Sabtu, 08 Agustus 2015

Peninggalan Pangeran Dipinegoro

Di era fase akhir Perang Jawa, pada 1829, seiring dengan ditangkapnya sang pemimpin perang, Pangeran Diponegoro, barang-barang peninggalannya ada yang dirampas Belanda. Namun, ada yang sudah kembali ke Indonesia. Apa saja itu?

Dikutip laman Detiknews, berikut peninggalan-peninggalan itu, Sabtu (7/2/2015):

1. Pelana Kuda

Pelana kuda termasuk barang yang dirampas Belanda usai Pangeran Diponegoro disergap di Pegunungan Gowong oleh AV Michiels dan Pasukan Gerak Cepat ke-11 dari Ternate yang terkenal dengan kemampuan lacaknya, 11 November 1829. Dikisahkan dari katalog pameran 'Aku Diponegoro', sang pangeran terpaksa lompat dari kudanya ke lembah terdekat di bawah gelagah, kuda, tombak dan jubahnya dirampas. 

Diponegoro memang mahir menunggang kuda, bahkan memiliki istal di kediamannya dengan pemelihara kuda dan pemotong rumput tak kurang dari 60 orang. Beberapa tunggangannya seperti Kiai Gentayu, seekor kuda hitam berkaki putih, dianggap pusaka hidup. 

Setelah dirampas tahun 1829, pelana kuda itu dibawa ke Belanda, diserahkan pada Raja Willem I yang berkuasa 1813-1840. Kemudian, tahun 1968 ada kesepakatan budaya Belanda-Indonesia. Berdasarkan kesepakatan ini akhirnya pelana kuda Diponegoro dikembalikan ke Indonesia oleh Ratu Juliana pada 1978.


2. Tombak Pusaka Kiai Rondhan

Adalah lumrah bagi bangsawan keraton saat itu, termasuk Pangeran Diponegoro memiliki senjata pusaka. Nah, tombak pusaka yang dinamakan Kiai Rondhan ini termasuk salah satu pusaka kesayangan Diponegoro karena dianggapnya suci, bisa memberikan perlindungan dan peringatan akan datangnya bahaya.

Tombak ini dirampas dengan tanggal yang sama dengan perampasan pelana kuda, juga keris Kiai Nogosiluman, pada 11 November 1829. 

Ketiganya dipersembahkan sebagai 'trofi perang' pada Raja Belanda, Willem I. Tombak ini akhirnya dikembalikan ke Indonesia oleh Ratu Juliana tahun 1978, bersamaan dengan pelana kuda. Keduanya kini menjadi koleksi Museum Nasional atau yang akrab juga disebut Museum Gajah.


3. Babad Diponegoro

Babad Diponegoro merupakan catatan otobiografi Pangeran Diponegoro yang dibuat saat sang pangeran diasingkan pasca ditangkap 11 November 1829. Menurut sejarawan yang 40 tahun meneliti Babad Diponegoro, Peter Brian Ramsey Carey, babad ini ditulis selama masa pengasingan Diponegoro di Manado pada 1831-1832. Namun, Diponegoro tak menulisnya sendiri, melainkan mendiktekannya kepada seorang juru tulis.

Isi babad itu semacam puisi atau macapatan yang tebalnya 1.170 halaman folio, berisi sejarah nabi, sejarah pulau Jawa sejak Majapahit hingga Perjanjian Giyanti (Mataram). Diponegoro, menurut Carey, mengibaratkan otobiografinya sebagai bahtera Nuh, yang menampung budaya Jawa agar bisa diwariskan pada generasi selanjutnya. Tujuannya, supaya tidak melupakan jati diri.

Naskah Babad ini dicari hingga ke Belanda hingga akhirnya berhasil menjadi Memory of The World UNESCO tahun 2012 dan disahkan tahun 2013. Namun, naskah babad itu bukan naskah asli.

Menurut Peter, naskah babonnya sudah hilang. Yang ada adalah salinan yang otentik dengan aslinya, sebanyak 5 kopi, 4 dalam huruf Arab Pegon atau Arab Gundul dan 1 lagi aksara Jawa. Naskah dalam aksara Arab Pegon mirip dengan yang asli, karena naskah babonnya ditulis dalam huruf Pegon.  

Kini, kopian 5 naskah yang otentik itu sudah disimpan di Perpustakaan Nasional.


4. Tongkat Kiai Cokro

Tongkat Pangeran Diponegoro yang dinamakan Kiai Cokro, akhirnya kembali ke Indonesia pada Kamis (5/2/2015) setelah 183 tahun berada dalam pemeliharaan keluarga Jean Chretien (JC) Baud dan keturunannya. 

Tongkat itu sejatinya milik Sultan Demak, dan Pangeran Diponegoro menerima tongkat itu dari orang biasa di Jawa, pada 10 tahun sebelum terjadinya Perang Jawa 1925, yakni 1915. Tongkat itu jatuh ke tangan cucu Nyi Ageng Serang, komandan perempuan pasukan Diponegoro, Pangeran Notoprojo atau dikenal sebagai Raden Mas Papak (julukan karena jari-jari tengah tangan kirinya sama rata), pada 11 Agustus 1829.

Setelah berada di tangan Pangeran Notoprojo, kemudian dia memberikannya pada Gubernur Jenderal Belanda di Jawa yang berkuasa pada 1833-1836, JC Baud. Baud menerima tongkat itu saat sedang melakukan inspeksi pertama ke Pulau Jawa, Juli 1834. 

Pangeran Notoprojo adalah sekutu politik yang penting bagi Belanda setelah menyerahkan diri pada 24 Juni 1827. Oleh karena itu, cukup penting bahwa ia berusaha untuk mengambil hati penguasa kolonial yang baru di Jawa dengan mempersembahkan artefak yang secara spiritual bermakna sangat penting.

Selama 183 tahun keturunan Baud memelihara secara turun-temurun tongkat itu hingga datanglah Harm Stevens dari Rijkmuseum yang meneliti tentang tongkat Diponegoro pada Agustus 2014. Stevens menyarankan kakak beradik keturunan Baud, Erica Lucia Baud dan Michiel Baud, menyerahkan benda pusaka itu pada Indonesia hingga tibalah tongkat itu pada 5 Februari 2015 lalu.

0 komentar:

Posting Komentar