Rabu, 01 Maret 2017

Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur di Museum Nasional

Prasasti Kota Kapur berbentuk tugu segi enam tidak beraturan yang mengecil ke bagiaan atas, terbuat dari batu andesit dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar bagian atas 19 cm, dan 32 cm di bagian bawah. Tulisan pada permukaan prasasti terdiri dari 10 baris yang ditulis secara vertikal dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuna. Jika prasasti diposisikan berdiri maka pembacaan dimulai dari atas ke bawah sedangkan bila dalam posisi tidur tulisan dibaca dari kiri ke kanan. Pada baris terakhir tercantum keterangan mengenai tarikh pembuatan prasasti yang menunjukkan angka tahun 608 Saka atau 28 April 686 Masehi.

Prasasti Kota Kapur dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892 di dekat sungai Menduk Kota Kapur, Pangkal Mundo, pantai barat Pulau Bangka, Desa Penangan, Kecamatan Mendo Darat, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung. Prasasti ini merupakan prasasti kerajaan Sriwijaya yang pertama kali ditemukan. Berdasarkan prasasti inilah pengetahuan sejarah Sriwijaya bermula setelah para ahli melakukan penelitian terhadap isi tulisannya. Peneliti pertama yang menganalisis prasasti ini adalah Hendrik Kern, seorang ahli epigrafi berkebangsaan Belanda. Dalam artikelnya “De Inscriptie van Kota Kapur” (1913), Kern masih menganggap bahwa Sriwijaya yang tercantum dalam prasasti tersebut adalah nama seorang raja karena Sri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja diikuti nama raja yang bersangkutan.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh George Coedes dalam karangannya “Le royaume de Crivijaya (1918) yang mengungkapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan. Terjemahan prasasti Kota Kapur oleh Kern di mana terdapat nama Sriwijaya dan terjemahan karya I-tsing di mana terdapat transkripsi Tionghoa Shih-li-fo-shih memungkinkan Coedes menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama kerajaan di Sumatera. Selain itu, Coedes juga mengemukakan pendapatnya dengan menetapkan Palembang sebagai ibu kota kerajaan Sriwijaya.

Penemuan Coedes ini mendapat sambutan yang hebat dalam ilmu sejarah terutama sejarah Asia Tenggara. Karena letaknya yang sangat ideal untuk lalu lintas pelayaran Jawa, India, Arab, dan Cina maka sejarah Sriwijaya menyangkut hubungan internasional yang melibatkan negara-negara lain yang menggunakan selat Malaka sebagai jalur lalu lintas perdagangan. Penemuan negeri Sriwijaya ini menarik perhatian para sarjana sejarah, terutama para sarjana Belanda yang pada waktu itu banyak memusatkan perhatiannya kepada Jawa.

Berdasarkan isinya, prasasti Kota Kapur merupakan sebuah “prasasti persumpahan” sebagaimana tercantum dalam prasasti Telaga Batu, Kota Kapur, Karang Berahi, dan Palas Pasemah. Prasasti persumpahan adalah prasasti yang berisikan kutukan dan ancaman bagi mereka yang menentang atau tidak mau berbakti kepada raja Sriwijaya. Oleh karena isi prasasti-prasasti tersebut hampir sama, maka sangat mungkin semua prasasti persumpahan tersebut dipahat pada tahun yang sama. Dari keempat buah prasasti persumpahan tersebut, hanya prasasti Kota Kapur yang memuat angka tahun.

Sayangnya, prasasti Kota Kapur tidak menyebutkan nama raja yang berkuasa. Siapakah raja Sriwijaya yang mengeluarkan prasasti-prasasti persumpahan itu? Untuk mengetahui siapakah nama raja yang berkuasa, kiranya bisa dibandingkan dengan prasasti lainnya yang memiliki angka tahun berdekatan. Dalam prasasti Talang Tuwo yang dipahat tahun 684 M (2 tahun sebelum prasasti Kota Kapur) disebutkan bahwa raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan pembuatan Taman Sriksetra tanggal 2 Caitra 606 (23 Maret 684). Jika antara tahun 682 dan 684 tidak ada pergantian raja, maka kiranya dialah raja Sriwijaya yang dimaksudkan dalam prasasti Kedukan Bukit.

Pada baris terakhir prasasti Kota Kapur tercantum keterangan mengenai tarikh pembuatan prasasti dan rencana perluasan wilayah.

Berikut isi baris terakhir:
‘Cakawarsatita 608 dim pratipada cuklapaksa wulan Waicakha, tatkalanya yang mangmang sumpah nipahat, di welanya yang wala Criwijaya kaliwat manapik yang Bhumi Jawa tida bhakti ka Criwijaya.’

Terjemahannya:
‘Tahun Saka berlalu 608 (28 Februari 686 Masehi) hari pertama paro terang bulan Waisaka, tatkala sumpah dan kutukan ini dipahat, ketika tentara Sriwijaya berangkat ke Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya.’

Keterangan di atas menunjukkan latar belakang dan motivasi pengeluaran prasasti-prasasti persumpahan oleh raja Sriwijaya. Berdasarkan isi prasasti ini, G. Coedes berpendapat bahwa pada saat prasasti Kota Kapur ini dibuat, tentara Sriwijaya baru saja berangkat untuk berperang melawan Jawa.  Adapun kerajaan yang diserangnya yaitu kerajaan Taruma, yang sejak tahun 666-669 M tidak terdengar mengirimkan utusan lagi ke Cina. Kerajaan Taruma ini merupakan inti dari ekspansi kekuasaan Sriwijaya di Jawa selanjutnya yang dibuktikan oleh adanya prasasti dari Juru Pangambat di Jawa Barat dan prasasti Gondosuli di daerah Kedu, Jawa Tengah.

Jika pendapat Coedes tersebut benar, rupanya raja Sriwijaya khawatir kalau-kalau timbul pemberontakan dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya pada saat tentara Sriwijaya sedang dikerahkan menyerbu Pulau Jawa. Sebagai tindakan preventif, raja Sriwijaya mengeluarkan peringatan tegas di wilayah kekuasaannya.

Membaca isi prasasti persumpahan di atas, dapatlah dibayangkan bahwa raja Sriwijaya merupakan seorang politikus ulung. Sebelum dia melancarkan perluasan wilayah ke mancanegara, stabilitas dalam negeri sangat diperhatikan. Sudah tentu prasasti-prasasti persumpahan itu ditempatkan di negeri-negeri yang memungkinkan timbulnya pemberontakan.

Sementara itu P.V.  van Stein Callenfels menduga bahwa yang dimaksud dengan kata Jawa dalam prasasti Kota Kapur, bukan lah merupakan nama, tetapi sebagai kata sifat yang berarti "luar"  artinya prasasti ini berkenaan dengan suatu ekspedisi ke luar negeri. Boechari dalam hal ini berpendapat bahwa prasasti Kota Kapur dikeluarkan setelah tentara Sriwijaya kembali dari usahanya menaklukkan daerah Lampung Selatan, karena Jawa Barat di dalam sumber-sumber sejarah selalu disebut Sunda. Tetapi melihat persaingan yang terus menerus antara Sriwijaya dan Jawa pada abad abad yang kemudian, Satyawati Suleiman menduga bahwa besar sekali kemungkinannya prasasti Kota Kapur merupakan bukti usaha Sriwijaya untuk pertama kalinya menundukkan Jawa yang sudah ada sejak Abad V.

0 komentar:

Posting Komentar