Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur berbentuk tugu segi enam tidak beraturan yang mengecil ke bagiaan atas, terbuat dari batu andesit dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar bagian atas 19 cm, dan 32 cm di bagian bawah.

Berapa Jumlah Pulau di Indonesia

Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai ribuan pulau, menguntai dari Sabang sampai Merauke. Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 04 Maret 2017

Mata uang Kampua dari Buton, Satu-satunya Mata Uang di Nusantara yang Terbuat dari Kain.

Untuk dapat melakukan perdagangan di wilayah Buton para pedagang asing harus menukarkan mata uangnya dengan uang Kampua. Penukaran ini dapat dilakukan di Money Changers  di sekitar pelabuhan atau di lokasi-lokasi perdagangan.

Menurut kepercayaan warga Buton: “ Barang siapa yang membawa uang Kampua keluar dari wilayah Buton maka ia akan tenggelam bersama dengan kapalnya”.

Proses pembuatan dan peredaran Kampua diserahkan sepenuhnya kepada Menteri Besar yang disebut “Bonto Ogena”. Untuk menghindari pemalsuan, maka motif dan corak Kampua selalu dirubah setiap tahun.

UKURAN KAMPUA
Tangan Bonto Ogena sebagai alat ukur Kampua :
Lebar     = 4 jari (8 cm)
Panjang = sepanjang telapak tangan, mulai  dari pergelangan tangan sampai ujung jari (18 cm)

Ukuran rata-rata uang Kampua yang ada di kolektor :
Lebar 8 cm; panjang 15 cm.

STANDARD NILAI UANG KAMPUA
Standard awal:
1 lembar Kampua = 1 butir telur ayam

Dalam perkembangannya standard diganti dengan nilai “Boka”
1 lembar Kampua = 30 Boka
Boka adalah suatu standar nilai yang umum digunakan oleh masyarakat Buton, biasanya digunakan saat upacara adat perkawinan atau kematian.

Nilai Boka:
Tahun 1838 :
    1 Boka = 1,2 Rupiah (120 Sen) uang     Belanda
Tahun 2014 :
    1 Boka = 24.000-25.000 Rupiah

Dari catatan VOC, sampai dengan tahun 1612 tidak ada mata uang lain yang digunakan di Buton selain Kampua.

Perjanjian antara VOC, Apollonius Schot  dengan Sultan Dayanu tanggal 17 Desember 1612 :
 “VOC akan mengirim mata uang cash (pecahan kecil) dan mata uang lainnya, untuk diedarkan oleh Sultan bersama-sama dengan uang Kampua di wilayah kerajaan Buton”.

Nilai tukar Kampua  terhadap uang Belanda :
60 lembar  = 2 Stuiver
30 lembar  = 1 Suiver / 4 duit
7.5 lembar = 1 Duit

Dalam perkembangannya turun menjadi:
40 lembar = 4 Duit / 5 Sen
10 lembar = 1 Duit

Sejak tahun 1851 fungsi Kampua sebagai alat tukar mulai tergantikan dengan  mata uang Belanda.
Tahun 1855 fungsi Kampua tergantikan secara total oleh koin-koin Belanda.

Rabu, 01 Maret 2017

Berapa Jumlah Pulau di Indonesia?


Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai ribuan pulau, menguntai dari Sabang sampai Merauke. Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste.

Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) telah diakui masyarakat internasional dengan ditandatanganinya konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982. Konvensi ini di tandatangani oleh 117 negara dan berlaku efektif sejak tanggal 16 November 1994. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 1985.

Berapa jumlah pulau di Indonesia? Sebuah pertanyaan agak membingungkan untuk menentukan kepastian jumlah pulau yang dimiliki Indonesia. Data jumlah pulau di Indonesia yang sering kita dengar selama ini ada yang berjumlah 17.508 pulau, atau 17.504 pulau bahkan ada pula 17.480 pulau. Namun tidak sedikit yang menyebutkan jumlah pulau di Indonesia dengan kalimat “lebih dari 17.000”

Ternyata data jumlah pulau di Indonesia dari tahun ke tahun sering mengalami perubahan. Untuk menjawab kebingungan akan jumlah pulau di Indonesia ini, di bawah ini disajikan perubahan data jumlah pulau yang dimiliki Indonesia yang saya kutip dari situs Kementerian Kelautan dan Perikanan.

  • Tahun 1972, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mempublikasikan bahwa hanya 6.127 pulau di Indonesia yang telah mempunyai nama. Publikasi ini tanpa menyebutkan jumlah pulau secara keseluruhan.
  • Tahun 1987, Pusat Survey dan Pemetaan ABRI (Passurta) menyatakan jumlah pulau di Indonesia yang bernama adalah 5.707, termasuk 337 pulau-pulau yang bernama di sungai.
  • Tahun 1987, pemerintah mengklaim Indonesia terdiri atas 13.667 pulau, yang mana pada saat itu Bapak Jacob Rais bersama Tim di undang ke PBB untuk menghadiri sidang UNGEGN dan menyebutkan jumlah pulau di Indonesia sebanyak 13.667, namun PBB tidak dapat  menerima laporan tersebut karena  sesuai dengan resolusi UNCSGN No. 16 tahun 1977 jo. Resolusi No. 9 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa tiap perubahan nama resmi dilakukan oleh "otoritas" sedangkan pada waktu tersebut posisi Bapak Jacob Rais pada saat itu adalah sebagai tenaga ahli
  • Tahun 1992, Badan Kordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menerbitkan Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia. Bakosurtanal mencatat hanya 6.489 pulau saja yang telah memiliki nama.Pada tahun 1997 Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL mengeluarkan buku Daftar nama pulau-pulau Kepulauan Indonesia berjumlah 17.508, dalam buku tersebut mengutarakan bahwa dari hasil-hasil penelitian administrasi, serta inventarisasi pulau hingga tahun 1986 oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL tercatat untuk Pulau bernama berjumlah 5.707, Pulau tak bernama berjumlah 11.801, sehingga total jumlah pulau Indonesia sebanyak 17.508
  • Tahun 2002, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), berdasarkan citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah 18.306 buah.
  • Tahun 2003, Kementerian Riset dan Teknologi berdasarkan citra satelit menyatakan bahwa Indonesia memiliki 18.110 pulau.
  • Tahun 2003, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, merilis data yang menyebutkan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504 pulau yang semula berjumlah 17.508. Dan 7.870 diantaranya telah memiliki nama sedangkan sisanya, sebanyak 9.634 pulau belum memiliki nama. Adapun penyebab pengurangan dari 17.508 menjadi 17.504 adalah adanya peralihan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang berada di Propinsi Kalimantan Timur beralih ke Negara Malasya, untuk Pulau Kambing dan Pulau Yako yang berada ni Propinsi NTT beralih ke Negara Timor Leste.
  • Tahun 2005 - 2008.  Sesuai Resolusi UNCSGN No. 4 tahun 1967 Rekomendasi B, maka telah dilakukan kegiatan pengumpulan nama nama unsur geografi khususnya pulau sejak tahun 2005 hingga 2008 yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
  • Pada tahun 2006, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Timnas PNRB) dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Pembentukan Timnas ini didasari pada resolusi PBB No. 4/1967 & resolusi 15/1987 yg mengharuskan tiap negara membentuk otoritas nasional pembakuan nama rupabumi (national name authority). Timnas ini diketuai oleh Menteri Dalam Negeri, dengan anggota Menteri Pertahanan,  Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) sbg Sekretaris.
  • Pada Tahun 2007 Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Perpres 112 tahun 2006) pada sidang PBB,   The 9th United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN) Bulan Agustus 2007 di New York, delegasi Indonesia telah mendepositkan/melaporkan sejumlah 4.981 pulau.
  • Agustus 2009, Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui menterinya, Freddy Numberi, mengatakan bahwa pulau di Indonesia berjumlah 17.480 pulau. Perubahan jumlah pulau dari 17.504 menjadi 17.480 disebabkan ada 24 pulau-pulau kecil yang ada mengalami abrasi dan tenggelam (koran Kompas. guntingan koran)
  • Agustus 2012, dalam sidang UNGEGN sesi ke-27 dan Konferensi UNCSGN ke-10 di New York-USA, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang ditatapkan melalui Peraturan Presiden No 112, tahun 2006 (Bakosurtanal bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri) telah mendaftarkan pulau-pulau Indonesia yang telah bernama ke PPB sejumlah 13.466 dalam bentuk gasetir No. 4 Tahun 1967 Rekomendasi C).
Berdasarkan hasil penamaan dan pembakuan nama pulau telah dibakukan 13.466 pulau sedangkan data lama adalah 17.504 pulau sehingga terdapat selisih sebesar 4.038 pulau setelah diverifikasi.

Pemerintah Indonesia terus melakukan penertiban pulau yang ada di seluruh daerah dan membakukan jumlahnya secara detil. Di samping memverifikasi 13.466 pulau yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ada tambahan dari jumlah pulau yang diverifikasi pada 2015 sebanyak 537 pulau dan 749 pulau pada 2016. Sampai dengan tahun 2016, pulau yang berhasil ditertibkan dan diverifikasi jumlahnya mencapai 14.572 pulau (13.466+537+749 pulau). 

Pada bulan Agustus 2017 ini Pemerintah Indonesia akan mendepositkannya jumlah pulau yang telah diverifikasi ke PBB pada sidang UN GEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Names) yang berlangsung di New York, Amerika Serikat. Bila disepakati dan ditetapkan berarti setelah sidang tersebut maka jumlah pulau di Indonesia yang tercatat di PBB sebanyak 14.572 pulau.

Untuk diketahui, sidang UN GEGN adalah sidang tahunan yang dilaksanakan salah satu kelompok pakar dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Ecosoc) yang membahas tentang standardisasi nama-nama geografis baik di tingkat nasional maupun internasional. Dalam periode lima tahun sekali, UN GEGN mengadakan konferensi PBB mengenai standardisasi nama-nama geografis di dunia. Pada sidang tahunan 2012, Indonesia telah melaporkan sebanyak 13.466 pulau ke PBB dan langsung ditetapkan pada sidang tersebut.

Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur di Museum Nasional

Prasasti Kota Kapur berbentuk tugu segi enam tidak beraturan yang mengecil ke bagiaan atas, terbuat dari batu andesit dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar bagian atas 19 cm, dan 32 cm di bagian bawah. Tulisan pada permukaan prasasti terdiri dari 10 baris yang ditulis secara vertikal dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuna. Jika prasasti diposisikan berdiri maka pembacaan dimulai dari atas ke bawah sedangkan bila dalam posisi tidur tulisan dibaca dari kiri ke kanan. Pada baris terakhir tercantum keterangan mengenai tarikh pembuatan prasasti yang menunjukkan angka tahun 608 Saka atau 28 April 686 Masehi.

Prasasti Kota Kapur dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892 di dekat sungai Menduk Kota Kapur, Pangkal Mundo, pantai barat Pulau Bangka, Desa Penangan, Kecamatan Mendo Darat, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung. Prasasti ini merupakan prasasti kerajaan Sriwijaya yang pertama kali ditemukan. Berdasarkan prasasti inilah pengetahuan sejarah Sriwijaya bermula setelah para ahli melakukan penelitian terhadap isi tulisannya. Peneliti pertama yang menganalisis prasasti ini adalah Hendrik Kern, seorang ahli epigrafi berkebangsaan Belanda. Dalam artikelnya “De Inscriptie van Kota Kapur” (1913), Kern masih menganggap bahwa Sriwijaya yang tercantum dalam prasasti tersebut adalah nama seorang raja karena Sri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja diikuti nama raja yang bersangkutan.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh George Coedes dalam karangannya “Le royaume de Crivijaya (1918) yang mengungkapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan. Terjemahan prasasti Kota Kapur oleh Kern di mana terdapat nama Sriwijaya dan terjemahan karya I-tsing di mana terdapat transkripsi Tionghoa Shih-li-fo-shih memungkinkan Coedes menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama kerajaan di Sumatera. Selain itu, Coedes juga mengemukakan pendapatnya dengan menetapkan Palembang sebagai ibu kota kerajaan Sriwijaya.

Penemuan Coedes ini mendapat sambutan yang hebat dalam ilmu sejarah terutama sejarah Asia Tenggara. Karena letaknya yang sangat ideal untuk lalu lintas pelayaran Jawa, India, Arab, dan Cina maka sejarah Sriwijaya menyangkut hubungan internasional yang melibatkan negara-negara lain yang menggunakan selat Malaka sebagai jalur lalu lintas perdagangan. Penemuan negeri Sriwijaya ini menarik perhatian para sarjana sejarah, terutama para sarjana Belanda yang pada waktu itu banyak memusatkan perhatiannya kepada Jawa.

Berdasarkan isinya, prasasti Kota Kapur merupakan sebuah “prasasti persumpahan” sebagaimana tercantum dalam prasasti Telaga Batu, Kota Kapur, Karang Berahi, dan Palas Pasemah. Prasasti persumpahan adalah prasasti yang berisikan kutukan dan ancaman bagi mereka yang menentang atau tidak mau berbakti kepada raja Sriwijaya. Oleh karena isi prasasti-prasasti tersebut hampir sama, maka sangat mungkin semua prasasti persumpahan tersebut dipahat pada tahun yang sama. Dari keempat buah prasasti persumpahan tersebut, hanya prasasti Kota Kapur yang memuat angka tahun.

Sayangnya, prasasti Kota Kapur tidak menyebutkan nama raja yang berkuasa. Siapakah raja Sriwijaya yang mengeluarkan prasasti-prasasti persumpahan itu? Untuk mengetahui siapakah nama raja yang berkuasa, kiranya bisa dibandingkan dengan prasasti lainnya yang memiliki angka tahun berdekatan. Dalam prasasti Talang Tuwo yang dipahat tahun 684 M (2 tahun sebelum prasasti Kota Kapur) disebutkan bahwa raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan pembuatan Taman Sriksetra tanggal 2 Caitra 606 (23 Maret 684). Jika antara tahun 682 dan 684 tidak ada pergantian raja, maka kiranya dialah raja Sriwijaya yang dimaksudkan dalam prasasti Kedukan Bukit.

Pada baris terakhir prasasti Kota Kapur tercantum keterangan mengenai tarikh pembuatan prasasti dan rencana perluasan wilayah.

Berikut isi baris terakhir:
‘Cakawarsatita 608 dim pratipada cuklapaksa wulan Waicakha, tatkalanya yang mangmang sumpah nipahat, di welanya yang wala Criwijaya kaliwat manapik yang Bhumi Jawa tida bhakti ka Criwijaya.’

Terjemahannya:
‘Tahun Saka berlalu 608 (28 Februari 686 Masehi) hari pertama paro terang bulan Waisaka, tatkala sumpah dan kutukan ini dipahat, ketika tentara Sriwijaya berangkat ke Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya.’

Keterangan di atas menunjukkan latar belakang dan motivasi pengeluaran prasasti-prasasti persumpahan oleh raja Sriwijaya. Berdasarkan isi prasasti ini, G. Coedes berpendapat bahwa pada saat prasasti Kota Kapur ini dibuat, tentara Sriwijaya baru saja berangkat untuk berperang melawan Jawa.  Adapun kerajaan yang diserangnya yaitu kerajaan Taruma, yang sejak tahun 666-669 M tidak terdengar mengirimkan utusan lagi ke Cina. Kerajaan Taruma ini merupakan inti dari ekspansi kekuasaan Sriwijaya di Jawa selanjutnya yang dibuktikan oleh adanya prasasti dari Juru Pangambat di Jawa Barat dan prasasti Gondosuli di daerah Kedu, Jawa Tengah.

Jika pendapat Coedes tersebut benar, rupanya raja Sriwijaya khawatir kalau-kalau timbul pemberontakan dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya pada saat tentara Sriwijaya sedang dikerahkan menyerbu Pulau Jawa. Sebagai tindakan preventif, raja Sriwijaya mengeluarkan peringatan tegas di wilayah kekuasaannya.

Membaca isi prasasti persumpahan di atas, dapatlah dibayangkan bahwa raja Sriwijaya merupakan seorang politikus ulung. Sebelum dia melancarkan perluasan wilayah ke mancanegara, stabilitas dalam negeri sangat diperhatikan. Sudah tentu prasasti-prasasti persumpahan itu ditempatkan di negeri-negeri yang memungkinkan timbulnya pemberontakan.

Sementara itu P.V.  van Stein Callenfels menduga bahwa yang dimaksud dengan kata Jawa dalam prasasti Kota Kapur, bukan lah merupakan nama, tetapi sebagai kata sifat yang berarti "luar"  artinya prasasti ini berkenaan dengan suatu ekspedisi ke luar negeri. Boechari dalam hal ini berpendapat bahwa prasasti Kota Kapur dikeluarkan setelah tentara Sriwijaya kembali dari usahanya menaklukkan daerah Lampung Selatan, karena Jawa Barat di dalam sumber-sumber sejarah selalu disebut Sunda. Tetapi melihat persaingan yang terus menerus antara Sriwijaya dan Jawa pada abad abad yang kemudian, Satyawati Suleiman menduga bahwa besar sekali kemungkinannya prasasti Kota Kapur merupakan bukti usaha Sriwijaya untuk pertama kalinya menundukkan Jawa yang sudah ada sejak Abad V.

Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit di Museum Nasional


Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.

Prasasti ini merupakan prasasti tertua dari masa kerajaan Sriwijaya, beraksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Terbuat dari batu kecil berukuran 45 × 80 cm, berangka tahun 604 S (682 M), berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Berikut adalah bunyi dari prasasti Kedukan Bukit;
1.    Swasti, sri. Sakawarsatita 604 ekadasi su-
2.    klapaksa wulan Waisakha Dapunta Hyang naik di
3.    samwau mangalap siddhayatra. Di saptami suklapaksa
4.    wulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Minanga
5.    tamwan mamawa yang wala dua laksa dangan kosa
6.    dua ratus cara di samwau, dangan jalan sariwu
7.    telu ratus sapulu dua wanyaknya, datang di Mukha Upang
8.    sukhacitta. Di pancami suklapaksa wulan Asada
9.    laghu mudita datang marwuat wanua ….
10.    Sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa

Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti kurang lebih sebagai berikut:
1.    Bahagia, sukses. Tahun Saka berlalu 604 hari kesebelas
2.    paroterang bulan Waisaka Dapunta Hyang naik di
3.    perahu melakukan perjalanan. Di hari ketujuh paro terang
4.    bulan Jesta Dapunta Hyang berlepas dari Minanga
5.    tamwan membawa balatentara dua laksa dengan perbekalan
6.    dua ratus koli di perahu, dengan berjalan seribu
7.    tiga ratus dua belas banyaknya, datang di Ma…
8.    sukacita. Di hari kelima paroterang bulan Asada
9.    lega gembira datang membuat kota …
10.  Perjalanan jaya Sriwijaya berlangsung sempurna

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia terjemahan dijelaskan seperti di bawah ini
Dapunta Hyang manalap siddhayatra dengan perahu pada tanggal 11 paro terang (suklapaksa), bulan waisaka, tahun 604 S (23 April 682 M); Pada tanggal 7 paro terang bulan Jyestha (19 Mei 682 M) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa tentara dua laksa dan 200 peti (kosa) perbekalan dengan perahu, serta 1312 orang tentara berjalan di darat, datang di suatu tempat yang bernama ma.... ; pada tanggal 5 paro terang, bulan Asadha (16 Juni 682) dengan sukacita mereka datang di suatu tempat dan membuat kota (wanua) dan kerajaan Sriwijaya memperoleh kemenangan, perjalanannya berhasil dan seluruh negeri memperoleh kemakmuran.

Prasasti Kedukan Bukit (682 M) hanya menyebutkan gelar Dapunta Hyang tanpa disertai nama raja. Untuk mengetahui siapakah nama raja yang berkuasa, kiranya bisa dibandingkan dengan prasasti lainnya yang memiliki angka tahun berdekatan. Dalam prasasti Talang Tuwo yang dipahat tahun 684 M (2 tahun setelah prasasti Kedukan Bukit) disebutkan bahwa raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan pembuatan Taman Sriksetra tanggal 2 Caitra 606 (23 Maret 684). Jika antara tahun 682 dan 684 tidak ada pergantian raja, maka kiranya dialah raja Sriwijaya yang dimaksudkan dalam prasasti Kedukan Bukit.

Sampai sekarang, interpretasi prasasti Kedukan Bukit masih menjadi bahan perdebatan, hal ini terbukti dari simpang siurnya pendapat para ahli sejarah. Tulisan pada prasasti ini juga sudah tidak utuh lagi, sebagian sudah aus sehingga sulit diidentifikasi.

Perbedaan pendapat berkenaan dengan interpretasi prasasti Kedukan Bukit seperti yang  Slamet Mulyana kemukakan dalam bukunya “Sriwijaya” antara lain apa maksud prasasti Kedukan Bukit? Apa yang dimaksud Siddhayatra pada prasasti Kedukan Bukit? Dimana letaknya Minaga Tamwa(r)?
  1. Menurut N. J. Krom dalam bukunya Hindoe Javaansche Geschiedenis prasasti menulis: “Tidak semuanya jelas, tetapi ziarah untuk mencari kekuatan gaib itu menyolok sekali. Peristiwa itu cocok dengan pendapat umum di tempat-tempat lain. Mungkinlah hal itu berhubungan dengan peristiwa mendirikan kerajaan Sriwijaya. Suatu kenyataan ialah bahwa peristiwa ini memperingati suatu kejadian yang penting sekali untuk Negara.”
  2. Pendapat Krom ini didukung oleh Muh. Yamin seperti dalam Laporan Konres M.I.P.I. hlm 193 ia menulis “baru pada tahun 683 dipahat permakluman proklamasi pembentukan kedatuan Sriwijaya dengan resmi di atas batu bertulis Kedukan Bukit Palembang.
  3. Pendapat Krom bahwa prasasti Kedukan Bukit dimaksudkan untuk memperingati pembentukan Sriwijaya ditentang oleh J.L. Moens. Ia berpendapat prasasti Kedukan Bukit ini dimaksudkan untuk memperingati kemenangan Sriwijaya terhadap Malayu. Karena ibukota Malayu itu di Palembang,  maka kemenangan Sriwijaya atas Malayu dapat juga dikatakan sebagai penguasaan daerah Palembang oleh Sriwijaya. Setelah menguasai Palembang, Sriwijaya yang semula berpusat di pantai timur Semenanjung pindah ke pantai timur Sumatra,  tidak di Palembang tetapi di Muara Takus. Pemindahan pusat pemerintahan ini terjadi pada sekitar tahun 683 dan 685 M.
  4. Coedes berpendapat bahwa kata siddhayatra yang terdapat pada prasasti Kedukan bukit berarti ziarah untuk mencari kekuatan gaib.
  5. De Casparis menjelaskan bahwa yang ditekankan tentang siddhayatra adalah “perpindahan tempat” dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Hal ini berdasarkan hasil interpretasinya dengan cara membandingkan kata siddhayatra di Kedukan Bukit dengan prasasti dari Jawa Kuno tahun 856
  6. Slamet Mulyana dalam buku “Sriwijaya” memberikan penjelasan bahwa kata sidhhayatra mempunyai arti perjalanan. Kata siddhayatra pada baris 3 mempunyai hubungan dengan baris 10 dalam bentuk kata majemuk jayasiddhayatra yang artinya perjalanan jaya.
Berdasarkan pendapat Slamet Mulyana tersebut, maka prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti siddhayatra, bahkan prasasti jayasiddhayatra yakni prasasti yang mencatat perjalanan jaya. Perjalanan jaya adalah kejadian besar dalam kehidupan kenegaraan, karena mempunyai hubungan dengan kemenangan yang diperoleh dalam peperangan. Kata jayasiddhayatra digunakan sebagai penutup yang termuat pada baris 10. Hal ini menandakan perkara yang penting bahwa prasasti kedukan Bukit merupakan prasasti perjalanan, terbukti dalam prasasti pendek tersebut tercatatat beberapa perjalanan yakni:
(a) Tanggal 11 bulan terang, Waisaka Dapunta Hyang naik perahu
(b) Tanggal 7 bulan terang, Jyestha Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa(r) dengan tentara
(c) Tanggal 5 bulan terang bulan, Asada Dapunta Hyang memuat wanua
(d) … wihara ini di wanua ini. (tambahan pada pecahan fragmen)
Pada berita (a) menyatakan bahwa Dapunta Hyang mengadakan perjalanan dengan naik perahu tanpa diikuti tentara. Jarak waktu (a) dan (b) adalah 26 hari (perjalanan langsung menuju Minanga Tamwa(r)?).

Berita (b) menyatakan bahwa Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa(r) dengan membawa 20 ribu tentara. Dengan kata lain Dapunta Hyang datang dari Minanga Tamwa(r) untuk menggabungkan diri pada tentara Sriwijaya yang berjumlah dua puluh ribu. Dari Minanga Tamwa(r) Dapunta Hyang menuju suatu tempat yang tidak terbaca seluruhnya. Coedes mengira Matajap, sedangkan Krom menduga Malayu 

Pada tahun 1938, Krom menghubungkan prasasti Kedukan Bukit dengan pernyataan I-tsing bahwa sekembali nya ia dari Nalanda, Malayu sekarang telah menjadi Sriwijaya. Jadi menurut Krom kerajaan Malayu ini ditundukkan oleh Sriwijaya pada tahun 682 M.  Untuk memperkuat pendapatnya mengajukan bacaan tiga huruf yang kabur sekali pada akhir baris ke-7,  sehingga berbunyi malayu.  Bacaan malayu oleh Krom dibantah oleh J.G.  de Casparis yang tidak melihat kemungkinan adanya huruf la di antara huruf yang sudah usang tadi.  Huruf yang dibaca la oleh Krom kemungkinan besar ialah huruf ka.

(Bersambung)