Jumat, 29 Mei 2015

Perkembangan Seni Patung Nusantara

Tradisi pembuatan patung diperkirakan sudah ada sejak zaman prasejarah, yakni pada masa neolitikum ketika manusia telah mengenal kehidupan bermasyarakat, menetap, dan menghasilkan makanan sendiri (food producing). Manusia saat itu mempercayai bahwa ada kekuatan lain yang tidak tertangkap pancaindra dan terdapat kehidupan lain selain alam dunia yang mereka tempati yaitu alam roh. Keyakinan tersebut menempati aspek yang sangat penting sehingga dilakukan penghormatan khusus bagi roh-roh leluhur dengan berbagai ritual serta simbol-simbol tertentu. 

Mereka meyakini bahwa roh-roh leluhur bisa memberikan perlindungan kepada anggota keluarga yang ditinggalkan. Sebagai bentuk pemujaan terhadap roh nenek moyang maka dibuatlah patung yang terbuat dari benda-benda tertentu seperti kayu bahkan batu-batu besar. Benda-benda tersebut terutama dapat kita saksikan pada sisa peninggalan dari zaman megalitikum, salah satu diantaranya adalah menhir. Sejalan dengan perkembangan kebudayaan manusia, pemujaan terhadap roh nenek moyang berkembang dari bentuk menhir yang tanpa ukiran menjadi bentuk batu yang dipahat sedemikian rupa menyerupai manusia dalam wujud patung tokoh-tokoh nenek moyang walaupun pembuatannya masih sangat sederhana.

Peninggalan patung zaman megalitikum tersebar di beberapa wilayah di Indonesia seperti di dataran tinggi Pasemah (Sumatera Selatan), Nias, Sukabumi, Ciamis, Kuningan, Bogor, Pandeglang, , Jabung (Lampung), Nusa Tenggara, Jawa Timur, Bali, Sulawesi, Papua, dan lain-lain. Pada zaman logam, muncul tradisi pembuatan figurin berukuran kecil dan bandul dihias dengan figure manusia dari bahan perunggu. Umumnya patung tersebut digunakan sebagai bekal kubur. 

Selain bentuk manusia, binatang juga dijadikan objek pembuatan patung. Masyarakat pada masa prasejarah mempercayai hewan-hewan tertentu yang dikeramatkan. Kepercayaan seperti ini disebut dengan totemisme. Binatang yang dipahatkan antara lain terdiri dari gajah, babi, kerbau, burung engang, kadal, ular, dan lain-lain. Patung-patung binatang yang ditemukan di banyak daerah di Indonesia tentunya dibuat bukan hanya menggambarkan ekspresi pembuatnya, tetapi juga sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai religi yang dianut oleh masyarakat saat itu. Totemisme melalui penggambaran figure binatang dalam patung terus berlangsung hingga kini di beberapa suku di Indonesia

Pembuatan patung dalam bentuk binatang dilatarbelakangi oleh beberapa hal, antara lain:
  1. Binatang tersebut memegang peranan penting dalam kehidupan manusia dan dapat dibudidayakan seperti kerbau yang dapat diambil tenaganya.
  2. Binatang tersebut dipercaya sebagai perwujudan atau lambang arwah  leluhur seperti buaya atau kadal pada masayarakat prasejarah
  3. Diakai sebagai upaya mengantisipasi keganasan hewan-hewan tertent seperti ular, gajah, harimau, babi hutan, yang patungnya digunakan sebaga sarana pemujaan untuk menolak bal, khususnya serangan dari binatang buas.
  4. Sebagai wahana dari dewa-dewa dalam agama Hindu dan juga binatang yangberkaitan dengan mitologi Hindu. 

Pada masa Hindu Budha di Indonesia, pembuatan patung ditujukan untuk upacara keagamaan dengan media berupa batu andesit atau logam. Patung/arca dewa dibuat sebagai pelengkap upacara pemujaan juga sebagai media untuk mendekatkan diri dengan dewa yang dipuja. Arca tersebut biasanya dilengkapi dengan atribut-atribut tertentu sebagai simbol dari dewa Hindu maupun Budha. Selain arca berupa dewa-dewi, pada masa ini juga dihasilkan arca-arca berupa figure manusia tanpa atribut dewa, figure raksasa seperti dwarapala, serta arca figure binatang seprti narawahana (singa, Ghana, dan gajah), bahkan ada juga penggambaran figure bertubuh manusia dan berkepala hewan.

Pada masa HIindu Budha kepercayaan terhadap roh nenek moyang tetap terus berkembang dan dimanifestasikan dengan membuat arca-arca perwujudan (pratista). Hal ini dapat dilihat dari beberapa arca perwujudan seperti arca Harihara dari Simping (Jawa Timur) yang merupakan perwujudan dari raja Kertarajasa Jayawardana, raja pertama Kerajaan Majapahit; arca Parwati dari candi Rimbi (Jawa Timur) yang merupakan perwujudan dari ratu Tribuwanatunggadewi; serta arca Durga Mahisasuramardini di pura Kadharman (Bajar Kutri, Gianyar, Bali) yang diperkirakan arca perwujudan dari Sri Gunapriya Dharmapatmi, istri raja Udayana.

Pembatan arca pada masa Hindu Budha dikerjakan oleh seniman yang pada awalnya angat mematuhi aturan pengarcaan  yang bersumber dari kesusasteraan India yaitu Sipasastra dan Talamana. Arca yang dibuat harus memenuhi aturan kaidah sad angga (sad berarti enam dan angga berarti syarat). Kaidah sad angga tersebut terdiri dari 
  1. Rupabedha (pembedaan bentuk)
  2. Sadrsya (kesamaan dalam peglihatan)
  3. Paraman (sesuai dengan ukuran yang tepat)
  4. Warnikabhangga (penguraian dan pembuatan warna)
  5. Bhawa (suasana dan pancaran rasa atau sesuatu yang merangsang/menumbuhkan perasaan)
  6. Lawanya (keindagahan atau daya pesona)

Ketika Islam memasuki Nusantara, tradisi pembuatan patung mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan dalam ajaran Islam terdapat larangan penggambaran makhhluk hidup sehingga hasil karya makhluk hidup biasanya disamarkan. Namun demikian di beberapa wilayah yang tidak terpengaruh agama Islam tetap melanjutukan pembuatan patung-patung nenek moyang seperti yang dapat kita saksikan di Nias, Batak, Kalimantan Barat, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Tradisi pembuatan patung di suku-suku bangsa yanag tersebar di Nusantara umumnya dikaitkan dengan system kepercayaan mereka. Mereka percaya bahwa jiwa orang yang sudah meninggal dunia masih dianggap berpengaruh pada orang yang masih hidup. Agar hubungan antara yang masih hidup dengan yang sudah meninggal dunia tetap terjalin akhirnya tokoh-tokoh tertentu seperti pendiri desa, tokoh adat, tokoh agama, dibuat perwujudannya berupa patung leluhur atau nenek moyang. Figur binatang juga sering digambarkan pada patug di beberapa suku bangsa seperti ular, kucing, aanjing, burung enggang, ayam, katak, kadal, dan buaya. 

0 komentar:

Posting Komentar