Alat tangkap penjebak (traps) berbentuk seperti saluran atau silinder, pada ujungnya mengecil dan umumnya tidak mempunyai alat tambahan lain.Pada bagian bukaan terdapat lubang dimana ikan bisa masuk akan tetapi sulit keluar oleh karena bagian ujung dalam silinder yang mengecil (Von Brandt, 1971).
Monintja dan Martasuganda (1991), mengemukakan bahwa bubu merupakan alat tangkap tradisional yang memiliki banyak keistimewaan, antara lain:
1.Pembuatan bubu mudah dan murah;
2.Mudah dalam pengoperasian;
3.Hasil angkapan yang diperoleh dalam keadaan segar;
4.Tidak merusak sumberdaya, baik secara ekologi maupun teknik;
5.Biasanya dioperasikan ditempat-tempat yang alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan;
Bubu adalah perangkap yang mempunyai satu atau dua pintu masuk dan dapat diangkat kebeberapa daerah penagkapan dengan mudah, dengan atau tanpa perahu dan sangat efektif untuk menangkap organisme yang bergerak lambat di dasar perairan, baik di laut maupun danau (Rumajar, 2002).
Berdasarkan cara operasi penangkapan, bubu dibagi menjadi 3 jenis yaitu, bubu dasar(stationary fish pots), bubu apung(floating fish post) dan bubu hanyut (drift fish pots).Bubu yang paling banyak digunakan dalam perikanan Indonesia adalah bubu dasar.Pengoperasian bubu dilakukan dengan cara meletakkan disela-sela karang atau tempat hunian ikan. Sesuai dengan namanya, ikan yang tertangkap dengan alat ini adalah ikan dasar, ikan karang (termasuk kerapu dan kakap merupakan ikan-ikan demersal) dan udang (Subani dan Barus, 1989).
Subani dan Barus (1989), menyatakan bahwa bentuk dari bubu bermacam-macam yaitu bubu berbentuk lipat, sangkar(cages), silinder (cylindrical),gendang, segitiga memanjangkan (kubus), atau segi banyak, bulat dan setengah lingkaran dan lain-lainya. Secara garis besar bubu terdiri dari badan (body), mulut(funnel) atau ijeb dan pintu. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu (funnel)berbentuk corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan bagian tempat pengambilan hasil tangkapan.
Biasanya bubu yang digunakan oleh nelayan terbuat dari bambu, kayu ataupun rotan, selanjutnya dianyam membentuk sebuah kurungan dengan ukuran rata-rata bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan, untuk bubu kecil umumnya berukuran panjang (70 - 100 cm), lebar (50 - 70 cm) dan tinggi (25 - 30 cm), untuk bubu besar dapat mencapai ukuran panjang(3 - 6 m), lebar (75 - 150 cm) dan tinggi (50 - 150 cm). Bubu ini dipasang pada kedalaman perairan 20 - 50 m sesuai lokasi, setiap 2 - 4 hari hasilnya diambil dengan perahu sampan, (Anonimous, 2001).
Dalam pengoperasiannya dapat dilakukan dengan dua cara.Cara pertama, bubu dipasang secara terpisah (umumnya bubu berukuran besar), satu bubu satu pelampung. Cara kedua dipasang secara bergandengan (umumnya bubu berukuran kecil sampai sedang) dengan menggunakan tali utama, sehingga cara ini dinamakan “longline trap”.Untuk cara kedua ini dapat dioperasikan beberapa bubu sampai puluhan bahkan ratusan. Biasanya dioperasikan dengan menggunakan kapal yang bermesin dan dilengkapi dengan katrol. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairann karang atau diantara karang-karang atau bebatuan (Subani dan Barus, 1989). Ditambahkan oleh Rumajar (2002), bahwa untuk memudahkan mengetahui tempat-tempat dimana bubu di pasang, maka dilengkapi dengan pelampung melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu tersebut.
Bubu sendiri dalam operasionalnya untuk laut dalam (bubu dasar) sering dipakai benda berupa umpan untuk menarik perhatian ataupun dilepas tampa menggunakan umpan.Ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang terperangkap pada bubu.Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah tertarik denganbau umpan, dipakai untuk berlindung, sebagai tempat untuk istirahat sewaktu ikan bermigrasi dan karena sifat thigmotaxis dari ikan itu sendiri (Monintja dan Martasuganda, 1991).
Menurut Gunarso (1985), sifat thimotaxis adalah sifat ikan yang selalu ingin mengetahui suatu benda asing yang ada disekitarnya, sehingga ikan cenderung untuk menyentuh diri pada alat tersebut.
Hasil tangkapan bubu dasar umumnya adalah ikan-ikan demersal yang hidup secara soliter atau berpasangan sehingga ikan-ikan yang terjebak atau tertangkap oleh bubu meliputi; ikan tambangan(Lutjanus johni), ikan merah(Lutjanus malabaricus), ekor kuning (Caesio erithrogaster),kakatua (Callyodon cyagnatus),ikan kerapu karang(Cephalopholis bunack) (Buyang, 1999).Fluktuasi hasil tangkapan bubu menurut Tiyosi (1979), terjadi karena ;
1.Migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan;
2.Keragaman ikan dalam populasi
3.Tepat tidaknya penentuan pemasangan bubu, karena alat tangkap jenis ini bersifat pasif dan menetap.
Sumberdaya Ikan Karang
Komunitas ikan karang mempunyai keragaman jenis yang cukup tinggi dengan jumlah individu yang tidak terlalu besar.Penyumbang produksi ikan karang Indonesia terdiri dari 10 famili utama yaitu Lutjanidae, Caesiodidae, Holocentridae, Serranidae, Scaridae, Singanidae, Lethrinidae, Priacanthidae, Labridae danHaemulidae.Beberapa spesis yang sudah dikenal di Indonesia antara lain adalah Kakap (Lutjanus) sp), Ekor Kuning (Caesio spp), Napoleon (Cheilinus Undulates), Kerapu (Epinephelusspp), Sunu (Plectroponus Leopardus), Baronang (Siganussp) dan Lencam (Luthrinus sp) (Widodo dkk, 1998).Hampir seluruh perairan pantai yang berkarang merupakan habitat yang cocok bagi ikan dasar.
Sebagian besar ikan dasar adalah merupakan hewan karnivora umumnya tidak mempunyai spesifikasi tertentu terhadap makanan.Kelompok hewan ini merupakan golongan hewan yang oportunistik dan memangsa makanan apa saja yang ada di dekat mereka (Nybakken, 1992).
Hubungan Parameter Oseonografi Terhadap Tingkah Laku Ikan
Arus
Arus merupakan suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut atau gerakan pasang surut sehingga dapat menyebabkan terjadinya perpindahan plankton yang bermanfaat bagi organisme (Nontji, 1987). Arus dan perubahannya sangat penting dalam operasi penangkapan, perubahan dalam kelimpahan dan keberadaan ikan (Laevastu dan Hela, 1970).Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus.
Ikan juga ternyata memanfaatkan arus laut untuk melakukan pemijahan, mencari makan ataupun sehubungan dengan proses-proses pengembangannya. Hal ini dapat dilihat pada larva ikan yang hanyut dari areal pemijahan(Spawning grond) menuju areal pembesaran (Nursery groung)yang berdekatan dengan areal makan (Feeding area) mereka (Gunarso, 1985).
Rahardjo dan Sanusi (1978), menyatakan bahwa pada umumnya ikan berenang melawan arus dan akan berenang lebih cepat dari arus jika ia mengikuti arus, jika arus lemah, ikan biasanya berenang menentang arus.Ikan-ikan menjadi pasif dalam perairan yang suhunya sangat rendah dan membiarkan dirinya dibawah oleh arus.Jika ada cahaya, ikan cenderung untuk berenang melawan arus, dan membiarkan dirinya dibawah arus ketika gelap
Kedalaman
Zainul (2003), menyatakan bahwa kedalaman perairan yang ideal dipengaruhi oleh sifat perairan itu sendiri, yakni kondisi air mengalir dan tidak mengalir. Pada perairan mengalir, disarankan agar alat tangkap ditempatkan minimal pada kedalaman air 3 meter. Sedangkan parairan yang tidak mengalir, disarankan agar alat tangkap di tempatkan pada kedalaman air minimal 5 meter. Kedaan ini menyebabkan perbedaan masing-masing lingkungan sehingga jenis-jenis ikan yang tertangkap sangat bervariasi pula.
Air laut pada tepi pantai tidak pernah diam pada suatu ketinggian yang tetap selalu bergerak naik turun sesuai dengan siklus pasang. Pasang terutama disebabkan oleh gaya gravitasi bulan dan matahari (Hutabarat dan Evans, 1985)
Faktor kedalaman sangat berpengaruh dalam pengamatan dinamika oseonografi dan morfologi pantai seperti kondisi arus, ombak dan transport sediment. Hutabarat dan Evans (1984), mengemukakan bahwa kedalaman berhubungan erat dengan stratifikasi suhu vertikal, penetrasi cahaya, densitas dan kandungan zat hara.
Pasang surut
Pasang surut adalah gerakan naik turunnya permukaan air secara periodik yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari, karena jarak dari bulan lebih dekat dengan bumi maka bulan mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan matahari.Gaya tarik bulan yang mempunyai pasang surut ± 2,2 kali lebih kuat dari pada gaya tarik matahari, maka bagian bumi yang dekat dengan bulan akan tertarik sehingga permukaan air laut akan naik dan menimbulkan pasang.Pada saat yang sama bagian bola bumi dibaliknya mengalami keadaan serupa atau pasang, sementara di sisi lain yang tegak lurus terhadap proses ini air akan bergerak ke samping sehingga terjadinya keadaan surut.Dijelaskan juga bahwa bulan berputar mengelilingi bumi dalam waktu 24 jam 51 menit. Dengan demikian tiap siklus pasang surut akan bergeser mundur 51 menit sehari(Nontji, 1987).
Sidjabat (1973), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pasang surut antara lain topografi dasar, letak pulau dan benua serta pengaruh gaya koriolis karena faktor-faktor ini keadaan di dunia sangat berbeda satu sama lain.
Menurut Nontji (1987), bahwa pasang surut di Indonesia dibagi menjadi empat, yakni :
1.Pasang surut harian tunggal(Diurnal tide), yaitu pasang surut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap hari, misalnya terjadi di perairan Selat Karimata antara Sumatera dan Kalimantan.
2.Pasang surut harian ganda(Semi diurnal tide) yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari, yang tingginya masing-masing hampir sama, misalnya terjadi di Selat Malaka sampai Laut Andaman.
3.Pasang surut campuran keharian ganda terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, yang banyak terjadi sebagian besar perairan Indonesia bagian timur.
4.Pasang surut condong keharian tunggal (Mixed tide prevailing diurnal), yaitu terjadi dua kali pasang dan satu kali surut, namun kadang-kadang pula untuk sementara dengan dua kali pasang dan dua kali surut. Contohnya terdapat di pantai Selatan Kalimantan dan pa