), seperangkat gamelan, keprak,kepyak, kotak wayang, cempala, dan blencong. Seperangkat alat tersebut harus ada, karena alat-alat tersebut tidak bisa digantikan. Akan tetapi pada perkembangan zaman ada modifikasi atau pengubahan yang bibuat berdasar kebutuhan atau kreatifitas seniman, namun keberadaan wayang dan kelir tidak bisa ditinggalkan.
a)Wayang kulit Jawa tentunya terbuat dari kulitPada umumnya terbuat dari kulit sapinamun ada juga yang dibuat dari kulit kambing. Proses pembuatannya pun cukup lama, mulai dari direndam lalu di gosok terus dipentang supaya tidak kusut kemudia dibersihkan bulu-bulunya. Baru setelah itu diberi pula untuk kemudian ditatah sesuai dengan gambar pola, dan terakhrir diwarnai. Jadilah wayang hasil kreasi seni pahat dan seni lukis.
b)Gamelan adalah seperangkat alat musik perkusi dan petik serta gesek yang mengiringi pagelaran wayang. Jumlahnya sangat banyak. Macam gamelan antara lain bonang, gambang, gendang, gong, siter, kempul, dll. Gamelan dimainkan secara bersama-sama membentuk alunan musik yang biasa disebut gending. Inilah seni kreasi musik dalam pagelaran wayang.
c)Keliradalah layar lebar yang digunakan pada pertunjukan wayang kulit. Pada rumah Joglo, kelir di pasang pada bagian‘pringgitan’. Bagian ini merupakan bagian peralihan dari pada ranah publik, pendopo dengan ranah privat,ndalem atau nggandok. Oleh karena itu penonton wayang kulit yang tergolong keluarga, pada umumnya nonton di bagian dalam ndalem, yang sering dianggep nonton mburi kelir. Nonton di belakang kelir ini memang benar-benar „wewayangan’, atau bayang-bayang. Lihat buku „Aspek Kebudayaan Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik’ (Subanindyo, 2010). Dari sinilah pengaruh blencongyang seolah-olah „menghidupkan wayang akan dapat terlihat (lihat: Blencong). Penonton juga tidak terganggu oleh adanya gamelan. Bagi penonton publik, mereka menonton didepan kelir, sehingga selain dapat melihat keindahan dari pada peraga wayang itu sendiri, oleh karenatatah dan sungging-nya, berikutsimpingannya, juga dapat menyaksikan deretan pesinden atau waranggana manakala ada. Sayang, menyaksikan dari sisi ini selain tak dapat menyaksikan pengaruhblencong, dimana wayang seolah-olah menjadi hidup, juga terkadang terhalang oleh gamelan, terutama gayor untukkempul dan gong. 
d)Debog adalah batang pisang yang digunakan untuk menancapkan wayang(simpingan). Di simping artinmya dijajar. Baik yang dimainkan maupun yang yang dipamerkan (display), digunakan ‘debog’. Barang tentu untuk „menancapkan wayang yang di-display juga ada aturan-aturan tertentu. Mana wayang yang harus ada disebelah kanan ki dalang, mana pula yang harus berada disebelah kirinya. Tugas‘menyimping’ ini sesungguhnya tidak terbatas hanya memasang wayang yang harus di-display,akan tetapi juga mempersiapkan segala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan wayang-wayang yang akan digunakan (play) sesuai urutan adegannya, menempatkan kotak wayang berikut keprak dan kepyaknya, menyediakan cempala, memasang dan menyalakan maupun mengatur sumbublencong, lampu minyak yang khas digunakan dalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain. Sekali-sekali juga membantu pelayanan konsumsi (makan minum, rokok) untuk dalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anak muda sebagai salah satu media pendidikan untuk mengenali dan akhirnya mencintai wayang.
e)Blencongadalah lampu minyak (minyak kelapa – lenga klentik) yang khusus digunakan dalam pertunjukan wayang kulit. Design-nya juga khusus, dengan cucuk (paruh) dimana diujungnya akan menyala api sepanjang malam. Oleh karenanya seorang penyimping harus mewaspadai pula keadaan sumbu blencongtersebut manakala meredup, atau bahkan mati sama sekali.Tak boleh pula api itu berkobar terlampau besar. Karena akan mobat-mabit. Kalaupun lampu penerangan untuk dalang pada masa sekarang sudah menggunakan listrik, sesungguhnya ada fungsi dasar yang hilang atau dihilangkan dari penggunaanblencong tersebut. Oleh karenablencong adalah lampu minyak, maka apinya akan bergoyang manakala ada gerakan-gerakan wayang, lebih-lebih waktu perang, yang digerakkan oleh ki dalang. Ada kesan bahwa ayunan api (kumlebeting agni) dari blencong itu seolah-olah memberikan nafas dan atau menghidupkan wayang itu sendiri. Hal yang tak terjadi manakala penerangan menggunakan listrik atautromak (petromax). Saat iniblencong sudah jarang digunakan. Dianggap kurang praktis dan merepotkan. 
f)Kotak wayang berukuran 1,5 meter kali 2,5 meter ini akan merupakan peralatan dalang selain sebagaimana sudah diutarakan merupakan tempat menyimpan wayang, juga sebagai ‘keprak’, sekaligus tempat menggantungkan‘kepyak’. Dari kotak tempat menyimpan wayang ini juga akan dikeluarkan wayang, baik yang akan ditampilkan maupun yang akan di-simping. Di-simping artinya dijajar, di-display di kanan dan kiri layar (kelir) yang ditancapkan didebog (batang pisang). Kotak akan ditaruh dekat dalang, di sebelah kiri, dan ditentang yang dekat dalang ditempatkankepyak. Sedang kepraknya justru bagian dari kotak yang dipukul dengan cempala. Keprak adalah suara dhodhogan sebagai tanda, disebut sasmita, dengan jenis tertentu diwujudkan pemukulan pada kotak dengan menggunakan cempala. Sementara pada kepyak, berupa tiga atau empat lempengan logam (kuningan/gangsa atau besi) yang digantungkan pada kotak, juga dipukul dengancempala, dalam bentuk tanda tertentu, juga sebagai sasmita atau tanda-tanda untuk – selain mengatur perubahan adegan – merubah, mempercepat, memperlambat, sirep, menghentikan atau mengganti lagu (gendhing). Terdengar nada yang berbeda antara kepyakwayang kulit Jogya dan gaya Surakarta. 
g)Cempala merupakan pirantisekaligus ‘senjata’ bagi dalang untuk memberikan segala perintah, baik kepadawiraniyaga, wiraswara maupunwaranggana. Bentuknya sangat artistik, bagaikan meru. Ia bisa dipukulkan pada kotak, sebagaikeprak, bisa pula ke kepyak, tiga/empat lempengan logam yang digantungkan pada kotak wayang. Pada saat ke dua tangan dalang sedang memegang wayang – dan ini yang unik – maka tugas untuk membunyikan keprak maupunkepyak, dengan tetap menggunakan cempala, dilakukan oleh kaki kanan ki dalang. Cempala – dengan desain sedemikian rupa itu – akan dijepit di antara ibu jari dan jari telunjuk berikutnya. Menggunakan cempalamemerlukan latihan untuk memperoleh tingkatan ketrampilan tertentu. Memukul kotak dengan cempala, Ki Dalang dapat memilih berbagai kemungkinan pembangun suasana dengan dhodhogan, seperti ada-ada, pathetan, kombangan. Dapat pula sebagai perintah kepada karawitan untuk mengawali, merubah,sirep, gesang atau menghentikan gamelan. Juga dapat digunakan untuk memberikan ilustrasi adegan, seperti suara kaki kuda, suara peperangan dan lain-lain. Artinya, ketika ke dua belah tangan ki dalang sedang memainkan wayang, makakeprak atau kepyak dapat juga berbunyi. Suatu keprigelan yang jarang dapat dilihat oleh para penonton wayang, karena biasanya ia sedang asyik mengikuti adegan yang ditampilkan di kelir (layar). Padahal untuk mencapai tingkat keprigelan tersebut, seorang dalang harus melakukan latihan-latihan yang intensif. Betapa tidak, keempat anggota badan, tangan dan kaki harus terus bergerak, sementara pikiran dan pandangan terfokus pada apa yang dilakukannya di layar / kelir.
2.Unsur Manusia
Dalang, penyimping, penabuh, dan sinden adalah orang-orang yang berperan penting dalam kelancaran dan keberhasilan sebuah pagelaran wayang. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemahiran khusus dalam bidangnya masing-masing. Berkat kemahiran khusus tersebut, terkadang mereka tidak bisa digantikan oleh sembarang orang.
a)Dalangadalah sutradara, pemain, artis, serta tokoh sentral dari pada suatu pertunjukan wayang. Tanpa dalang, maka pertunjukan wayang itu tidak ada. Apalagi untuk dalang pada pertunjukan wayang kulit. Komunikasi antara dalang dengan unit pendukung, perlengkapan dan peralatan pertunjukan wayang merupakan komunikasi yang unik. Melalui segenap indera yang dimilikinya, ia berkomunikasi dengan kompleksitas orang dan peralatan yang lazim digunakan dalam suatu pertunjukan wayang. Tanpa suatu skenario yang dipersiapkan terlebih dahulu, namun wayang tampil secara spontan, kompak dan tidak pernah mengalami ‘out of order’, semalam suntuk. Sungguh suatu bentuk teater yang „aneh karena meskipun tanpa suatu skenario - padahal dalang dapat memilih beratus lakon atau cerita baku (babon-pakem), carangan, anggitan (sanggit) – tontonan dapat berjalan mulus dari jejeransampai tancep kayon
b)Penyimping adalah orang yang membantu dalang dalam menyiapkan wayang yang di jajar (disimping) pada debog(simpingan). Tugas ‘menyimping’ini sesungguhnya tidak terbatas hanya memasang wayang yang harus di-display, akan tetapi juga mempersiapkan segala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan wayang-wayang yang akan digunakan (play) sesuai urutan adegannya, menempatkan kotak wayang berikut keprak dan kepyaknya, menyediakan cempala, memasang dan menyalakan maupun mengatur sumbublencong, lampu minyak yang khas digunakan dalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain. Sekali-sekali juga membantu pelayanan konsumsi (makan minum, rokok) untuk dalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anak muda sebagai salah satu media pendidikan untuk mengenali dan akhirnya mencintai wayang.
c)Panjakadalah orang yang bertugas memainkan gamelan. Orang-orang yang bertugas sebagai penabuh gamelan harus mempunyai kemahiran khusus dalam memainkan lagu (gendhing) sesuai dengan permintaan si dalang. Permintaan si dalang tentunya tidak verbalistik, namun penabuh gamelan diharuskan memahami isi cerita/lakon wayang dan gendhing yang dimainkan hendaknya diselaraskan dengan lakon cerita wayang. Hal inilah menuntut ketajaman intuisi bagi penabuh gamelan dalam pagelaran wayang, karena dalam pagelaran wayang tidak disediakan notasi musik dalam memainkan gamelan. Semuanya menggunakan intuisi seniman.
d)Warangganaadalah penyanyi wanita dalam seni karawitan yang dimainkan dalam pagelaran wayang kulit. Lazim juga disebut pesinden. Penyanyi ini selain harus mempunyai kemahiran dalam menyanyi dengan suara yang merdu, namun juga ketahanan fisik yang prima. Hal ini diperlukan karena biasanya pagelaran wayang kulit itu dilaksanakan semalam suntuk. Tentu harus mempunyai fisik yang sehat dan kuat untuk melantunkan lagu-lagu jawa serta menahan kantuk mulai senja hingga pagi hari.

Sabtu, 08 Agustus 2015

Peninggalan Pangeran Dipinegoro

Di era fase akhir Perang Jawa, pada 1829, seiring dengan ditangkapnya sang pemimpin perang, Pangeran Diponegoro, barang-barang peninggalannya ada yang dirampas Belanda. Namun, ada yang sudah kembali ke Indonesia. Apa saja itu?

Dikutip laman Detiknews, berikut peninggalan-peninggalan itu, Sabtu (7/2/2015):

1. Pelana Kuda

Pelana kuda termasuk barang yang dirampas Belanda usai Pangeran Diponegoro disergap di Pegunungan Gowong oleh AV Michiels dan Pasukan Gerak Cepat ke-11 dari Ternate yang terkenal dengan kemampuan lacaknya, 11 November 1829. Dikisahkan dari katalog pameran 'Aku Diponegoro', sang pangeran terpaksa lompat dari kudanya ke lembah terdekat di bawah gelagah, kuda, tombak dan jubahnya dirampas. 

Diponegoro memang mahir menunggang kuda, bahkan memiliki istal di kediamannya dengan pemelihara kuda dan pemotong rumput tak kurang dari 60 orang. Beberapa tunggangannya seperti Kiai Gentayu, seekor kuda hitam berkaki putih, dianggap pusaka hidup. 

Setelah dirampas tahun 1829, pelana kuda itu dibawa ke Belanda, diserahkan pada Raja Willem I yang berkuasa 1813-1840. Kemudian, tahun 1968 ada kesepakatan budaya Belanda-Indonesia. Berdasarkan kesepakatan ini akhirnya pelana kuda Diponegoro dikembalikan ke Indonesia oleh Ratu Juliana pada 1978.


2. Tombak Pusaka Kiai Rondhan

Adalah lumrah bagi bangsawan keraton saat itu, termasuk Pangeran Diponegoro memiliki senjata pusaka. Nah, tombak pusaka yang dinamakan Kiai Rondhan ini termasuk salah satu pusaka kesayangan Diponegoro karena dianggapnya suci, bisa memberikan perlindungan dan peringatan akan datangnya bahaya.

Tombak ini dirampas dengan tanggal yang sama dengan perampasan pelana kuda, juga keris Kiai Nogosiluman, pada 11 November 1829. 

Ketiganya dipersembahkan sebagai 'trofi perang' pada Raja Belanda, Willem I. Tombak ini akhirnya dikembalikan ke Indonesia oleh Ratu Juliana tahun 1978, bersamaan dengan pelana kuda. Keduanya kini menjadi koleksi Museum Nasional atau yang akrab juga disebut Museum Gajah.


3. Babad Diponegoro

Babad Diponegoro merupakan catatan otobiografi Pangeran Diponegoro yang dibuat saat sang pangeran diasingkan pasca ditangkap 11 November 1829. Menurut sejarawan yang 40 tahun meneliti Babad Diponegoro, Peter Brian Ramsey Carey, babad ini ditulis selama masa pengasingan Diponegoro di Manado pada 1831-1832. Namun, Diponegoro tak menulisnya sendiri, melainkan mendiktekannya kepada seorang juru tulis.

Isi babad itu semacam puisi atau macapatan yang tebalnya 1.170 halaman folio, berisi sejarah nabi, sejarah pulau Jawa sejak Majapahit hingga Perjanjian Giyanti (Mataram). Diponegoro, menurut Carey, mengibaratkan otobiografinya sebagai bahtera Nuh, yang menampung budaya Jawa agar bisa diwariskan pada generasi selanjutnya. Tujuannya, supaya tidak melupakan jati diri.

Naskah Babad ini dicari hingga ke Belanda hingga akhirnya berhasil menjadi Memory of The World UNESCO tahun 2012 dan disahkan tahun 2013. Namun, naskah babad itu bukan naskah asli.

Menurut Peter, naskah babonnya sudah hilang. Yang ada adalah salinan yang otentik dengan aslinya, sebanyak 5 kopi, 4 dalam huruf Arab Pegon atau Arab Gundul dan 1 lagi aksara Jawa. Naskah dalam aksara Arab Pegon mirip dengan yang asli, karena naskah babonnya ditulis dalam huruf Pegon.  

Kini, kopian 5 naskah yang otentik itu sudah disimpan di Perpustakaan Nasional.


4. Tongkat Kiai Cokro

Tongkat Pangeran Diponegoro yang dinamakan Kiai Cokro, akhirnya kembali ke Indonesia pada Kamis (5/2/2015) setelah 183 tahun berada dalam pemeliharaan keluarga Jean Chretien (JC) Baud dan keturunannya. 

Tongkat itu sejatinya milik Sultan Demak, dan Pangeran Diponegoro menerima tongkat itu dari orang biasa di Jawa, pada 10 tahun sebelum terjadinya Perang Jawa 1925, yakni 1915. Tongkat itu jatuh ke tangan cucu Nyi Ageng Serang, komandan perempuan pasukan Diponegoro, Pangeran Notoprojo atau dikenal sebagai Raden Mas Papak (julukan karena jari-jari tengah tangan kirinya sama rata), pada 11 Agustus 1829.

Setelah berada di tangan Pangeran Notoprojo, kemudian dia memberikannya pada Gubernur Jenderal Belanda di Jawa yang berkuasa pada 1833-1836, JC Baud. Baud menerima tongkat itu saat sedang melakukan inspeksi pertama ke Pulau Jawa, Juli 1834. 

Pangeran Notoprojo adalah sekutu politik yang penting bagi Belanda setelah menyerahkan diri pada 24 Juni 1827. Oleh karena itu, cukup penting bahwa ia berusaha untuk mengambil hati penguasa kolonial yang baru di Jawa dengan mempersembahkan artefak yang secara spiritual bermakna sangat penting.

Selama 183 tahun keturunan Baud memelihara secara turun-temurun tongkat itu hingga datanglah Harm Stevens dari Rijkmuseum yang meneliti tentang tongkat Diponegoro pada Agustus 2014. Stevens menyarankan kakak beradik keturunan Baud, Erica Lucia Baud dan Michiel Baud, menyerahkan benda pusaka itu pada Indonesia hingga tibalah tongkat itu pada 5 Februari 2015 lalu.

Jumat, 07 Agustus 2015

Piso Gaja Dompak

Piso Gaja Dompak adalah senjata tradisional yang berasal dari Sumatera Utara. Nama piso gaja dompak diambil dari kata piso yang berarti pisau yang berfungsi untuk memotong atau menusuk, dan bentuknya runcing dan tajam. Bernama gaja dompak karena  berarti ukiran berpenampang gajah pada tangkai senjata tersebut.
Piso Gaja Dompak, senjata khas suku batak merupakan pusaka kerajaan batak. Keberadaan senjata ini tidak dapat dipisahkan dari perannya dalam perkembangan kerajaan Batak. Senjata ini hanya digunakan di kalangan raja-raja saja. Mengingat senjata ini juga merupakan sebuah pusaka kerajaan, senjata ini tidak diciptakan untuk membunuh atau melukai orang lain. Sebagai benda pusaka, senjata ini dianggap memiliki kekuatan supranatural, yang akan memberikan kekuatan spiritual kepada pemiliknya. Senjata ini juga merupakan benda yang dikultuskan dan kepemilikan senjata ini adalah sebatas keturunan raja-raja atau dengan kata lain senjata ini tidak dimiliki oleh orang di luar kerajaan.
Belum ada catatan sejarah yang menyebutkan kapan tepatnya Piso Gaja Dompak menjadi pusaka bagi kerajaan Batak. Namun, dari hasil penelusuran Piso Raja Dompak ini erat kaitannya dengan kepemimpinan Raja Sisingamaraja I. Hal ini berdasarkan kepercayaan masyarakat terhadap mitos berasal dari tradisi lisan yang tercatat dalam aksara.
Berkisah tentang seorang bernama Bona Ni Onan, putra bungsu dari Raja Sinambela. Dikisahkan sewaktu pulang dari perjalanan jauh, Bona Ni Onan mendapati istrinya Boru Borbor sedang hamil tua. Dia pun meragukan kandungan istrinya itu. Sampai pada suatu malam ia bermimpi didatangi Roh. Roh itu mengatakan bahwa anak dalam kandungan istrinya adalah titisan Roh Batara Guru dan kelak anak tersebut akan menjadi raja yang bergelar Sisingamaraja.
Bona Ni Onan kemudian memastikan kebenaran mimpi tersebut kepada istrinya. Istrinya pun bercerita bahwa ketika ia mandi di tombak sulu-sulu (hutan rimba), ia mendengar suara gemuruh dan Nampak cahaya merasuki tubuhnya. Setelah mengetahui bahwa dirinya hamil. Ia pun percaya bahwa kala itu ia bertemu dengan roh Batara Guru.
Masa kehamilannya mencapai 19 bulan dan kelahiran anaknya pun disertai badai topan dan gempa bumi dahsyat. Oleh sebab itulah putranya ia beri nama Manghuntal yang berarti gemuruh gempa. Beranjak dewasa Manghuntal mulai menunjukan sifat-sifat ajaib yang memperkuat ramalan bahwa dirinya adalah calon raja.
Di masa remaja, Manghuntal pergi menemui Raja Mahasakti yang bernama raja Uti untuk memperoleh pengakuan. Pada saat ia hendak menemui Raja Uti, ia menunggu sambil memakan makanan yang suguhkan oleh istri raja. Ketika itu secara tidak sengaja ia mendapati Raja Uti bersembunyi di atap dengan rupa seperti moncong babi.
Raja Uti pun menyapa manghuntal, ia pun menyampaikan maksud kedatangannya menemui raja dan meminta seekor gajah putih. Raja Uti pun bersedia memberi dengan syarat Manghuntal harus membawa pertanda-pertanda dari sekitar wilayah Toba, Manghuntal pun menurut. Setelah itu Manghuntal kembali menemui Raja Uti dengan membawa persyaratan dari Raja Uti. Raja Uti kemudian memberikan seekor gajah putih serta dua pusaka kerajaan yaitu Piso Gajah Dompak dan sebuah tombak yang ia namai Hujur Siringis.
Konon, Piso Gaja Dompak tidak dapat dilepaskan dari pembungkusnya kecuali oleh orang yang memiliki kesaktian dan Manghuntal bisa membukanya. Pasca itu Manghuntal benar-benar menjadi raja dengan Sisingamaraja I.  sampai saat ini masyarakat Batak masih mempercayai mitos ini.
Selain sebagai pusaka yang begitu dihormati dan dikultuskan, Piso Gaja Dompak ini memuat symbol-simbol yang bermakna filosofis. Bentuk runcing dari senjata ini, dalam bahasa Batak disebut dengan Rantos yang bermakna ketajaman berpikir serta kecerdasan intelektual. Tajam melihat permasalahan dan peluang, juga dalam menarik kesimpulan dan bertindak.
Tersirat bahwa pemimpin Batak harus memiliki ketajaman berpikir dan kecerdasan dalam melihat sebuah persoalan. Selalu melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan dan mengambil suatu tindakan sebagai wujud dari 'kecerdasan dan ketajaman berpikir dan meihat persoalan'.
Ukiran berpenampang gajah diduga diambil dari mitos memberikan piso gaja dompak dan seekor gajah putih pada Manghuntal atau Sisingamaraja I. Piso Gaja Dompak adalah lambing kebesaran pemimpin batak, pemimpin batak memiliki kecerdasan intelektual untuk berbuat adil kepada rakyat dan bertanggung jawab pada Tuhan.

Jumat, 31 Juli 2015

Padrou

Padrao merupakan prasasti perjanjian antara Portugis dan Kerajaan Sunda.  Pada tahun 1522,  Gubernur Portugis di Malaka Jorge d'Albuquerque mengutus Henrique Leme untuk mengadakan  hubungan dagang dengan Raja Sunda yang yang bergelar "Samiam". Perjanjian antara Portugis dan Kerajaan Sunda dibuat pada tanggal 21 Agustus 1522.  lsi dari perjanjian tersebut antara lain Portugis diizinkan untuk mendirikan kantor dagang berupa sebuah benteng di wilayah Sunda Kelapa dan di tempat tersebut didirikan batu peringatan (Padrao)  dalam Kerajaan Sunda bahasa Portugis. Kerajaan Sunda menyetujui perjanjian tersebut, selain karena hubungan perdagangan perjanjian tersebut,  selain karena hubungan perdaganganjuga untuk , mendapat bantuan Portugis dalam menghadapi kerajaan Islam Demak.  Namun perjanjian tersebut tidak terlaksana,  karena pada tahun 1527 Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa.

Rabu, 29 Juli 2015

DVARAPALA

Nuansa kehidupan zaman kerajaan, masih terasa di Kecamatan Singosari. Telebih lagi, ketika memasuki perkampungan di Desa Candirenggo, tepatnya di Jl Kertanegara Barat I. Saat memasuki kawasan yang juga dikenal dengan kawasan santri itu, mata akan langsung tertuju pada dua arca yang berada di di sisi kiri dan kanan jalan.
Arca Dwarapala
Satu arca menghadap ke arah utara, dan satu patung menghadap ke timur. Kedua benda peninggalan sejarah yang berusia ratusan tahun itu, seolah-olah memantau setiap orang yang melintasi jalan itu. Tidak hanya pada tatapan matanya, tapi juga dengan senjata yang dipegang, gada (pentungan). Satu gada dihadapkan ke bawah oleh patung yang berada di sisi kiri jalan. Sedangkan, satu gada lainnya yang dipegang patung di sebelah kanan jalan dihadapkan ke atas.
Ya, itulah Arca Dwarapala. Dwara berarti penjaga, sedangkan Pala berarti pintu. Menurut catatan sejarah, kedua arca dwarapala itulah sebagai pintu masuk kerajaan Singhasari. Sebenarnya, di lokasi itu tidak hanya terdapat arca, akan tetapi lengkap dengan gapuranya. Hanya saja, saat ini kedua arca itu sudah tidak lagi berdiri di atas gapura. Karena, gapura sudah rusak. Bahkan, dari dua gapura, saat ini hanya tersisa satu. Hanya ada beberapa lempengan batu gapura di sekitar arca.
Masih dalam catatan sejarah, Kedua arca itu diketahui diketemukan oleh Gubernur Jawa kelahiran Belanda Nicolas Enderhard pada 1803. Arca itu terpisah dengan gapura. Bahkan, salah satu arca itu sebagian tubuhnya tertimbun tanah. Suasana kehidupan kerajaan tidak hanya terlihat pada keberadaan arca dwarapala. Tidak jauh dari arca, juga terdapat
Dvarapala, tampang sangar menyeramkannya, ditopang tubuh tinggi besar, bukan tanpa tujuan. Dulu ia memang penjaga candi dan bangunan suci. Bagaimana nasibnya sekarang?

Penjaga bangunan suci
Di manapun juga, Dvarapala adalah sosok menyeramkan dan tampak ganas. Dua matanya melotot tajam menatap penuh curiga pada setiap orang yang memasuki candi, bangunan suci. Taring-taringnya yang runcing, khas milik raksasa, mencuat keluar, membuat orang bergidik. Apalagi badannya tinggi besar, bahkan ada yang setinggi 3,70 m, seperti Dvarapala yang di Singosari, Malang. Padahal ia dalam posisi jongkok.
Arca Dwarapala
Arca pemegang gada itu dikenal juga dengan nama Yaksha. Sebelum dewa-dewa Hindu dan Buddha muncul dalam sistem kepercayaan di India, Dvarapala yang merupakan mahluk gaib, dipuja orang India sebagai sumber kehidupan karena melindungi pertanian. Kemudian setelah pantheon dewa muncul dalam sistem kepercayaan di India, Yaksha dimasukkan ke dalam golongan setingkat di bawah dewa.
Pada perkembangan berikut, Yaksha menjadi pendamping Sang Buddha. Ia menghiasi stupa bersama mahluk lain, seperti terdapat di Stupa Bharhut, India, pada abad I Masehi. Sedangkan di Sanchi, Yaksha seakan-akan "melindungi" dan "menjaga" bangunan suci di puncak Torana. Tugas Yaksha sebagai pelindung itulah yang kemudian berkembang sehingga menjadi Dvarapala.
Dvarapala merupakan mahluk yang ditempatkan di depan pintu atau gerbang menuju bangunan suci candi. Ia memiliki kekuasaan untuk melindungi dari berbagai serangan kekuatan jahat. Sesuai tugasnya itu, Dvarapala sang penjaga candi tidak saja digambarkan sebagai mahluk yang menyeramkan wujud fisiknya, tetapi masih dilengkapi dengan berbagai senjata dan atribut lain. Senjata-senjata yang disandangnya memang sengaja untuk menciptakan kesan menakutkan.
Sebagian besar Dvarapala memang memegang gada. Alat pemukul itu dianggap lambang penghancur, sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Juga dipercaya, senjata maut itu berfungsi sebagai tongkat kematian atau hukuman. Atribut lain umumnya adalah ular atau naga. Dua satwa itu perlambang kehidupan air (water spirit) yang dapat mendatangkan hujan. Tetapi jangan bikin Dvarapala murka, watak aslinya sebagai penghancur akan muncul.
Lihat saja atribut ular naga yang disandang Dvarapala penjaga Candi Plaosan di daerah Prambanan, Jawa Tengah. Penjaga itu menggunakan tali jerat (pasa) berbentuk ular sebagai senjata untuk menjerat dan menangkap musuh, khususnya makhluk-makhluk jahat. Tali jerat berupa ular naga itu, dalam ilmu ikonografi, disebut nagapasa.
Senjata andalan lainnya adalah golok atau pisau belati. Senjata itu lambang kemenangan atas makhluk-makhluk jahat. Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaran-ajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.

Yang tua tidak pegang gada
data tentang arca-arca Dvarapala Jawa Tengah dalam penelitian tahun 1983, dan dilanjutkan lagi sekarang. Yang terbanyak ditemukan di daerah Prambanan dan Kalasan, Yogyakarta, di antaranya berasal dari candi-candi Kalasan, Lara Jonggrang, Lumbung, Sewu, Asu, Plaosan Lor, Sajiwan, Kalongan. Ia juga membandingkannya dengan Dvarapala Borobudur yang kini berada di Bangkok, Thailand.
Dalam pengamatannya terhadap arca-arca tersebut, Dvarapala Borobudur belum dianggap sebagai hasil karya seni bermutu tinggi. Teknik pahatannya masih kasar. Senjatanya hanya satu, yakni belati yang digenggam tangan kanan. Ekspresi mukanya tidak menakutkan, bahkan tampak "menyedihkan" dengan mulut yang menunjukkan ekpresi tenang. Supratikno berpendapat, Dvarapala sederhana itu mungkin penjaga bangunan candi dekat Candi Borobudur yang ukurannya lebih kecil, namun umurnya lebih tua dari Candi Borobudur (diperkirakan sebelum tahun 770 M). Jadi bukan penjaga Candi Borobudur, karena agaknya seniman Borobudur tidak memerlukan Dvarapala. Di Borobudur fungsi penjaga sudah digantikan oleh singa-singa yang mengapit jalan masuk menuju puncak candi.
Sedangkan Dvarapala-dvarapala dari Candi Sewu menunjukkan hasil karya seni yang lebih tinggi ketimbang yang dari Borobudur. Kalau Dvarapala Borobudur tidak mengenakan ikat kepala dan upawita (tali kasta), serta tidak memegang ular dan gada, maka Dvarapala Candi Sewu memiliki seluruh atribut itu. Garapannya pun lebih halus dan rumit. Supratikno berpendapat, Dvarapala Candi Sewu mungkin dibuat sebelum tahun 782 M.
Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesian Art (1959) sempat mengamati sejumlah Dvarapala dari situs-situs candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Empat dvarapala yang ditemukan di selatan Candi Kalasan, Yogyakarta, berukuran tinggi 1,90 meter. Rambut gimbal terurai tanpa ikat kepala, tangan kanan memegang nagapasa, sedangkan telapak tangan kiri bertumpu pada sebuah gada yang diturunkan ke tanah. Tak lupa pisau besar terselip di pinggangnya. Kempers menduga arca-arca itu merupakan penjaga pintu masuk Candi Kalasan, namun sekarang sudah tidak ada di tempatnya lagi.
Dvarapala yang terdapat di sekitar Candi Singasari di Malang, Jawa Timur, menurut Kempers, adalah raksasa penjaga alun-alun Kerajaan Singhasari (1222-1292). Raksasa ini menjaga pintu masuk Keraton Singhasari yang diperkirakan lokasinya tidak jauh dari Candi Singasari sekarang. Dvarapala Singasari itu memiliki karakter yang lebih damai, kata Kempers. Padahal sebenarnya ekspresi penjaga itu dimaksudkan oleh seniman Jawa supaya tampak sangar. Alis matanya melengkung dengan mata melotot. Dari lekuk mulutnya terlihat taring-taringnya. Tangan kiri bertelekan pada sebuah gada yang berat berhiaskan vajra. Ular dan tengkorak yang disandangnya seharusnya membuat lawan gemetar.
Dvarapala dari Jawa Timur memang lebih bervariasi baik ekspresi maupun penampilannya. Arca-arca Dvarapala Candi Panataran di Blitar tampil berbeda. Selain dvarapala jongkok, ada pula yang berdiri. Ada pula dvarapala perempuan, bahkan ada yang sambil menggandeng anaknya. Tentu, meski bayi, penampilannya tetap saja garang.
Penampilan dvarapala yang secara fisik kelihatan sangar tetapi ekspresinya tenang ternyata dilandasi oleh suatu filosofi. Menurut Supratikno, dvarapala juga berperan serupa dengan Dharmapala atau "pelindung dharma" seperti dikenal dalam Buddhisme di Tibet. Sebagaimana Dharmapala, meski Dvarapala berwujud menyeramkan, namun perannya tidak jahat. Pemahaman itu rupa-rupanya mengilhami para seniman Jawa untuk menggambarkan mahluk ini secara tidak terlalu menakutkan. Perhatikan mulutnya, seringkali digambarkan ekspresi mulut yang "tersenyum".
Sebelum dewa-dewa muncul di dalam sistim kepercayaan agama Hindu dan Budha, Dwarapala diangap sebagai makhluk gaib dan dipuja orang di India sebagai pelindung pertanian. Setelah munculnya prinsip dewa-dewa, Yaksha dimasukkan dalam golongan setingkat dibawah dewa. Perkembangan selanjutnya Yaksha menjadi pendamping sang Budha dan menghiasi stupa bersama-sama makhluk lain. Akhirnya Yaksha seakan-akan “melindungi” dan “menjaga” bangunan suci. Tugasnya sebagai pelindung bangunan suci itulah kemudian berkembang menjadi Dwarapala.
Arca Dwarapala Peninggalan Kerajaan Singhasari
Dwarapala selalu diletakkan didepan pintu gerbang atau pintu bangunan suci. Ia memiliki kekuasaan untuk melindunginya dari berbagai kekuatan jahat. Sesuai tugasnya sebagai penjaga, diapun dilengkapi dengan senjata, umumnya gada sebagai simbol penghancur sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Atributnya adalah ular atau naga perlambang kehidupan air yang dapat mendatangkan hujan. Matanya melotot dan mulut menyerengai menimbulkan kesan menakutkan sekaligus wibawa. Hal ini sama seperti Dwarapala Singosari. Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya dan semuanya berhiasan kepala tengkorak.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaran-ajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.
Patung Dwarapala ini terletak sekitar 200 meter sebelah candi Singosari dan merupakan patung tunggal terbesar di Indonesia karena beratnya sekitar 23 ton dan tingginya 3,7 meter (padahal ia dalam posisi jongkok !). Jumlahnya ada 2 buah di sebelah selatan dan utara.
Dahulu Dwarapala sebelah selatan pernah ambles ke bumi hingga separuh perutnya. Tim yang mengerjakan pemugaran candi Borobudur dipercaya untuk memperbaiki letak posisinya. Namun tidak ada peralatan modern yang mampu mengangkatnya kembali, bahkan perlatan berat lainnya juga gagal seolah-olah tenggelam kekuatannya dihisap oleh patung tersebut. Setelah melakukan upacara selamatan dan berkat petunjuk gaib penduduk setempat yang memberitahukan bahwa letak kekuatan Dwarapala adalah pada kedua matanya, maka proses pengangkatan kembali tersebut berhasil setelah juga dengan menutup kedua matanya dari sinar matahari. Sekarang Dwarapala sebelah selatan tersebut berada diatas sebuah lapik semen dan utuh hingga kelihatan mata kakinya

Senin, 29 Juni 2015

Faktor Keragaman di Indonesia

Peta di hadapan kita ini merupakan peta yang menggambarkan salah satu keragaman indonesia khususnya persebaran suku bangsa di Indonesia. Peta tersebut sudah ada di tempat ini sejak pemerintahan Belanda dan lukisan wajah yang ada di sekitar peta tersebut menggambarkan contoh orang indonesia yang mewakili beberapa suku bangsa di Indonesia yang dibuat oleh Mas Pirngadi pada tahun 1930. Indonesia adalah Negara Kesatuan yang memiliki banyak keragaman. Indonesia terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Keragaman bangsa Indonesia tidak bisa dilepasan dari beberapa faktor di bawah ini. 

1. Latar belakang historis;
2. Kondisi geografis; 

- Luas wilayah 
Luas wilayah dan jumlah suku di indonesia memiliki hubungan yang cukup penting, karena pada umumnya semakin luas wilayah suatu negara, semakin besar pula jumlah suku bangsa yang ada di negara tersebut. Indonesia merupakan Negara yang sangat luas. Total luas negara Indonesia adalah 5.193.250 km² yang mencakup daratan dan lautan, terbentang sepanjang 5.110  km dari barat ke timur dan 1.888 km dari utara ke selatan. Hal tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara terluas ke-7 di dunia setelah 6 negara lainnya, yaitu Rusia, Kanada, Amerika Serikat, China, Brasil dan Australia. Jika dibandingkan dengan luas negara-negara yang ada di Asia, Indonesia berada diperingkat ke-2 setelah Cina. Sedangkan jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara terluas di Asia Tenggara. Luas wilayah yang luas tersebut berimplikasi pada jumlah penduduk. Berdasarkan data sensus Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010  sebanyak 237.641.326 jiwa menjadikan negara ini negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia.

- Indonesia Negara Maritim
Indonesia adalah negara maritim. Diakuinya Indonesia sebagai negara maritime dan kepulauan oleh masyarakat internasional melalui United Nations Conference on the Law of the Sea 1982  (UNCLOS) selain merealisasikan Deklarasi Djuanda juga menjadikan Indonesia sebagai negara maritim di Asia. wilayah Indonesia yang meliputi air dan pulau, merupakan satu kesatuan. Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia (± 81.000 km) yang menjadikan Indonesia menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. 

Data Food and Agriculture Organization tahun 2012, Indonesia pada saat ini menempati peringkat ketiga terbesar dunia dalam produksi perikanan di bawah China dan India. Selain itu, perairan Indonesia menyimpan 70% potensi minyak karena terdapat kurang lebih 40 cekungan minyak yang berada di perairan Indonesia. Antara pulau satu dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, tapi hal tersbut bukan menjadi penghalang bagi setiap suku bangsa di Indonesia untuk saling berhubungan dengan suku-suku di pulau lainnya. Sejak zaman dulu, pelayaran dan perdagangan antar pulau telah berkembang dengan menggunakan berbagai macam tipe perahu tradisional, nenek moyang kita menjadi pelaut-pelaut handal yang menjelajahi untuk mengadakan kontak dan interaksi dengan pihak luar. Bahkan, yang lebih mengejutkan lagi, pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia (Nusantara) pada zaman dulu telah sampai ke Mandagaskar. Bukti dari berita itu sendiri adalah berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu tipe jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang Kalimantan untuk berlayar “Fantastis”. Pada zaman bahari telah menjadi Trade Mark bahwa Indonesia merupakan negara maritim. Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai banyak pulau, luasnya laut menjadi modal utama untuk membangun bangsa ini. 

- Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia
Sebagai Negara kepulauan terbesar, artinya Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah pulau paling banyak di antara Negara-negara lain di dunia ini. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari daerah perairan. Menurut Janhidros (2006), luas wilayah daratan Indonesia ± 2.012.402 km2 dan luas perairannya ± 5.877.879 km2. Selain merupakan salah satu Negara terluas di dunia, Indonesia juga dinobatkan sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia dengan total pulau mencapai 17.508 pulau (www.Indonesia.go.id). Dari sekian banyak pulau tersebut, kepulauan Indonesia dikelompokkan ke dalam 5 pulau besar dan 30 kelompok kepulauan kecil, termasuk di dalamnya 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni. 3 pulau besar di Indonesia (bagian dari beberapa Negara tetangga) termasuk ke dalam 6 pulau terbesar di dunia, yaitu: Papua sebagai pulau terbesar kedua di dunia, Papua sebagai pulau terbesar ketiga di dunia, Sumatera sebagai pulau terbesar keenam di dunia, dan Jawa merupakan Negara terbesar ke tigabelas di dunia. Antara pulau satu dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut. Meskipun tersebar di lutan yang luas pulau-pulau itu tidak berdiri sendiri melainkan merupakan satu kesatuan yang utuh yaitu wilayah Indonesia.

Suku Bangsa
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa. Ada Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Badui, Suku Minangkabau, Suku Bugis serta masih banyak suku-suku lainnya. Terbentuknya suku-suku bangsa ini dipengaruhi oleh perbedaan kondisi lingkungan yang mereka tempati. Mereka tersebar di ribuan pulau dan terpisah oleh batas alam, seperti hutan, sungai, laut, dan lembah. Perbedaan kenampakan alam di tiap-tiap daerah menyebabkan munculnya kondisi sosial, adat istiadat, dan budaya penduduk setempat. Akhirnya, terbentuklah kelompok penduduk yang memiliki adat istiadat dan budaya khas.

Suku bangsa di Indonesia tidak mendiami suatu tempat tertentu saja. Ada beberapa anggota suku yang keluar dari daerah asal dan merantau ke daerah lain.Karena tugas pekerjaan, perkawinan, atau karena menuntut ilmu, seseorang bisa menempati daerah lain dengan suku bangsa yang berbeda. Oleh karena itu tidak heran jika di suatu daerah ditempati berbagai macam suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki budaya dan bahasa daerah yang berbeda dengan daerah lain. Dalam pergaulan antara sesama suku pada umumnya  mereka menggunakan bahasa daerah mereka. Dalam banyak hal, kebiasan hidup suatu suku bangsa berbeda dengan suku bangsa lainnya menimbulkan banyak keragaman budaya yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara, mulai pakaian adat, tarian daerah, lagu daerah, bahasa daerah, alat musik , rumah adat dan upacara adat. Semuanya mempunyai keunikan tersendiri. 

Kemajemukan ini terjalin dalam satu ikatan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa yang utuh dan berdaulat. Selain didasari oleh latar belakang sosial budaya, geografis dan sejarah yang sama, kesatuan bangsa Indonesia juga didasari oleh kesatuan pandangan, ideologi dan falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pandangan, ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia secara holistik tercermin dalam sila-sila Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Sedangkan kesatuan pandangan, ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia secara eksplisit tercantum dalam lambang negara yang bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna “beraneka ragam (suku bangsa, agama, bahasa) namun tetap satu (Indonesia).  Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang jarang dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Masing-masing suku bangsa di Indonesia mempunyai adat-istiadat dan kebudayaan khusus tersendiri yang menjadi identitasnya. 

Berdasarkan buku ensiklopedia suku bangsa di Indonesia dan merujuk pada buku pedoman pengolahan SP2010, jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia secara keseluruhan mencapai lebih dari 1.300 suku bangsa. Suku Jawa yang tersebar pada hampir setiap wilayah teritorial Indonesia, populasinya mencapai sebesar 95,2 juta jiwa atau sekitar 40,0 persen dari populasi penduduk Indonesia. Di lain pihak, suku-suku seperti Suku Bantik, Wamesa, Una, Lepo Tau dan Halmahera jumlah populasinya masing-masing kurang dari 10 ribu jiwa. 

Berdasarkan pertimbangan besarnya cakupan jenis suku bangsa di Indonesia dan ukuran populasi setiap suku bangsa yang sangat bervariasi, analisis mengenai komposisi penduduk menurut suku bangsa dalam penyusunan publikasi ini dilakukan melalui pendekatan kelompok suku bangsa. Sesuai dengan metode klasifikasi yang digunakan, suku-suku bangsa yang ada di Indonesia secara keseluruhan dapat dikelompokkan menjadi sebanyak 31 kelompok suku bangsa (table)

Peta Persebaran Bahasa
Berapa jumlah bahsaa di Indonesia hingga sekarang belum ada jawaban pasti. Berdasarkan perkiraan umum yang disampaikan orang awam di seluruh Indonesia terdapat 200-300 bahasa daaerah. Namun berdasarkan penelitian kelompokk SIL (2001) di seluruh Indonesia terdapat 726 bahasa daerah (dengan catatan tidak termasuk 3 bahasa yang telah punah). Di antara semua bahasa-bahasa di Indonesia ada bahasa dengan jumlah pnuturnya jutaan dan ada pula bahasa yang penuturnya hanya beberapa ribu, beberapa ratus, bahkan beberapa puluh saja penuturnya. Hanya ada 13 bahasa terbesar di Indonesia yang jumlah penuturnya lebih dari 1 juta orang. Dengan demikian masih tersisa 713 bahasa yang dituturkan kurang dari 1 juta orang.

Menurut data BPS, secara umum, mayoritas penduduk Indonesia masih tetap menggunakan bahasa daerah untuk komunikasi sehari-hari di rumah tangga. Seperti yang disajikan pada Gambar 1, sebesar 79,5 persen dari seluruh populasi penduduk usia 5 tahun ke atas melakukan komunikasi sehari-hari di rumah tangga dengan menggunakan bahasa daerah, sebesar 19,9 persen menggunakan bahasa Indonesia dan sebesar 0,3 persen lainnya masih menggunakan bahasa asing. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi sehari-hari hanya dilakukan oleh mayoritas penduduk di lima provinsi yaitu DKI Jakarta (90,7 persen), Papua Barat (69,7 persen), Kepulauan Riau (58,7 persen), Sumatera Utara (55,6 persen) dan Kalimantan Timur (53,5 persen). Sementara itu, penduduk di 28 provinsi lainnya mayoritas menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari. Gambaran ini secara signifikan terlihat antara lain di Provinsi Maluku (99,3 persen), Sulawesi Utara (99,1 persen), Jawa Tengah (98,0 persen), Maluku Utara (97,6 persen) dan Sumatera Selatan (97,4 persen).

Peta Kepadatan Penduduk Indonesia
Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2012 memiliki jumlah penduduk sebesar 257.516.167 jiwa, menjadikan negara ini negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Adapun urutan pertama ditempati China (1,35 milyar jiwa), ke-2 India (1,260 milyar jiwa) dan ke-3 Amerika Serikat (314 juta jiwa). Data BPS tahun 2012 juga menyebutkan bahwa angka kepadatan penduduk Indonesia mencapai 135 jiwa/km2 dan pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki penduduk terpadat di Indonesia. Sejak tahun 1930, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Jawa yang luasnya hanya kurang dari 7 persen dari luas Indonesia. Walaupun demikian, sejak tahun 2000, terdapat kecenderungan penduduk luar Jawa yang persentasenya terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Berdasarkan peta kepadatan penduduk tampak bahwa Pulau Jawa jauh lebih padat dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia. Pulau Jawa menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian negara, sehingga banyak penduduk yang tertarik untuk tinggal di wilayah ini. Kepadatan penduduk yang tinggi di Pulau Jawa dapat dijelaskan dengan melihat faktor geografis, khususnya faktor fisik berupa tanah yang lebih subur dan faktor sejarah. Kerajaan-kerajaan banyak berkembang di Pulau Jawa sehingga Pulau Jawa berkembang menjadi pusat aktivitas penduduk saat ini di Indonesia.

Sebagai contoh di Papua, kepadatan penduduk rata-rata hanya mencapai 4 jiwa/kilometer persegi. Sementara pulau Jawa kepadatan penduduknya mencapai 945 jiwa/kilometer persegi. Pulau Jawa dan Madura dengan luas 132 ribu km2 berpenduduk 137 juta jiwa pada tahun 2010. Pulau-pulau lain di Indonesia, dengan luas berkali lipat dari pulau Jawa jika seluruh penduduknya dijumlahkanpun tidak akan dapat mencapai jumlah penduduk yang tinggal di Pulau Jawa.