Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur berbentuk tugu segi enam tidak beraturan yang mengecil ke bagiaan atas, terbuat dari batu andesit dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar bagian atas 19 cm, dan 32 cm di bagian bawah.
Berapa Jumlah Pulau di Indonesia
Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai ribuan pulau, menguntai dari Sabang sampai Merauke. Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Jumat, 18 September 2015
Bubu, Alat Tangkap Ikan
Kamis, 13 Agustus 2015
Kelengkapan dalam Pagelaran Wayang Kulit
Sabtu, 08 Agustus 2015
Peninggalan Pangeran Dipinegoro
Dikutip laman Detiknews, berikut peninggalan-peninggalan itu, Sabtu (7/2/2015):
1. Pelana Kuda
Pelana kuda termasuk barang yang dirampas Belanda usai Pangeran Diponegoro disergap di Pegunungan Gowong oleh AV Michiels dan Pasukan Gerak Cepat ke-11 dari Ternate yang terkenal dengan kemampuan lacaknya, 11 November 1829. Dikisahkan dari katalog pameran 'Aku Diponegoro', sang pangeran terpaksa lompat dari kudanya ke lembah terdekat di bawah gelagah, kuda, tombak dan jubahnya dirampas.
Diponegoro memang mahir menunggang kuda, bahkan memiliki istal di kediamannya dengan pemelihara kuda dan pemotong rumput tak kurang dari 60 orang. Beberapa tunggangannya seperti Kiai Gentayu, seekor kuda hitam berkaki putih, dianggap pusaka hidup.
Setelah dirampas tahun 1829, pelana kuda itu dibawa ke Belanda, diserahkan pada Raja Willem I yang berkuasa 1813-1840. Kemudian, tahun 1968 ada kesepakatan budaya Belanda-Indonesia. Berdasarkan kesepakatan ini akhirnya pelana kuda Diponegoro dikembalikan ke Indonesia oleh Ratu Juliana pada 1978.
2. Tombak Pusaka Kiai Rondhan
Adalah lumrah bagi bangsawan keraton saat itu, termasuk Pangeran Diponegoro memiliki senjata pusaka. Nah, tombak pusaka yang dinamakan Kiai Rondhan ini termasuk salah satu pusaka kesayangan Diponegoro karena dianggapnya suci, bisa memberikan perlindungan dan peringatan akan datangnya bahaya.
Tombak ini dirampas dengan tanggal yang sama dengan perampasan pelana kuda, juga keris Kiai Nogosiluman, pada 11 November 1829.
Ketiganya dipersembahkan sebagai 'trofi perang' pada Raja Belanda, Willem I. Tombak ini akhirnya dikembalikan ke Indonesia oleh Ratu Juliana tahun 1978, bersamaan dengan pelana kuda. Keduanya kini menjadi koleksi Museum Nasional atau yang akrab juga disebut Museum Gajah.
3. Babad Diponegoro
Babad Diponegoro merupakan catatan otobiografi Pangeran Diponegoro yang dibuat saat sang pangeran diasingkan pasca ditangkap 11 November 1829. Menurut sejarawan yang 40 tahun meneliti Babad Diponegoro, Peter Brian Ramsey Carey, babad ini ditulis selama masa pengasingan Diponegoro di Manado pada 1831-1832. Namun, Diponegoro tak menulisnya sendiri, melainkan mendiktekannya kepada seorang juru tulis.
Isi babad itu semacam puisi atau macapatan yang tebalnya 1.170 halaman folio, berisi sejarah nabi, sejarah pulau Jawa sejak Majapahit hingga Perjanjian Giyanti (Mataram). Diponegoro, menurut Carey, mengibaratkan otobiografinya sebagai bahtera Nuh, yang menampung budaya Jawa agar bisa diwariskan pada generasi selanjutnya. Tujuannya, supaya tidak melupakan jati diri.
Naskah Babad ini dicari hingga ke Belanda hingga akhirnya berhasil menjadi Memory of The World UNESCO tahun 2012 dan disahkan tahun 2013. Namun, naskah babad itu bukan naskah asli.
Menurut Peter, naskah babonnya sudah hilang. Yang ada adalah salinan yang otentik dengan aslinya, sebanyak 5 kopi, 4 dalam huruf Arab Pegon atau Arab Gundul dan 1 lagi aksara Jawa. Naskah dalam aksara Arab Pegon mirip dengan yang asli, karena naskah babonnya ditulis dalam huruf Pegon.
Kini, kopian 5 naskah yang otentik itu sudah disimpan di Perpustakaan Nasional.
4. Tongkat Kiai Cokro
Tongkat Pangeran Diponegoro yang dinamakan Kiai Cokro, akhirnya kembali ke Indonesia pada Kamis (5/2/2015) setelah 183 tahun berada dalam pemeliharaan keluarga Jean Chretien (JC) Baud dan keturunannya.
Tongkat itu sejatinya milik Sultan Demak, dan Pangeran Diponegoro menerima tongkat itu dari orang biasa di Jawa, pada 10 tahun sebelum terjadinya Perang Jawa 1925, yakni 1915. Tongkat itu jatuh ke tangan cucu Nyi Ageng Serang, komandan perempuan pasukan Diponegoro, Pangeran Notoprojo atau dikenal sebagai Raden Mas Papak (julukan karena jari-jari tengah tangan kirinya sama rata), pada 11 Agustus 1829.
Setelah berada di tangan Pangeran Notoprojo, kemudian dia memberikannya pada Gubernur Jenderal Belanda di Jawa yang berkuasa pada 1833-1836, JC Baud. Baud menerima tongkat itu saat sedang melakukan inspeksi pertama ke Pulau Jawa, Juli 1834.
Pangeran Notoprojo adalah sekutu politik yang penting bagi Belanda setelah menyerahkan diri pada 24 Juni 1827. Oleh karena itu, cukup penting bahwa ia berusaha untuk mengambil hati penguasa kolonial yang baru di Jawa dengan mempersembahkan artefak yang secara spiritual bermakna sangat penting.
Selama 183 tahun keturunan Baud memelihara secara turun-temurun tongkat itu hingga datanglah Harm Stevens dari Rijkmuseum yang meneliti tentang tongkat Diponegoro pada Agustus 2014. Stevens menyarankan kakak beradik keturunan Baud, Erica Lucia Baud dan Michiel Baud, menyerahkan benda pusaka itu pada Indonesia hingga tibalah tongkat itu pada 5 Februari 2015 lalu.
Jumat, 07 Agustus 2015
Piso Gaja Dompak
Jumat, 31 Juli 2015
Padrou
Rabu, 29 Juli 2015
DVARAPALA
Arca Dwarapala
Satu arca menghadap ke arah utara, dan satu patung menghadap ke timur. Kedua benda peninggalan sejarah yang berusia ratusan tahun itu, seolah-olah memantau setiap orang yang melintasi jalan itu. Tidak hanya pada tatapan matanya, tapi juga dengan senjata yang dipegang, gada (pentungan). Satu gada dihadapkan ke bawah oleh patung yang berada di sisi kiri jalan. Sedangkan, satu gada lainnya yang dipegang patung di sebelah kanan jalan dihadapkan ke atas.
Ya, itulah Arca Dwarapala. Dwara berarti penjaga, sedangkan Pala berarti pintu. Menurut catatan sejarah, kedua arca dwarapala itulah sebagai pintu masuk kerajaan Singhasari. Sebenarnya, di lokasi itu tidak hanya terdapat arca, akan tetapi lengkap dengan gapuranya. Hanya saja, saat ini kedua arca itu sudah tidak lagi berdiri di atas gapura. Karena, gapura sudah rusak. Bahkan, dari dua gapura, saat ini hanya tersisa satu. Hanya ada beberapa lempengan batu gapura di sekitar arca.
Masih dalam catatan sejarah, Kedua arca itu diketahui diketemukan oleh Gubernur Jawa kelahiran Belanda Nicolas Enderhard pada 1803. Arca itu terpisah dengan gapura. Bahkan, salah satu arca itu sebagian tubuhnya tertimbun tanah. Suasana kehidupan kerajaan tidak hanya terlihat pada keberadaan arca dwarapala. Tidak jauh dari arca, juga terdapat
Dvarapala, tampang sangar menyeramkannya, ditopang tubuh tinggi besar, bukan tanpa tujuan. Dulu ia memang penjaga candi dan bangunan suci. Bagaimana nasibnya sekarang?
Penjaga bangunan suci
Di manapun juga, Dvarapala adalah sosok menyeramkan dan tampak ganas. Dua matanya melotot tajam menatap penuh curiga pada setiap orang yang memasuki candi, bangunan suci. Taring-taringnya yang runcing, khas milik raksasa, mencuat keluar, membuat orang bergidik. Apalagi badannya tinggi besar, bahkan ada yang setinggi 3,70 m, seperti Dvarapala yang di Singosari, Malang. Padahal ia dalam posisi jongkok.
Arca Dwarapala
Arca pemegang gada itu dikenal juga dengan nama Yaksha. Sebelum dewa-dewa Hindu dan Buddha muncul dalam sistem kepercayaan di India, Dvarapala yang merupakan mahluk gaib, dipuja orang India sebagai sumber kehidupan karena melindungi pertanian. Kemudian setelah pantheon dewa muncul dalam sistem kepercayaan di India, Yaksha dimasukkan ke dalam golongan setingkat di bawah dewa.
Pada perkembangan berikut, Yaksha menjadi pendamping Sang Buddha. Ia menghiasi stupa bersama mahluk lain, seperti terdapat di Stupa Bharhut, India, pada abad I Masehi. Sedangkan di Sanchi, Yaksha seakan-akan "melindungi" dan "menjaga" bangunan suci di puncak Torana. Tugas Yaksha sebagai pelindung itulah yang kemudian berkembang sehingga menjadi Dvarapala.
Dvarapala merupakan mahluk yang ditempatkan di depan pintu atau gerbang menuju bangunan suci candi. Ia memiliki kekuasaan untuk melindungi dari berbagai serangan kekuatan jahat. Sesuai tugasnya itu, Dvarapala sang penjaga candi tidak saja digambarkan sebagai mahluk yang menyeramkan wujud fisiknya, tetapi masih dilengkapi dengan berbagai senjata dan atribut lain. Senjata-senjata yang disandangnya memang sengaja untuk menciptakan kesan menakutkan.
Sebagian besar Dvarapala memang memegang gada. Alat pemukul itu dianggap lambang penghancur, sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Juga dipercaya, senjata maut itu berfungsi sebagai tongkat kematian atau hukuman. Atribut lain umumnya adalah ular atau naga. Dua satwa itu perlambang kehidupan air (water spirit) yang dapat mendatangkan hujan. Tetapi jangan bikin Dvarapala murka, watak aslinya sebagai penghancur akan muncul.
Lihat saja atribut ular naga yang disandang Dvarapala penjaga Candi Plaosan di daerah Prambanan, Jawa Tengah. Penjaga itu menggunakan tali jerat (pasa) berbentuk ular sebagai senjata untuk menjerat dan menangkap musuh, khususnya makhluk-makhluk jahat. Tali jerat berupa ular naga itu, dalam ilmu ikonografi, disebut nagapasa.
Senjata andalan lainnya adalah golok atau pisau belati. Senjata itu lambang kemenangan atas makhluk-makhluk jahat. Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaran-ajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.
Yang tua tidak pegang gada
data tentang arca-arca Dvarapala Jawa Tengah dalam penelitian tahun 1983, dan dilanjutkan lagi sekarang. Yang terbanyak ditemukan di daerah Prambanan dan Kalasan, Yogyakarta, di antaranya berasal dari candi-candi Kalasan, Lara Jonggrang, Lumbung, Sewu, Asu, Plaosan Lor, Sajiwan, Kalongan. Ia juga membandingkannya dengan Dvarapala Borobudur yang kini berada di Bangkok, Thailand.
Dalam pengamatannya terhadap arca-arca tersebut, Dvarapala Borobudur belum dianggap sebagai hasil karya seni bermutu tinggi. Teknik pahatannya masih kasar. Senjatanya hanya satu, yakni belati yang digenggam tangan kanan. Ekspresi mukanya tidak menakutkan, bahkan tampak "menyedihkan" dengan mulut yang menunjukkan ekpresi tenang. Supratikno berpendapat, Dvarapala sederhana itu mungkin penjaga bangunan candi dekat Candi Borobudur yang ukurannya lebih kecil, namun umurnya lebih tua dari Candi Borobudur (diperkirakan sebelum tahun 770 M). Jadi bukan penjaga Candi Borobudur, karena agaknya seniman Borobudur tidak memerlukan Dvarapala. Di Borobudur fungsi penjaga sudah digantikan oleh singa-singa yang mengapit jalan masuk menuju puncak candi.
Sedangkan Dvarapala-dvarapala dari Candi Sewu menunjukkan hasil karya seni yang lebih tinggi ketimbang yang dari Borobudur. Kalau Dvarapala Borobudur tidak mengenakan ikat kepala dan upawita (tali kasta), serta tidak memegang ular dan gada, maka Dvarapala Candi Sewu memiliki seluruh atribut itu. Garapannya pun lebih halus dan rumit. Supratikno berpendapat, Dvarapala Candi Sewu mungkin dibuat sebelum tahun 782 M.
Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesian Art (1959) sempat mengamati sejumlah Dvarapala dari situs-situs candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Empat dvarapala yang ditemukan di selatan Candi Kalasan, Yogyakarta, berukuran tinggi 1,90 meter. Rambut gimbal terurai tanpa ikat kepala, tangan kanan memegang nagapasa, sedangkan telapak tangan kiri bertumpu pada sebuah gada yang diturunkan ke tanah. Tak lupa pisau besar terselip di pinggangnya. Kempers menduga arca-arca itu merupakan penjaga pintu masuk Candi Kalasan, namun sekarang sudah tidak ada di tempatnya lagi.
Dvarapala yang terdapat di sekitar Candi Singasari di Malang, Jawa Timur, menurut Kempers, adalah raksasa penjaga alun-alun Kerajaan Singhasari (1222-1292). Raksasa ini menjaga pintu masuk Keraton Singhasari yang diperkirakan lokasinya tidak jauh dari Candi Singasari sekarang. Dvarapala Singasari itu memiliki karakter yang lebih damai, kata Kempers. Padahal sebenarnya ekspresi penjaga itu dimaksudkan oleh seniman Jawa supaya tampak sangar. Alis matanya melengkung dengan mata melotot. Dari lekuk mulutnya terlihat taring-taringnya. Tangan kiri bertelekan pada sebuah gada yang berat berhiaskan vajra. Ular dan tengkorak yang disandangnya seharusnya membuat lawan gemetar.
Dvarapala dari Jawa Timur memang lebih bervariasi baik ekspresi maupun penampilannya. Arca-arca Dvarapala Candi Panataran di Blitar tampil berbeda. Selain dvarapala jongkok, ada pula yang berdiri. Ada pula dvarapala perempuan, bahkan ada yang sambil menggandeng anaknya. Tentu, meski bayi, penampilannya tetap saja garang.
Penampilan dvarapala yang secara fisik kelihatan sangar tetapi ekspresinya tenang ternyata dilandasi oleh suatu filosofi. Menurut Supratikno, dvarapala juga berperan serupa dengan Dharmapala atau "pelindung dharma" seperti dikenal dalam Buddhisme di Tibet. Sebagaimana Dharmapala, meski Dvarapala berwujud menyeramkan, namun perannya tidak jahat. Pemahaman itu rupa-rupanya mengilhami para seniman Jawa untuk menggambarkan mahluk ini secara tidak terlalu menakutkan. Perhatikan mulutnya, seringkali digambarkan ekspresi mulut yang "tersenyum".
Sebelum dewa-dewa muncul di dalam sistim kepercayaan agama Hindu dan Budha, Dwarapala diangap sebagai makhluk gaib dan dipuja orang di India sebagai pelindung pertanian. Setelah munculnya prinsip dewa-dewa, Yaksha dimasukkan dalam golongan setingkat dibawah dewa. Perkembangan selanjutnya Yaksha menjadi pendamping sang Budha dan menghiasi stupa bersama-sama makhluk lain. Akhirnya Yaksha seakan-akan “melindungi” dan “menjaga” bangunan suci. Tugasnya sebagai pelindung bangunan suci itulah kemudian berkembang menjadi Dwarapala.
Arca Dwarapala Peninggalan Kerajaan Singhasari
Dwarapala selalu diletakkan didepan pintu gerbang atau pintu bangunan suci. Ia memiliki kekuasaan untuk melindunginya dari berbagai kekuatan jahat. Sesuai tugasnya sebagai penjaga, diapun dilengkapi dengan senjata, umumnya gada sebagai simbol penghancur sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Atributnya adalah ular atau naga perlambang kehidupan air yang dapat mendatangkan hujan. Matanya melotot dan mulut menyerengai menimbulkan kesan menakutkan sekaligus wibawa. Hal ini sama seperti Dwarapala Singosari. Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya dan semuanya berhiasan kepala tengkorak.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaran-ajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.
Patung Dwarapala ini terletak sekitar 200 meter sebelah candi Singosari dan merupakan patung tunggal terbesar di Indonesia karena beratnya sekitar 23 ton dan tingginya 3,7 meter (padahal ia dalam posisi jongkok !). Jumlahnya ada 2 buah di sebelah selatan dan utara.
Dahulu Dwarapala sebelah selatan pernah ambles ke bumi hingga separuh perutnya. Tim yang mengerjakan pemugaran candi Borobudur dipercaya untuk memperbaiki letak posisinya. Namun tidak ada peralatan modern yang mampu mengangkatnya kembali, bahkan perlatan berat lainnya juga gagal seolah-olah tenggelam kekuatannya dihisap oleh patung tersebut. Setelah melakukan upacara selamatan dan berkat petunjuk gaib penduduk setempat yang memberitahukan bahwa letak kekuatan Dwarapala adalah pada kedua matanya, maka proses pengangkatan kembali tersebut berhasil setelah juga dengan menutup kedua matanya dari sinar matahari. Sekarang Dwarapala sebelah selatan tersebut berada diatas sebuah lapik semen dan utuh hingga kelihatan mata kakinya