Kamis, 28 Mei 2015

Sekilas Tradisi Menginang

Bangsa yang besar seperti bangsa Indonesia ini tentu mempunyai banyak kebudayaan daerah. Hal ini disebabkan karena banyaknya suku bangsa yang ada di Indonesia itu sendiri. Antara daerah yang satu dengan daerah yang lain pasti mempunyai adat istiadat yang berbeda-beda. Contohnya saja kebiasaan menginang. Kebiasaan menginang ini pastilah berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Menyirih atau yang biasa di sebut dengan menginang merupakan suatu istilah untuk menyebut suatu kebiasaan mengunyah bahan-bahan paduan antara daun sirih, pinang dan kapur yang pada masa selanjutnya juga dicampur dengan gambir dan juga tembakau. Pinang merupakan jenis tanaman palma yang dalam bahasa Hindi buah ini disebut supari.

Mengetahui secara pasti kebiasaan menginang terutama dari tinjauan dalam aspek waktu maupun dalam aspek ruang ini sangat sulit untuk diketahui. Akan tetapi, ada anggapan umum yang menyatakan bahwa kebiasaan menginang sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara luas sejak zaman dahulu. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa kebiasaan menginang ini dikenal hampir mencakup seluruh kawasan Asia (Depdikbud 1992:3)

Ketidak pastian mengenai kapan kebiasaan menginang dikenal oleh masyarakat Indonesia ini nampak jelas dari kurang adanya informasi. Tidak ada satu informasi pun yang menjelaskan tentang kapan dan di mana kebiasaan menginang ini berawal. Bahkan tidak adanya tulisan maupun gambar yang menjelaskan secara tegas kapan dan di mana kebiasaan menginang ini berawal.

Menurut informasi dalam buku album Pekinangan Tradisional (Depdikbud 1992:3), musafir I-tsing mengatakan bahwa pada abad ke tujuh Masehi orang-orang Sumatera sudah mengenal dan memanfaatkan buah pinang. Sedangkan Profesor Kern mengatakan bahwa pada abad ke empat, aktifitas menginang sudah disebuat dalam sandiwara

Di pulau Jawa (Depdikbud 1992:3), pinang dan sirih sudah ada pada beberapa prasasti pada abad ke sembilan sampai abad ke sepuluh masehi. Pada abad ke sepuluh sampai abad ke empat belas masehi, berita dinasti Sung mencantumkan sirih dan pinang sebagai salah satu mata dagangan yang diekspor dari pulau jawa. Karena keterbatasan sumber-sumber informasi sehingga tidak dapat pula diketahui dengan pasti tentang kurun waktu kebiasaan menginang ini menyebar ke seluruh nusantara. Di daerah Sulawesi sendiri, informasi hanya muncul di daerah Sulawesi Tenggara yaitu adanya peralatan menginang yang berasal dari masa pemerintahan Tua Rade yaitu Raja ke empat (sekitar abad ke-14 Masehi). Di Maluku pada abad ke-16, George Everhard yang merupakan seorang penulis sejarah Maluku telah mencatat enam jenis pinang dan sirih yang digunakan oleh masyarakat pada masa itu.

Tempat peralatan menginang atau yang biasa disebut sebagai penginangan tentunya muncul setelah menginang sudah menjadi sebuah kebiasaan dan setelah munculnya kebutuhan akan wadah kinang di masyarakat. Oleh sebab itu, bila kebiasaan menginang di Indonesia diperkirakan muncul sebelum abad ke empat Masehi, maka paling tidak kebiasaan masyarakat membuat wadah menginang muncul pada abad setelah itu.

Kata penginangan sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Jawa yang berarti tempat khas untuk peralatan dan perlengkapan menginang yg meliputi tempat kinang berikut kelengkapannya, seperti tempat sirih, tempat tembakau, alat pemakan kinang, alat pemotong pinang, dan tempat ludah. Tetapi karena sulit untuk menyebutkan wadah atau tempat yang khusus digunakan untuk meletakkan daun sirih atau buah sirih dan pinang, maka penggunaan istilah penginangan harus diartikan untuk mengacu pada seluruh perangkat yang berkaitan dengan aktifitas memakan sirih dan pinang ini.

Menginang sebagai sebuah kebiasaan dalam masyarakat Indonesia semakin lama semakin menghilang. Masyarakat yang kini beralih dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, mulai tidak mengenal lagi kebiasaan menginang ini. Apalagi generasi muda sekarang, banyak yang tidak mengenal tradisi menginang yang dahulu dilakukan oleh nenek moyang kita.

Generasi ini juga tidak lagi paham akan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kebiasaan menginang. Nilai-nilai budaya yang sebenarnya seringkali merupakan ungkapan nyata dari kearifan yang dimiliki oleh generasi terdahulu dalam menjalankan kehidupan. Oleh sebab itu, kebiasaan menginang yang sebenarnya dikenal oleh hampir seluruh suku bangsa di Indonesia dengan segala keanekaragaman cara dan nilai yang dikandungnya, perlu diperkenalkan lagi pada generasi muda masa kini. Hal tersebut sama sekali bukan untuk menghidupkan kembali tradisi menginang, melainkan semata-mata hanya untuk melestarikan segi kearifan nenek moyang yang terefleksi dalam nilai-nilai budaya menginang. Selain itu dimaksudkan pula untuk menunjukkan nilai-nilai artistik yang terpancar dari peralatan-peralatan dan perlengkapan menginang supaya dapat mengetahui identitas budaya bangsa sendiri.

Budaya menginang merupakan kebiasaan masyarakat peramu yang diturunkan dari generasi ke genrasi dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada zaman dahulu. Sebelum menginang, terlebih dahulu dipersiapkan bahan-bahan ramuan yang terdiri dari buah pinang, daun sirih, gambir, kapur sirih, atau ditambah dengan tembakau.

Kebiasaan menginang di setiap daerah berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan karena dilatarbelakangi adanya sistem religi, dan kepercayaan yang merupakan tradisi sejak masa prasejarah. Seperti halnya di Papua, terdapat hal cukup unik ketika akan memanen buah pinang. Ada beberapa pantangan yang harus dihindari dalam memanen buah pinang. Pantangan tersebut yaitu buah pinang yang dipetik dari atas pohon tidak boleh dijatuhkan, buah pinang tidak boleh dipetik menggunakan kayu atau bambu, buah pinang yang dipanen menggunakan bambu ataupun jatuh ke tanah segera diambil kemudian dibawa memutar mengelilingi pohon pinang tersebut sebanyak tiga kali supaya kalau dimakan tidak menyebabkan mabuk atau pusing, mayang pinang yang telah dipetik buahnya tidak boleh dibakar karena diyakini pohon tersebut tidak akan berbuah lebat lagi, dan juga mayang pinang yang tumbuh lurus berlapis dengan batang dan padat menyerupai ikan sapu lidi maka buahnya tidak boleh dipetik dan di makan kerena bisa menyebabkan mabuk atau pusing yang sangat lama.

Pada masyarakat Papua, menggunkan kulit kerang dalam pembuatan kapur yang digunakan dalam menginang. Jenis kerang yang digunakan dalam pembuatan kapur ini yaitu jenis kerang arca atau anadara. Kapur ini dibuat dengan cara daun sagu, daun kelapa, dan daun nipah kering diletakkan di bagian atas, kemudian dibakar. Kemudian kulit kerang disusun di atas pelepah sagu, dibiarkan terbakar selama dua sampai tiga jam. Setelah itu, abu kulit kerang dipisahkan, kemudian dicampur dengan air garam secukupnya pada tempat yang telah disiapkan.

Kebiasaan menginang masyarakat Papua dimaksudkan hanya untuk penyedap mulut, mengikat hubungan untuk membangkitkan reaksi dan interaksi dalam pergaulan, dan juga dihidangkan secara khusus kepada para tamu. Selain itu, digunakan pula untuk melamar seorang gadis, membangkitkan energi dalam melakukan pekerjaan fisik dan non fisik yang berkaitan dengan adat dan juga digunakan untuk media penyalur magis. Dari segi kesehatan digunakan untuk obat pembasmi kuman-kuman di dalam gigi dan menghilangkan bau mulut.

Selain di Papua, kebisaan menginang ini juga dikenal oleh masyarakat Maluku. Di daerah Maluku sendiri, kebiasaan menginang dilakukan dengan cara sirih dimakan atau dikunyah bersama-sama dengan pinang, kapur, dan kadang-kadang ditambah deengan tembakau. Seperti halnya dengan daerah Papua, di Maluku sendiri kapur atau yang biasa disebut dengan kapur sirih diperoleh dari hasil pembakaran kulit kerang.

Pada zaman dahulu, kebiasaan menginang di Maluku berfungsi untuk dikonsumsi sehari-hari, sebagai obat-obatan, menunjukkan status sosial, dan juga digunakan dalam upacara-upacara adat. Menginang sebagai konsumsi sehari-hari disini dapat dinikmati dari kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Menginang tidak hanya dilakukan sekali ataupun dua kali, melainkan dilakukan berkali-kali dalam sehari sehingga, kebiasaan menginang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Maluku. Bahkan kemanapun mereka pergi, mereka selalu membawa sirih dan pinang yang digunakan untuk menginang.

Sementara di Sulawesi, kegiatan menginang bukan hanya sebagai pengobatan, relasi sosial, penyedap mulut dan dikonsumsi sehari-hari saja, tetapi juga digunakan di dalam upacara adat yang sangat sakral. Hal ini dapat kita lihat pada kebudayaan Gorontalo dan Bolaang Mongondow yang menggunakan kegiatan menginang sebagai alat perlengkapan upacara perkawinan dan upacara-upacara adat lainnya. Sirih bagi masyarakat Sulawesi Tengah, selain digunakan untuk tradisi meginang, dapat juga dijadikan sebagai obat kumur, obat untuk batuk kering, dan obat untuk menghilangkan bau badan.
       
Di Sulawesi Selatan, makan sirih atau menginang juga digunakan dalam upacara adat, upacara keagamaan,dan upacara pernikahan. Kegunanan makan sirih atau menginang pada upacara-upacara tersebut merupakan suatu keharusan dan dipandang sebagai salah satu unsur pokok yang wajib ada. Misalnya saja pada upacara pernikahan, pada hal ini pihak laki-laki harus membawa sirih pinang sebagai suatu cara untuk melamar seorang gadis. Penyerahan sirih pinang dalam acara tersebut yaitu sebagai tanda penyerahan secara ikhlas, apabila pihak wanita menerima sirih pinang tersebut pertanda bahwa pinangan dari pihak laki-laki telah diterima. Dari sini tampak penggunaan sirih pinang sebagai fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan.
      
Selain sebagai fungsi sosial, sirih pinang meliki fungsi religius terutama pada upacara pengislaman (sunatan), dan dapat digunakan sebagai ramuan obat contohnya saja untuk mengobati orang yang kesurupan. Penggunaan sirih pinang disini dimaksudkan untuk mengusir pengaruh magis atau roh-roh jahat yang bersemayam dalam diri orang yang kesurupan.
      
Sirih, kapur, pinang gambir dan tembakau juga memiliki makna simbolis yang merupakan lambang bagi perilaku kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan. Daun sirih melambangkan perempuan yang cantik. Dalam bahasa Bugis disebut dengan maddaung poddi. Kapur yang warnanya putih melambangkan kesucian wanita sedangkan gambir yang dapat mengeluarkan warna merah yang secara simbolik merupakan lambang dari kehidupan manusia. Demikian pula dengan pinang dan juga tembakau, pinang apabila dimakan menyebabkan pening dan hal ini melambangkan bahwa wanita setelah menikah akan merasa pening terutama pada waktu ngidam. Tembakau apabila penggunaannya berlebihan pada saat menginang, maka akan menyebabkan merasa pusing dan juga ini pertanda bahwa laki-laki telah jantuh cinta pada seorang gadis akan merasa resah dan pusing.
                 
Seperti yang sudah disebutkan diatas, bahwasannya kebiasaan menginang dilakukan hampir di seluruh suku bangsa di Indonesia yang berfungsi sebagai alat upacara adat, sarana penghormatan tamu, lambang pergaulan, sebagai fungsi sosial dan juga sebagai sarana untuk kesehatan. Benda-benda seni penginangan berfungsi untuk alat-alat keperluan menginang juga dipergunakan untuk menunjukkan status sosial bagi orang yang memakainya.
      
Menginang sebagai sebuah kebiasaan dalam masyarakat Indonesia semakin lama semakin menghilang. Apalagi generasi muda sekarang, banyak yang tidak mengenal tradisi menginang yang dahulu dilakukan oleh nenek moyang kita. Oleh sebab itu, generasi muda zaman sekarang perlu diperkenalkan kebiasaan menginang ini. Hal tersebut sama sekali bukan untuk menghidupkan kembali tradisi menginang, melainkan hanya untuk melestarikan segi kearifan nenek moyang yang terefleksi dalam nilai-nilai budaya menginang. Selain itu dimaksudkan pula untuk menunjukkan nilai-nilai dari peralatan-peralatan menginang supaya dapat mengetahui identitas budaya bangsa sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Budaya Menginang di Daerah Irian Jaya, Maluku, dan Sulawesi. Jakarta : Proyek Pembinaan Permuseuman

0 komentar:

Posting Komentar