Pembuatan seni patung atau arca telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman prasejarah. Arca dewa-dewi dalam agama Hindu Budha merupakan arca-arca hasil adaptasi yang telah disesuaikan dengan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Arca pada zaman prasejarah biasanya menggambarkan figure orang yang telah meninggal dunia yang digambarkan statis, kaku, dan hasil ukir yang masih sederhana. Sementara arca-arca yang beragama Hindu terlihat lebih dinamis lengkap dengan atribut yang sangat berkaitan erat dengan mitologinya. Pengaruh kebudayaan Hindu Budha telah memberi warna baru berupa polesan terhadap budaya yang telah ada sebelumnya. Puncak perkembangan seni arca di Indonesia terjadi ketika zaman Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia khususnya di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tradisi pembuatan arca pada masa prasejarah dapat ditelusuri dari bukti-bukti sejarah sejak zaman neolitikum atau zaman batu baru. Pada masa ini masyarakat sudah hidup menetap, bisa menghasilkan makanan sendiri (food producing), dan telah mengenal pembagian pekerjaan. Manusia pada zaman ini sudah hidup berkelompok layaknya masyarakat dan menggambarkan ciri kehidupan yang lebih kompleks dibandingkan zaman sebelumnya. Kegiatan dapat terorganisasi dengan baik karena pada waktu itu telah dikenal adanya kepala suku. Tokoh ini memiliki peran yang sangat penting untuk mengatur jalannya kehidupan kemasyarakatan. Ia sangat disegani, memiliki wibawa, dan memiliki tugas untuk mensejahterakan rakyatnya, bahkan ia dianggap memiliki kekuatan lebih (supranatural) sehingga ketika masih hidup pun masyarakat begitu menghormatinya.
Ada kebiasaan dari beberapa suku bahwa pada waktu tertentu masyarakat prasejarah mengadakan suatu penghormatan kepada kepala suku dengan mendirikan tonggak/tugu batu. Hal ini dilakukan sebaga bentuk terima kasih kepada kepala suku atas jasanya. Tugu batu inilah yang sekarang kita kenal dengan sebutan “menhir”.
Penghormatan dan pemujaan terhadap roh took atau leluhur ini merupakan salah satu bentuk kepercayaan tertua di masyarakat awal Indonesia. Penghormatan kepada kepala suku bukan hanya dilakukan ketika ia masih hidup, tetapi juga setelah meninggal dunia. Mereka pecaya akan adanya kehidupan setelah mati. Ketika kepala suku yang sangat dihormati tersebut meninggal dunia, meskipun jasadnya sudah tidak ada, rohnya dipercaya bisa memberikan perlindungan dan memberikan kesejahteraan bagi anggota keluarga dan masyarakat yang ditinggakannya. Bahkan ia memiliki kedudukan yang sama layaknya ia masih hidup. Menhir yang dibuat ketika ia masih hidup menjadi lambang dirinya dan dipuja oleh rakyatnya. Pada zaman megalitikum, menhir bisa berupa tugu batu yang digambarkan dengan figur manusia/makhluk lain (arca nenek moyang). Benda ini kemudian dijadikan sarana penghubung antara orang yang masih hidup dengan roh nenek moyang.
Tradisi pembuatan arca pada masa prasejarah dapat ditelusuri dari bukti-bukti sejarah sejak zaman neolitikum atau zaman batu baru. Pada masa ini masyarakat sudah hidup menetap, bisa menghasilkan makanan sendiri (food producing), dan telah mengenal pembagian pekerjaan. Manusia pada zaman ini sudah hidup berkelompok layaknya masyarakat dan menggambarkan ciri kehidupan yang lebih kompleks dibandingkan zaman sebelumnya. Kegiatan dapat terorganisasi dengan baik karena pada waktu itu telah dikenal adanya kepala suku. Tokoh ini memiliki peran yang sangat penting untuk mengatur jalannya kehidupan kemasyarakatan. Ia sangat disegani, memiliki wibawa, dan memiliki tugas untuk mensejahterakan rakyatnya, bahkan ia dianggap memiliki kekuatan lebih (supranatural) sehingga ketika masih hidup pun masyarakat begitu menghormatinya.
Ada kebiasaan dari beberapa suku bahwa pada waktu tertentu masyarakat prasejarah mengadakan suatu penghormatan kepada kepala suku dengan mendirikan tonggak/tugu batu. Hal ini dilakukan sebaga bentuk terima kasih kepada kepala suku atas jasanya. Tugu batu inilah yang sekarang kita kenal dengan sebutan “menhir”.
Penghormatan dan pemujaan terhadap roh took atau leluhur ini merupakan salah satu bentuk kepercayaan tertua di masyarakat awal Indonesia. Penghormatan kepada kepala suku bukan hanya dilakukan ketika ia masih hidup, tetapi juga setelah meninggal dunia. Mereka pecaya akan adanya kehidupan setelah mati. Ketika kepala suku yang sangat dihormati tersebut meninggal dunia, meskipun jasadnya sudah tidak ada, rohnya dipercaya bisa memberikan perlindungan dan memberikan kesejahteraan bagi anggota keluarga dan masyarakat yang ditinggakannya. Bahkan ia memiliki kedudukan yang sama layaknya ia masih hidup. Menhir yang dibuat ketika ia masih hidup menjadi lambang dirinya dan dipuja oleh rakyatnya. Pada zaman megalitikum, menhir bisa berupa tugu batu yang digambarkan dengan figur manusia/makhluk lain (arca nenek moyang). Benda ini kemudian dijadikan sarana penghubung antara orang yang masih hidup dengan roh nenek moyang.
0 komentar:
Posting Komentar