Senin, 25 Mei 2015

Bhairawa

Menurut maknanya “bhairawa” berarti menakutkan atau mengerikan. Bhairawa merupakan salah satu perwujudan Dewa Siwa dalam aspek peleburan dengan perwujudan yang sangat menyeramkan. Dalam aliran Siwa dikenal perwujudan-perwujudan dewa Siwa sebagai Mahadewa, Mahaguru, Mahakala, dan Bhairawa. Siwa sebagai Bhairawa adalah Siwa dalam wujud yang menakutkan.

Bhairawa sering dilukiskan dengan perwujudan fisik dengan atribut-atribut yang menyeramkan seperti anting-anting, kalung, gelang tangan, gelang kaki, serta tali kasta (upawita) berpa ular. Selain itu ada juga atribut lainnya, seperti sabuk dari untaian tengkorak manusia, memegang pisau, mangkuk dari tengkorak dan menunggangi seekor serigala.

Arca Bhairawa tangannya ada yang dua dan ada yang empat. Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada empat, maka biasanya dua tangan lainnya memegang trisula dan gendang kecil yang bisa dikaitkan di pinggang. 

Di Indonesia temuan arca Bhairawa boleh dikatakan langka. Beberapa di anatara penemuan arca Bhairawa terdapat dua arca yang sangat terkenal yaitu Arca yang ditemukan di Padang Roco (Sumatera Barat) yang kini ada di Museum Nasional dan dari Singasari (Jawa Timur) yang kini ada di Museum yang ada di Leiden, Belanda. Meskipun arca Bhairawa dari kerajaan Singasari aslinya ada di Belanda, kita dapat mengamati bentuk arca tersebut dari replikanya yang ada di Museum Nasional. Untuk itu dalam kesempatan ini saya mencoba untuk membandingkan kedua arca tersebut.

Arca Bhairawa Budha

Gambar: Arca Bhairawa Budha di Museum Nasional

Tempat penemuan : Padang Roco, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat.
Tinggi : ± 4,41 m
Berat : ± 4 ton
Bahan : Batu andesit
Abad : 13-14 M

Arca raksasa ini awalnya terletak di tengah persawahan di kompleks percandian Padang Roco, Dharmasraya, Sumatera Barat, menghadap ke arah timur dan di bawahnya mengalir sungai Batanghari. Dulu, di tempat strategis itu Bhairawa dengan gagah berdiri memandang ke arah Sungai Batanghari, sehingga siapa pun yang melewati sungai tersebut akan mudah melihatnya. Dikatakan strategis karena Padang Roco merupakan gerbang masuk melalui Batanghari menuju pusat pemerintahan Kerajaan Malayu di Sumatera Barat, dan arca raksasa ini berfungsi sebagai markah tanah.

Dalam arca ini dapat kita amati Bhairawa digambarkan bersifat ugra (ganas), kejam, berwujud mengerikan, dan bertubuh raksasa. Untuk lebih jelasnya kita bisa lihat dari masing-masing bagian tubuh arca ini.

Kepala
Berwajah menyeramkan, mata melotot, memiliki taring, telinganya memakai anting. Arca ini disebut Bhairawa Budha, menunjukkan adanya sinkretisme antara Hindu (Siwa) dan Agama Budha (Mahayana). Hal ini dapat terlihat dari rambutnya yang disanggul besar ke atas menyerupai bola, tetapi di tengahnya terdapat arca Buddha Amitabha, laksana atau atribut seperti ini merupakan atribut bodhisattwa Awalokiteswara. Arca dalam wujud seperti ini menggambarkan aspek sinkretisme Tantrayana yang memadukan unsur Hindu dan Budha. 

Badan
Di bagian pinggang arca ini terlihat sedang menggunakan sabuk yang bermotifkan Kala (symbol Hindu), mengenakan perhiasan yang dapat dilihat dari kalung/perhiasan dadanya. Sementara kelat bahu, gelang tangan dan gelang kakinya berupa belitan ular. Lonceng/genta menggantung di sabuk symbol dari tantrayana.

Tangan
Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual Matsya atau Mamsa. Membawa mangkuk yang terbuat dari tengkorak manusia. Konon, mangkuk yang dipegang Arca Bhairawa Budha berisi darah manusia untuk upacara meminum darah.

Kaki
Bhairawa ini digambarkan tengah menginjak orang cebol (laki-laki) yang tengah terlentang berdiri di atas lapik delapan tengkorak berjajar yang menggambarkan lapangan mayat. Manusia kecil dan tengkorak yang diinjaknya adalah simbol-simbol pengorbanan dalam ritual tersebut. 
Arca Bhairawa Budha tidak dalam kondisi utuh lagi, terutama sandarannya. Ada cerita unik dalam proses penemuan arca ini. Arca ditemukandi area persawahan dekat Sungai Langsat selama dalam ekspedisi antara tahun 1877 dan 1879. Ketika ditemukan dalam keadaan rebah dan terpendam dalam tanah lapik arca tertanam vertical menampakkan salah satu sisi yang berlubang , hanya sebagian saja dari arca ini yang menyeruak dari dalam tanah. Masyarakat setempat tidak menyadari bahwa itu merupakan bagian dari arca sehingga memanfaatkannya sebagai batu asah dan untuk menumbuk padi. Hal ini dapat dilihat pada kaki sebelah kirinya yang halus dan sisi dasar sebelah kiri arca yang berlubang

Salah satu kakinya nya sempat dijadikan alat pengasah pisau atau parang oleh petani setempat. Pada tahun 1935 arca ini dipindahkan ke daerah Ford de Kosck (Bukit Tinggi), kemudian pada tahun 1937 di bawa ke Museum Bataviasasch Genootschap. Arkeolog J.L. Moens mendapat tugas untuk mendirikan arca tersebut di Rotunda tempat koleksi arca dipamerkan hingga kini dibantu oleh Naiman (saah seorang pegawai Batavaasch Genootschap).

Katika akan diselenggarakanpameran Versunkene Konigreiche Indonesiens di Jerman Barat pada tahun 1995 lalu, pihak peyelenggara Jerman meminta agar arca Bhairawa turut dibawa ke Jerman. Namumn dengan berbagai cara arca tersebut tidak bias dipindahkan karena ukurannya yang sangat besar, dan pasak penyangga arca yang ditanam terlalu dalam. Hingga akhirya dibuat replikanya untuk dipamerkan di sana. Replika arca Bhaiawa tersebut kini ditempatkan di Museum Adityawarman Provinsi Sumatera Barat.

Arca Bhairawa-Budha diduga melukiskan Raja Adityawarman dari Sumatra karena dari beberap inskripsi disebutkan bahwa Adityawarman menunjukkan cirri cirri sebagai pengikut Tantrayana. Sekte ini berkembang di Indonesia tampak pada kira-kira abad 9 dan semakin berkembang pada jaman kerajaan Singasari. Tantrayan kemudian muncul di Sumatera pada zaman Adityawarman. Pengikut sekte ini berusaha mencapai keleasan dengan cara yang lebih cepat daripada car yang biasa. Caranya yaitu dengan mempersatukan dirinya scara mistik dengan dewa yang tertinggi. Untuk melakukan tujuanitu mereka melakukan upacara yang sangat menyeramkan seperti minum darah manusia, tertawa-tawa dan menari-nari dengan diiringi oleh bunyia-bunyian. Pembahasan dengan tentang Tantrayana akan dibicarakan dalam kesempatan lain. 

Bhairawa Cakra-cakra
Gambar: Arca Bhairawa Cakra cakra (replika)di Museum Nasional

Wujud Bhairawa asal singasari ini terlihat sangat menyeramkan, bertarig, telanjang, berdiri setengah duduk, bersandar pada serigala yang menjadi wahananya. Unsur demonisnya juga tampak pada perhiasan yang dikenakannya dan lapik tempat berdirinya yang meonjolkakn bentuk tengkorak. Yang menarik lagi adalah kalungnya yang berupa untaian tengkorak pada jajaran antai yan lebar. Ia memegang pisau belati dan trisula di kedua tangan kanannya serta tegkorak dan damaru (gendang) di kedua  tangan kirinya.

Pada sandaran sebelalah kanan aas terdapat huruf nagari: cakra-cakra yang mungkin merupakan nama sebutan dewa ini. Pendapat awal mengatakan bahwa Bhairawa ini ditemukan bersama-sama dengan arca-arca dari bilik-bilik candi Singasari (candi A) tetapi tampaknya Bhairawa ini tidak berasal dari candi Singasari karena ukuran yoninya tidak sesuai. Mungkin dulu tergeletak tidak jauh berbeda dari candi, sehingga dikira berasal dari candi tersebut. 

Arca-arca yang berasal dari candi utama (Durga, Ganesha, Nandiswara, dan Mahakala) menunjukkan berapa kekhususan seperti baju atas (rompi) dan rumput ternyata yang keluar dari umbi. Semua arca tersebut megenakan baju atas atau rompi dari kain berpola hias (mungkin batuk atau tenun). Kecuali satu arca yang masih insitu, yaitu Siwa Mahaguru. Arca ini tidak jelas mengenakan rompi atau tidak karena kecauli arcanya sudah pecah dan disambung-sambung kembali, juga karena dadanya tertutup janggutnya yang lebat. Anehnya rompi ini tidak dipakai oleh arca Singasari yang berasal dari candi-candi lain (Candi B-G). juga tidak dipakai oleh arca-arca dari candi lain yang masih dalam Singasari seperti candi Kidal, Jago, dan Jawi.

0 komentar:

Posting Komentar