Rabu, 01 Maret 2017

Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit di Museum Nasional


Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.

Prasasti ini merupakan prasasti tertua dari masa kerajaan Sriwijaya, beraksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Terbuat dari batu kecil berukuran 45 × 80 cm, berangka tahun 604 S (682 M), berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Berikut adalah bunyi dari prasasti Kedukan Bukit;
1.    Swasti, sri. Sakawarsatita 604 ekadasi su-
2.    klapaksa wulan Waisakha Dapunta Hyang naik di
3.    samwau mangalap siddhayatra. Di saptami suklapaksa
4.    wulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Minanga
5.    tamwan mamawa yang wala dua laksa dangan kosa
6.    dua ratus cara di samwau, dangan jalan sariwu
7.    telu ratus sapulu dua wanyaknya, datang di Mukha Upang
8.    sukhacitta. Di pancami suklapaksa wulan Asada
9.    laghu mudita datang marwuat wanua ….
10.    Sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa

Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti kurang lebih sebagai berikut:
1.    Bahagia, sukses. Tahun Saka berlalu 604 hari kesebelas
2.    paroterang bulan Waisaka Dapunta Hyang naik di
3.    perahu melakukan perjalanan. Di hari ketujuh paro terang
4.    bulan Jesta Dapunta Hyang berlepas dari Minanga
5.    tamwan membawa balatentara dua laksa dengan perbekalan
6.    dua ratus koli di perahu, dengan berjalan seribu
7.    tiga ratus dua belas banyaknya, datang di Ma…
8.    sukacita. Di hari kelima paroterang bulan Asada
9.    lega gembira datang membuat kota …
10.  Perjalanan jaya Sriwijaya berlangsung sempurna

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia terjemahan dijelaskan seperti di bawah ini
Dapunta Hyang manalap siddhayatra dengan perahu pada tanggal 11 paro terang (suklapaksa), bulan waisaka, tahun 604 S (23 April 682 M); Pada tanggal 7 paro terang bulan Jyestha (19 Mei 682 M) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa tentara dua laksa dan 200 peti (kosa) perbekalan dengan perahu, serta 1312 orang tentara berjalan di darat, datang di suatu tempat yang bernama ma.... ; pada tanggal 5 paro terang, bulan Asadha (16 Juni 682) dengan sukacita mereka datang di suatu tempat dan membuat kota (wanua) dan kerajaan Sriwijaya memperoleh kemenangan, perjalanannya berhasil dan seluruh negeri memperoleh kemakmuran.

Prasasti Kedukan Bukit (682 M) hanya menyebutkan gelar Dapunta Hyang tanpa disertai nama raja. Untuk mengetahui siapakah nama raja yang berkuasa, kiranya bisa dibandingkan dengan prasasti lainnya yang memiliki angka tahun berdekatan. Dalam prasasti Talang Tuwo yang dipahat tahun 684 M (2 tahun setelah prasasti Kedukan Bukit) disebutkan bahwa raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan pembuatan Taman Sriksetra tanggal 2 Caitra 606 (23 Maret 684). Jika antara tahun 682 dan 684 tidak ada pergantian raja, maka kiranya dialah raja Sriwijaya yang dimaksudkan dalam prasasti Kedukan Bukit.

Sampai sekarang, interpretasi prasasti Kedukan Bukit masih menjadi bahan perdebatan, hal ini terbukti dari simpang siurnya pendapat para ahli sejarah. Tulisan pada prasasti ini juga sudah tidak utuh lagi, sebagian sudah aus sehingga sulit diidentifikasi.

Perbedaan pendapat berkenaan dengan interpretasi prasasti Kedukan Bukit seperti yang  Slamet Mulyana kemukakan dalam bukunya “Sriwijaya” antara lain apa maksud prasasti Kedukan Bukit? Apa yang dimaksud Siddhayatra pada prasasti Kedukan Bukit? Dimana letaknya Minaga Tamwa(r)?
  1. Menurut N. J. Krom dalam bukunya Hindoe Javaansche Geschiedenis prasasti menulis: “Tidak semuanya jelas, tetapi ziarah untuk mencari kekuatan gaib itu menyolok sekali. Peristiwa itu cocok dengan pendapat umum di tempat-tempat lain. Mungkinlah hal itu berhubungan dengan peristiwa mendirikan kerajaan Sriwijaya. Suatu kenyataan ialah bahwa peristiwa ini memperingati suatu kejadian yang penting sekali untuk Negara.”
  2. Pendapat Krom ini didukung oleh Muh. Yamin seperti dalam Laporan Konres M.I.P.I. hlm 193 ia menulis “baru pada tahun 683 dipahat permakluman proklamasi pembentukan kedatuan Sriwijaya dengan resmi di atas batu bertulis Kedukan Bukit Palembang.
  3. Pendapat Krom bahwa prasasti Kedukan Bukit dimaksudkan untuk memperingati pembentukan Sriwijaya ditentang oleh J.L. Moens. Ia berpendapat prasasti Kedukan Bukit ini dimaksudkan untuk memperingati kemenangan Sriwijaya terhadap Malayu. Karena ibukota Malayu itu di Palembang,  maka kemenangan Sriwijaya atas Malayu dapat juga dikatakan sebagai penguasaan daerah Palembang oleh Sriwijaya. Setelah menguasai Palembang, Sriwijaya yang semula berpusat di pantai timur Semenanjung pindah ke pantai timur Sumatra,  tidak di Palembang tetapi di Muara Takus. Pemindahan pusat pemerintahan ini terjadi pada sekitar tahun 683 dan 685 M.
  4. Coedes berpendapat bahwa kata siddhayatra yang terdapat pada prasasti Kedukan bukit berarti ziarah untuk mencari kekuatan gaib.
  5. De Casparis menjelaskan bahwa yang ditekankan tentang siddhayatra adalah “perpindahan tempat” dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Hal ini berdasarkan hasil interpretasinya dengan cara membandingkan kata siddhayatra di Kedukan Bukit dengan prasasti dari Jawa Kuno tahun 856
  6. Slamet Mulyana dalam buku “Sriwijaya” memberikan penjelasan bahwa kata sidhhayatra mempunyai arti perjalanan. Kata siddhayatra pada baris 3 mempunyai hubungan dengan baris 10 dalam bentuk kata majemuk jayasiddhayatra yang artinya perjalanan jaya.
Berdasarkan pendapat Slamet Mulyana tersebut, maka prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti siddhayatra, bahkan prasasti jayasiddhayatra yakni prasasti yang mencatat perjalanan jaya. Perjalanan jaya adalah kejadian besar dalam kehidupan kenegaraan, karena mempunyai hubungan dengan kemenangan yang diperoleh dalam peperangan. Kata jayasiddhayatra digunakan sebagai penutup yang termuat pada baris 10. Hal ini menandakan perkara yang penting bahwa prasasti kedukan Bukit merupakan prasasti perjalanan, terbukti dalam prasasti pendek tersebut tercatatat beberapa perjalanan yakni:
(a) Tanggal 11 bulan terang, Waisaka Dapunta Hyang naik perahu
(b) Tanggal 7 bulan terang, Jyestha Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa(r) dengan tentara
(c) Tanggal 5 bulan terang bulan, Asada Dapunta Hyang memuat wanua
(d) … wihara ini di wanua ini. (tambahan pada pecahan fragmen)
Pada berita (a) menyatakan bahwa Dapunta Hyang mengadakan perjalanan dengan naik perahu tanpa diikuti tentara. Jarak waktu (a) dan (b) adalah 26 hari (perjalanan langsung menuju Minanga Tamwa(r)?).

Berita (b) menyatakan bahwa Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa(r) dengan membawa 20 ribu tentara. Dengan kata lain Dapunta Hyang datang dari Minanga Tamwa(r) untuk menggabungkan diri pada tentara Sriwijaya yang berjumlah dua puluh ribu. Dari Minanga Tamwa(r) Dapunta Hyang menuju suatu tempat yang tidak terbaca seluruhnya. Coedes mengira Matajap, sedangkan Krom menduga Malayu 

Pada tahun 1938, Krom menghubungkan prasasti Kedukan Bukit dengan pernyataan I-tsing bahwa sekembali nya ia dari Nalanda, Malayu sekarang telah menjadi Sriwijaya. Jadi menurut Krom kerajaan Malayu ini ditundukkan oleh Sriwijaya pada tahun 682 M.  Untuk memperkuat pendapatnya mengajukan bacaan tiga huruf yang kabur sekali pada akhir baris ke-7,  sehingga berbunyi malayu.  Bacaan malayu oleh Krom dibantah oleh J.G.  de Casparis yang tidak melihat kemungkinan adanya huruf la di antara huruf yang sudah usang tadi.  Huruf yang dibaca la oleh Krom kemungkinan besar ialah huruf ka.

(Bersambung)

1 komentar: